Tak terasa
kasus penemuan jenazah gadis cilik Engeline telah berlalu hampir sebulan. Engeline,
gadis cilik berusia 8 tahun dan bertempat tinggal di Sanur, Denpasar ini awalnya
dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015. Informasi hilangnya gadis cilik ini cepat
tersebar – terutama melalui media sosial (medsos) dan kemudian diliput oleh
media mainstream. Bahkan di facebook,
tak berapa lama kemudian ada fanspage khusus berlabel: Find Angeline, Bali’s missing child.
Fanspage ini
berhasil menarik follower sekitar 4000 orang. Melalui fanspage ini juga, dana
sejumlah lebih dari Rp 40 juta berhasil dikumpulkan. Fanspage Engeline ini
disebut-sebut dibuat oleh kakak angkatnya yang saat ini sedang berada di
Australia.
Namun betapa
terkejutnya kita, ketika di Rabu, 10 Juni lalu – semua media memberitakan
penemuan jenazah bocah cilik ini – yang tragisnya (dari hasil otopsi pihak
forensik kepolisian) diperkirakan telah meninggal tiga minggu yang lalu karena
dibunuh dan jasadnya dikubur dalam lubang (sampah) halaman rumah ibu angkatnya
sendiri.
Kepolisian Daerah
(polda) Bali yang menangani kasus pembunuhan Engeline bergerak cepat untuk
mencari siapa tersangka atau pelaku pembunuhan gadis cilik ini. Agustinus Tai,
eks PRT yang bekerja di rumah ibu angkat Engeline, Margriet Ch. Megawe –
ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Sedangkan Margriet, sampai saat ini
oleh Polda Bali masih berstatus tersangka dalam kasus penelantaran anak.
Memang banyak
beredar cerita dan pemberitaan seputar bagaimana kondisi kehidupan gadis cilik
itu semasa tinggal di rumah ibu angkatnya tadi. Banyak yang mengatakan bila
Engeline kurang atau tidak diurus dengan baik oleh Margriet dalam waktu
belakangan ini (disebutkan sejak kematian ayah angkatnya, suami Margriet).
Mulai dari sering dipukul, penampilan lusuh, bau tai ayam dan lain-lain.
Gencarnya
pemberitaan seputar perlakuan ibu angkat Engeline terhadapnya, menjadikan (tak
heran) masyarakat kita berspekulasi bahwa Margriet-lah termasuk tersangka atau
pelaku pembunuhan Engeline. Tetapi, menurut saya – dalam kasus ini – tidaklah
sepenuhnya bisa menyalahkan Margriet Ch. Megawe, ibu angkat Engeline.
Kesiapan
Finansial Memiliki Anak
Hamidah, ibu
kandung Engeline menangis histeris ketika mendatangi kamar jenazah putrinya
itu. Dalam tayangan di televisi nasional, diperlihatkan betapa ia menangis
histeris sembari berteriak-teriak seolah hendak membangunkan putrinya yang
telah almarhumah itu. Ada pemandangan sedih tentunya.
Namun,
menelusuri ke belakang – sebelum
akhirnya Engeline diasuh oleh Margriet, didapat fakta bahwa Engeline merupakan
anak kedua pasangan Hamidah dan Rosidik (kini telah berpisah). Fakta lain ? a) Engeline
diasuh oleh Margriet lantaran orang tua kandungnya tidak memiliki biaya
membayar persalinannya yang mencapai Rp 1,8 juta. Margriet yang membayari biaya
persalinan itu dan berdasarkan kesepakatan, Engeline diadopsi oleh Margriet.
Dan b) Engeline memiliki seorang adik yang saat ini ikut neneknya di Banyuwangi
dan diasuh di sana.
Disinilah saya
menangkap pangkal dari segala rentetan kejadian pembunuhan Engeline ini; dan
menurut saya – kita tak perlu menjadi naif bahwa kita tak bisa hidup tanpa
uang. Jika direka ulang, dikatakan bahwa alasan ibu kandung Engeline
menyerahkan anaknya itu kepada Margriet lantaran ia (Hamidah) tidak memiliki
uang untuk membayar biaya persalinan Engeline sebesar Rp 1,8 juta.
Jelas sekali
maknanya disini bahwa orang tua kandung Engeline tidak memiliki perencanaan
yang matang mengenai kehidupan membangun keluarga termasuk dalam hal memiliki
anak. Lebih jauh lagi bahwa (kuat dugaan saya) orang tua kandung Engeline
menikah di usia muda di bawah 20 tahun. Perhitungan saya ialah usia Hamidah
yang saat ini masih berusia 28 tahun yang jika dikurangi oleh usia Engeline (8
Tahun) maka didapat pada usia 20 tahun-lah Hamidah melahirkan Engeline. Usia
yang 20 tahun itu lalu dikurangi 2 tahun karena Hamidah telah memiliki seorang
anak sebelum melahirkan Engeline. Sehingga asumsinya ialah Hamidah masih
berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayah kandung Engeline, Rosidik.
Selanjutnya saya
juga tak muter-muter dan ini memang telah mengendap sekian lama pasca
pemberitaan penemuan jenazah Engeline. Seandainya kesulitan finansial, maka tak
usahlah memiliki banyak anak. Kalaupun bermaksud menambah anak, idealnya
dipikirkan secara matang-matang. Sekalian buatlah perencanaan mulai dari biaya
persalinan, biaya hidup anak dan lain-lain sampai anak dari orang tua yang
bersangkutan dewasa dan bisa mandiri menafkahi dirinya sendiri. Jangan
dilupakan juga bahwa kesehatan ibu harus juga menjadi prioritas. Asupan gizi
atau nutrisi yang masuk ke tubuh ibu, apabila baik dan mencukupi – yakinlah
bayi yang dilahirkan akan dalam kondisi sehat dan normal.
Gagalnya
program KB ?
Apa yang
terjadi pada kasus Engeline ini mengingatkan kita pada program Keluarga
Berencana (KB) yang dulu sekali pernah digiatkan oleh pemerintah kita. Publik
mengetahui bahwa program KB merupakan produk dari masa Orde Baru. Tidak juga karena
berdasarkan sejarahnya yang dikutip dari depkes.go.id,
program KB telah dimulai sejak tahun 1957 (masa orde lama) namun masih menjadi
urusan kesehatan dan belum menjadi program kependudukan. Baru di tahun 1970,
tepatnya tanggal 29 Juni, KB ditetapkan sebagai program pemerintah bersamaan
dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Harus diakui,
masih ada stigmanisasi negatif terhadap program KB selama ini dalam masyarakat
kita, misalnya sasaran KB hanyalah wanita dan KB dapat memandulkan peserta
program tersebut. Padahal bila kita mau memahami dulu apa definisi dan tujuan
program KB di Indonesia, stigma negatif tadi dapat dikikis. Dalam website kebidanan.org, ada tiga definisi dari
KB. Definisi pertama, KB adalah upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam
mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (KB versi UU No. 10/ 1992).
Definisi kedua, KB (family Planning
Planned Parenthood) yakni suatu
usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan
kontrasepsi. Dan definisi ketiga dari WHO (Expert
Committee, 1970), KB merupakan tindakan yang membantu individu atau pasien
untuk mendapatkan obyektif-obyektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak
diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur internal di antara
kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Sementara
tujuan umum dari KB yakni membentuk keluarga kecil yang sesuai dengan kekuatan
sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar
diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Menteri Sosial
Khofifah Indar Parawansa baru-baru ini pernah mengungkap kisaran angka anak
terlantar di Indonesia. Waktu itu saat sedang hebohnya kasus penelantaran anak
di Cibubur. Kepada media ia mengatakan ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia
(detik.com, 15/5/2015). Angka yang
disebut-sebut oleh Mensos tadi terkategorikan mencenggangkan. Mengingat pula
bahwa anak-anak terlantar itulah generasi penerus bangsa kita. Namun angka yang
disebut oleh mensos tadi kemungkinan jauh lebih besar lagi jika kita turun
langsung ke lapangan dan dugaan kuat dari saya ini – dapat menjadi valid jika
kita mengamati jumlah anak-anak berkeliaran di penjuru kota.
Salah satu
contoh nyata dari hal ini dapat saya lihat betapa banyaknya anak usia SD dan
malah TK berkeliaran setiap hari mulai sore atau maghrib dan entah hingga malam
pukul berapa. Mereka menyambangi warung-warung tenda/ PKL yang mulai berjualan
di sore hari di kota saya (Bandar Lampung). Entah bagaimana di kota lainnya,
hanya dugaan saya ialah sama saja. Biasanya mereka mengemis atau mengamen
dengan gitar kecilnya dan berpenampilan kucel – yang mungkin untuk mengiba
supaya orang kasihan dan memberi uang kepada mereka.
Sampai disitu
– dengan pemandangan begitu, saya jadi berpikir sekaligus bertanya-tanya,
dimana gerangan orang tua dari anak-anak tadi ? Apakah para orang tuanya
mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anak mereka ? Apakah anak-anak itu
telah memberitahu apa yang mereka lakukan kepada orang tua mereka ? Pasalnya
yang mereka lakukan itu adalah hal yang berbahaya; berkeliaran, mengemis dan
acapkali juga harus menyeberang jalan yang berlalu lintas padat.
Selain itu,
bagaimana reaksi dari orang tua mereka ketika mengetahui apa yang dilakukan
oleh anak-anaknya itu ? Idealnya ialah melarang karena itu bukanlah ranah dari
anak-anak itu. Akan tetapi saya curiga, jangan-jangan aksi mengemis atau
mengamen yang dilakukan oleh anak-anak tadi justru atas suruhan ortunya
sendiri. Secara logis, saya meyakini bahwa tak mungkin anak usia SD/ TK (5-12
tahun) punya inisiatif mengemis atau mengamen. Jadi kuat dugaan bila
inisiatornya ialah ortu mereka. Kuat dugaan juga bila kondisi keluarga mereka
ini tergolong kurang mampu atau ekonomi lemah dan ketika menikah, orang tua
mereka berusia masih sangat muda.
Menjadi
sungguh miris dimana orang tua yang seharusnya merawat, mendidik atau menafkahi
anak-anaknya. Malah yang terjadi sebaliknya. Anak-anak tadi diterlantarkan
lantaran ketidaksiapan orang tua mereka secara ekonomi (contohnya tidak siap
dalam hal biaya persalinan anak yang baru dilahirkan tadi, seperti dalam kasus
Engeline), edukasi dan sosial. Serta yang terpenting ialah kesiapan mental
untuk menikah dan menjadi orang tua serta membesarkan anak. Seandainya para orang
tua tadi mengikuti program KB yang mengatur perencanaan kehamilan dan jumlah
anak. Pemandangan seperti anak-anak kecil yang mengemis atau mengamen tadi
dapatlah dihindarkan. Anak-anak itu pun niscaya akan tumbuh menjadi generasi
yang sehat dan teredukasi dengan baik. Engeline mengingatkan kita dan khususnya
para orang tua yang hendak memiliki dan menambah anak (dalam hal ini). Anak
bukanlah boneka yang bisa didandani lalu ketika bosan dibuang begitu saja. Anak
adalah calon manusia dewasa, yang bernafas, memiliki kebutuhan dan selayaknya
orang tua bertanggung jawab – wajiblah memenuhi kebutuhan hidup anak mereka
sebaik-baiknya seumur usia hidupnya. (Tulisan ini dimuat dalam Harian Analisa edisi Jumat, 3 Juli 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog www.kompasiana.com/linkarina atau facebook Sycarita Karina Lin.