Kamis, 08 Agustus 2013

BLSM dan Ketabahan dalam Berpuasa



Debat seputar penetapan awal Ramadan tahun ini, berakhir sudah. Melalui sidang Isbat yang diadakan pada Senin (8/7) lalu, telah ditetapkan awal Ramadan 1434 H dimulai pada Rabu (10/7). Penetapan ini, sekali lagi, mengakhiri spekulasi dan tentu melegakan hati.
Namun tidak demikian halnya bagi mereka, khususnya mereka rakyat miskin. Kelegaan yang mereka rasakan hanyalah sesaat.


BBM dan Harga yang Melambung
Masih lekat dalam ingatan, dalam bulan Juni lalu pemerintah SBY memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi. Tujuannya satu ! Demi meringankan APBN Indonesia yang terancam bangkrut apabila subsidi BBM tidak dibatasi. Lalu sebagai kompensasinya, pemerintah SBY menggelontorkan program reinovasi yang dinamakan BLSM alias balsem.
Program ini pun, sebagaimana yang santer diiklankan dan dikampanyekan, juga untuk mempertahankan daya beli (konsumsi) masyarakat miskin Indonesia. Pasalnya kenaikan harga BBM selalu diiringi oleh kenaikan harga-harga. Sebutlah satu yang paling nyata ialah kenaikan harga sembako yang otomatis menaikkan biaya hidup.
Jelas disini pemerintah SBY menaruh harap sangat banyak, dengan jatah BLSM Rp 150 ribu per kepala keluarga miskin/ bulan, diharapkan para warga miskin bisa lebih dari sekedar survive. Kenyataannya program BLSM ini tidak berjalan baik di lapangan.
Sebaliknya program BLSM kali ini hanya menjadi reinkarnasi dari program BLT yang pernah diprogramkan pada tahun 2008. Di mana ada warga yang semestinya berhak mendapatkan BLSM atau BLT, malah tidak kebagian atau terdaftar. Ada warga mampu, justru mendapat jatah BLSM/ BLT. Warga, lagi-lagi mengalami kondisi de javu.
Bahkan yang kali ini lebih parah, dikabarkan di sejumlah daerah malah ada warga yang mengajak Ketua RT atau kepala desanya berduel hanya karena warga tersebut merasakan ketidakadilan, tidak mendapat BLSM (Lampung Post, 26/6/2013).


Mempertanyakan Kevalidan Data
Timbul pertanyaan, sebenarnya bagaimanakah kevalidan data dan mekanisme yang digunakan dalam program BLSM kali ini ? Beredar informasi bahwa data yang digunakan merupakan data BPS tahun 2011. Tapi yang berwenang ialah TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Disinilah, idealnya TNP2K harus menjelaskan kepada publik bagaimana mekanisme yang mereka gunakan. Mengakui kesalahan saja tak cukup (Lampung Post, 6 Juli 2013)
Selain kevalidan data, perlu pula melihat sisi lain. Sisi BBM itu sendiri. Menurut saya, faktor BBM inilah yang menjadi biang kerok semua masalah. Sebab selama negara Indonesia masih mengimpor BBM, maka permasalahan atau isu seputar ini takkan pernah selesai meskipun pemerintahan berganti.
Salah satu cara paling logis ialah memutus mata rantai BBM ! Teringat perkataan mendiang Wamen ESDM Widagdo Partowidjajono yang menyebut ketergantungan (Indonesia) yang berlebihan terhadap minyak dari luar negeri adalah bentuk ketidakmandirian. Tidak menggunakan energi yang kita miliki secara optimal adalah tidak bijaksana. Mengkonsumsi energi mahal tetapi tidak mengkonsumsi energi murah yang kita milik adalah kebodohan (tempo.com, 24 April 2012).
Secara rasional memang tidak mudah karena pasti Indonesia masih membutuhkan BBM. Namun bila punya niat serius, saya yakin bisa – perlahan memutus mata rantai tersebut. Mengganti penggunaan BBM dengan energi lain yang banyak kita miliki yaitu (sebagaimana disebut Widagdo Partowidjajono) batubara, gas, panas bumi, air, bioenergi dan energi baru seperti coal bed metane dan shale gas. Yang berarti mengurangi beban APBN, beban hutang anak cucu nanti dan beban rakyat saat ini. Pertanyaannya seriuskah pemerintah ? Adakah itikad baik pemerintah ?
Saya pun teringat, tarik ulur yang terjadi sebelum pada akhirnya diputuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013. Bukan karena pemerintah dan Presiden SBY bingung atau tidak tegas. Melainkan strategi pemakluman.
Jadi ketika harga-harga naik dan kehidupan semakin susah, tapi kan tak lama kemudian kita masuk bulan puasa. Dalam bulan ini, ketabahan dan kesabaran diuji. Disinilah ucapan itu bida diberlakukan: “Bersabarlah dan tabhkanlah hati, jalani puasa dengan keikhlasan walaupun keadaan semakin susah.” (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 13 Juli 2013/ Karina Lin)

Jumat, 02 Agustus 2013

PERMAINAN OPINI GIE DAN WID (Sebuah Sanggahan)


Pada Kamis, 26 April 2012 lalu, Harian Lampung Post (Lampost) memuat opini yang berjudul “Permainan Opini Gie dan Wid” yang ditulis oleh Andhika Prayoga, mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saya sebagai salah satu yang membaca opini tersebut – terus terang – merasa opini tersebut menarik. Intisari yang saya tangkap, Andhika berusaha “membenangmerahkan” atas dua peristiwa kematian Almarhum (alm.) Soe Hok Gie (Gie) dan Alm. Widjajono Partowidagdo (Wid) dan memang harus diakui, ada cukup banyak kesamaan yang entah suatu kebetulan atau malah takdir – antara keduanya. Seperti meninggal saat mendaki gunung dengan Gie di Semeru dan Wid di Tambora dan sama-sama seorang idealis yang mendewakan logika dan akademika serta sangat menguasai bidangnya masing-masing.

Bukan Pelarian
Karikatur Alm. Widjajono Partowidagdo/ www.satyayudha.com
Persamaan-persamaan tadi memang benar adanya. Walaupun demikian, saya melihat ada celah yang kurang dari pendapat Andhika mengenai ini. Dalam opininya, dia menulis demikian “romansa Gie tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Wid, saat menjadi bumper pemerintah dalam kebijakan kenaikan BBM. Ia dipastikan jenuh dan berharap ada tempat pelarian dari tekanan politik yang mempersepsikan tidak prorakyat.”

Menurut penafsiran saya, menjadikan gunung sebagai (sungguh-sungguh) tempat pelarian hanya berlaku untuk Alm. Gie. Tidak dengan Alm. Wid. Mengapa ? Inilah yang saya kira kurang terekspos. Ketika Wid mendaki Tambora, dia melakukan itu (bersama suatu yayasan) untuk mengumpulkan dana amal bagi penderita penyakit lupus.

Berbeda dengan Gie. Dari buku-buku yang mengangkat tema mengenai Gie, tak pernah dituliskan bahwa almarhum mendaki gunung untuk amal, misalnya. Bagi alm. Gie, mendaki gunung dijadikan ajang for fun, menikmati alam dan sungguh-sungguh sebagai bentuk pelarian.

Ini misalnya seperti ditulis Jakob Oetama, Pemimpin Umum Kompas yang notabene juga karib Gie, dalam pengantar buku Sekali Lagi Gie, Soe Hok-Gie : Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya (diterbitkan 2009 oleh KPG, UI, Iluni UI dan KG), Jakob menulis “Ya, sebab hanya kepada langit di puncak gunung yang sepi dia bisa menghilangkan rasa penat perpolitikan.”

Pun John Maxwell dalam bukunya untuk memperingati 30 tahun meninggalnya Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani yang dikutip dari Intisari (Juli 2005), menyatakan “Soe terus mendukung secara terbuka para perwira senior AD sampai akhir 1960-an dengan harapan bahwa mereka akan membawa Indonesia kepada suatu masyarakat adil dan sederajat. Namun menjelang akhir 1969 semakin jelas baginya bahwa ia telah salah menaruh kepercayaannya. Maka semakin dalamlah perasaan keterasingannya dan keputusasaannya, akhirnya timbullah suatu sikap acuh terhadap dunia politik Jakarta yang makin melebarkan jangkauannya. Hal ini yang kemudian membuat Soe memilih untuk mengasingkan diri di punncak-puncak gunung di Jawa, di mana untuk sejenak dia merasakan bisa menyatu dengan alam dan di atas segala-galanya dia bisa merasa bersih.”

Jika diasosiasikan bahwa Wid – mendaki Tambora dan meninggal di sana – karena hendak menghilangkan penat kisruh BBM. Itu hanyalah kebetulan semata. Saat yang bersangkutan sedang menjadi bumper pemerintah soal BBM dan kebetulan mendaki gunung Tambora dan kebetulannya lagi,meninggal dunia saat pendakian.

Bukan Permainan Opini
Saya juga tidak setuju dengan persepsi Saudara Andhika yang menyatakan Gie dan Wid “pintar” memainkan opini publik. Tentu saja dalam eranya masing-masing. Gie pada masa tahun 1960-an begitu aktif menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan yang tersebar di berbagai media cetak kala itu. Sedangkan Wid pada masa-masa ini (sebelum meninggal) begitu aktif menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu melalui kegiatan akademik (ingat, sebelum menjabat wakil menteri, Wid ialah Guru Besar Teknik Perminyakan di ITB).

Yang lebih tepat dari upaya keduanya itu ialah “membentuk dan meyakinkan” publik. Landasan saya menyimpulkan demikian lantaran saya melihat bahwa pemikiran yang dipaparkan oleh kedua tokoh besar tadi berdasarkan fakta dan logika yang ilmiah. Gie yang berlatar belakang sejarah pernah bilang siapa pun yang tak belajar dari sejarah, akan mengulangi kesalahan yang dibuat generasi pendahulunya.

Jika kita lihat dan buku-buku sejarah mencatat benar demikian adanya. Pasca tumbangnya Orde Lama Soekarno dan tumbuhnya Orde Baru Soeharto, Gie menilai ada yang salah, ada yang menyimpang dari cita-cita awal terbentuknya Orde Baru. Makanya Harsja Bachtiar (Dekan Fakultas Sastra UI) dalam Pengantar Catatan Seorang Demonstran menyatakan peranan Gie dalam usaha menegakkan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto tidak kecil. Ia sangat mengharap agar pemerintahan Orde Baru mengembangkan dan memperkuat keadilan sosial. Justru untuk memperkuat Orde Baru, ia tak segan-segan melancarkan kritikan pedas terhadap segala sesuatu yang menurut anggapannya tidak dapat dibenarkan, tidak wajar (LP3ES, 2011).

Sebab Gie tak ingin nasib Orde Lama berulang pada Orde Baru. Ironisnya, hampir 30 tahun kemudian – pasca kematiannya, Orde Baru pimpinan Soeharto – yang kelahirannya turut dibidani oleh Gie, ambruk disebabkan oleh hal yang ditakutkan (dan dikhawatirkan) oleh Gie. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Sementara Wid, saat mencoba merasionalisasi idealismenya guna menaikkan harga BBM. Saya yakin, pasti telah memiliki landasan akademik yang kuat, termasuk bertahan menaikkan harga BBM lebih tinggi dari pemerintah. Pemerintah mengusulkan Rp 1500 dan Wid mengusulkan Rp 2000.

Memang mungkin tidak mudah bagi awam (baca: rakyat) untuk memahami pola pikir Wid. Namun satu hal yang saya pikir paling mudah dipahami mengapa Wid sangat ngotot mempertahankan ide kenaikan BBM, dilatarbelakangi oleh faktor dan fakta bahwa Indonesia – kini adalah negara pengimpor minyak. Cadangan minyak kita hanya tingal 3,7 barel atau hanya 0,3 persen cadangan terbukti dunia (Tempo online, 8 April 2012). Apa kita mau terus menerus tergantung dari luar (negara-negara pengekspor minyak) dan menumpuk hutang negara ? Apakah kita ingin terus menerus merusak bumi ? Seandainya Wid masih hidup, mungkin beliau akan bertanya begitu kepada kita semua.

Saya menilai usulan kebijakan Wid adalah tepat namun waktunya kurang tepat. Lantaran di negara kita sedang bergejolak dikepung berbagai krisis; krisis moral, krisis kejujuran, krisis nurani, krisis simpati, krisis empati. Serta dikepung oleh berbagai mafia; mafia pajak, mafia hukum, mafia korupsi, mafia pulsa, mafia banggar. Sehingga rakyat sudah jenuh, lelah dan bahkan sekarat dan alhasil “kebijakan tepat” tadi akhirnya ditunding menjadi kebijakan tidak prorakyat !

Gie dan Wid, Beruntung Mana ?
Quotes Alm. Gie
Bila ditanya seperti itu, menurut saya tidak ada yang beruntung dan tidak ada yang tidak beruntung alias rugi. Gie dalam waku hidupnya yang singkat telah maksimal memperjuangkan bangsa. Dia tanpa lelah mengkritisi pemerintahan yang berkuasa. Saya cuma penasaran, seandainya Gie masih hidup, sepertinya Gie takkan mau bersama Soeharto, Megawati, Gus Dur dan terlebih SBY – kalau dia tahu betapa masa pemerintahan saat ini justru bobroknya lebih parah ketimbang Orde Baru yang dibidaninya.

Gie, seyakin-yakinnya – dengan tetap mempertahankan idealismenya – pasti akan tetap bergelut sebagai intelektual akademik yang tetap kritis. Mungkin Gie akan menjadi jurnalis atau mungkin menjadi guru besar di almamaternya – mengikuti jejak semacam Prof. Abdullah Dahana, yang dulu bersama Gie dikenal sebagai sahabat dekat almarhum.

Dan Wid, sebagaimana yang disebut oleh Saudara Andhika – menjadi wakil menteri lataran diusulkan oleh Hatta Rajasa. Seandainya tidak diusulkan, saya yakin Wid akan tetap berkecimpung di akademik. Namun Wid menerima karena – ini dugaan saya – dengan menjadi wakil menteri maka justru menjadikan batu loncatan bagi dirinya menyebarluaskan idealismenya tadi. Contohnya kebijakan kenaikan harga BBM-nya, yang belum disetujui itu.

Gie dan Wid, terpisah oleh waktu, meninggal di gunung sembari tetap mengusung idealismenya. Keduanya adalah keberuntungan bagi Bangsa Indonesia yang pernah memilikinya. Ketidakberuntungannya ? Saat ini kita masih memerlukan sumbangsih mereka. Sayang, keduanya telah tiada. 

Note: Opini ini sangat berkesan bagi saya. Tak terlupakan. Mengapa? Sebab inilah opini pertama saya yang berhasil tayang di suratkabar Lampost. Bagi saya, sebuah perjuangan menembus halaman opini Lampost.

Saya telah berapa kali mengirim namun belum berhasil. Tapi kali ini, yes! Ada nama saya tercantum di halaman opini Lampost edisi Sabtu, 12 Mei 2012 dan bermula dari sinilah yang melecut saya semakin bersemangat menghasilkan artikel opini yang lebih baik lagi.