Debat seputar penetapan awal Ramadan
tahun ini, berakhir sudah. Melalui sidang Isbat yang diadakan pada Senin (8/7)
lalu, telah ditetapkan awal Ramadan 1434 H dimulai pada Rabu (10/7). Penetapan
ini, sekali lagi, mengakhiri spekulasi dan tentu melegakan hati.
Namun tidak demikian halnya bagi mereka,
khususnya mereka rakyat miskin. Kelegaan yang mereka rasakan hanyalah sesaat.
BBM dan Harga yang Melambung
Masih lekat dalam ingatan, dalam bulan
Juni lalu pemerintah SBY memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi. Tujuannya
satu ! Demi meringankan APBN Indonesia yang terancam bangkrut apabila subsidi
BBM tidak dibatasi. Lalu sebagai kompensasinya, pemerintah SBY menggelontorkan
program reinovasi yang dinamakan BLSM alias balsem.
Program ini pun, sebagaimana yang santer
diiklankan dan dikampanyekan, juga untuk mempertahankan daya beli (konsumsi)
masyarakat miskin Indonesia. Pasalnya kenaikan harga BBM selalu diiringi oleh
kenaikan harga-harga. Sebutlah satu yang paling nyata ialah kenaikan harga
sembako yang otomatis menaikkan biaya hidup.
Jelas disini pemerintah SBY menaruh harap
sangat banyak, dengan jatah BLSM Rp 150 ribu per kepala keluarga miskin/ bulan,
diharapkan para warga miskin bisa lebih dari sekedar survive.
Kenyataannya program BLSM ini tidak berjalan baik di lapangan.
Sebaliknya program BLSM kali ini hanya
menjadi reinkarnasi dari program BLT yang pernah diprogramkan pada tahun 2008.
Di mana ada warga yang semestinya berhak mendapatkan BLSM atau BLT, malah tidak
kebagian atau terdaftar. Ada warga mampu, justru mendapat jatah BLSM/ BLT.
Warga, lagi-lagi mengalami kondisi de javu.
Bahkan yang kali ini lebih parah,
dikabarkan di sejumlah daerah malah ada warga yang mengajak Ketua RT atau
kepala desanya berduel hanya karena warga tersebut merasakan ketidakadilan,
tidak mendapat BLSM (Lampung Post, 26/6/2013).
Mempertanyakan Kevalidan Data
Timbul pertanyaan, sebenarnya
bagaimanakah kevalidan data dan mekanisme yang digunakan dalam program BLSM
kali ini ? Beredar informasi bahwa data yang digunakan merupakan data BPS tahun
2011. Tapi yang berwenang ialah TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan). Disinilah, idealnya TNP2K harus menjelaskan kepada publik
bagaimana mekanisme yang mereka gunakan. Mengakui kesalahan saja tak cukup
(Lampung Post, 6 Juli 2013)
Selain kevalidan data, perlu pula melihat
sisi lain. Sisi BBM itu sendiri. Menurut saya, faktor BBM inilah yang menjadi
biang kerok semua masalah. Sebab selama negara Indonesia masih mengimpor BBM,
maka permasalahan atau isu seputar ini takkan pernah selesai meskipun
pemerintahan berganti.
Salah satu cara paling logis ialah
memutus mata rantai BBM ! Teringat perkataan mendiang Wamen ESDM Widagdo
Partowidjajono yang menyebut ketergantungan (Indonesia) yang berlebihan
terhadap minyak dari luar negeri adalah bentuk ketidakmandirian. Tidak
menggunakan energi yang kita miliki secara optimal adalah tidak bijaksana.
Mengkonsumsi energi mahal tetapi tidak mengkonsumsi energi murah yang kita
milik adalah kebodohan (tempo.com, 24 April 2012).
Secara rasional memang tidak mudah karena
pasti Indonesia masih membutuhkan BBM. Namun bila punya niat serius, saya yakin
bisa – perlahan memutus mata rantai tersebut. Mengganti penggunaan BBM dengan
energi lain yang banyak kita miliki yaitu (sebagaimana disebut Widagdo
Partowidjajono) batubara, gas, panas bumi, air, bioenergi dan energi baru
seperti coal bed metane dan shale gas. Yang berarti mengurangi beban APBN,
beban hutang anak cucu nanti dan beban rakyat saat ini. Pertanyaannya seriuskah
pemerintah ? Adakah itikad baik pemerintah ?
Saya pun teringat, tarik ulur yang
terjadi sebelum pada akhirnya diputuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi
pada 22 Juni 2013. Bukan karena pemerintah dan Presiden SBY bingung atau tidak
tegas. Melainkan strategi pemakluman.
Jadi ketika harga-harga naik dan
kehidupan semakin susah, tapi kan tak lama kemudian kita masuk bulan puasa.
Dalam bulan ini, ketabahan dan kesabaran diuji. Disinilah ucapan itu bida diberlakukan:
“Bersabarlah dan tabhkanlah hati, jalani puasa dengan keikhlasan walaupun
keadaan semakin susah.” (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 13 Juli 2013/ Karina Lin)