![]() |
Chusnunia Chalim, Bupati Lampung Timur - dok. Lampung Post |
Tulisan ini sebenarnya
telah sejak Desember 2015 lalu hendak saya kerjakan. Namun karena kesibukan
(plus kecapekan) pekerjaan kala itu, menjadi tertunda-tunda dan tanpa sadar
telah berjalan hingga dua bulan. Tulisan ini sendiri (saat itu) terinspirasi
sekaligus untuk menanggapi opini Rahmatul Ummah yang berjudul Chusnunia dan
Hegemoni Patriaki.
Opini tersebut dimuat dalam
surat kabar Lampung Post (Lampost) bulan Desember 2015, sekira beberapa hari setelah
pilkada serentak 9 Desember 2015 dilaksanakan. Lalu hasil hitung cepat (quick
count) dari beberapa lembaga survei dan rekapitulasi suara form C-1 Komisi Pemilihan
Umum (KPU) atau real count, diumumkan. Namun untuk penghitungan suara oleh KPU
pada saat itu belum semuanya. Berdasarkan hasil, baik quick count atau real
count, semuanya sama-sama menempatkan Chusnunia Chalim sebagai peraih suara
terbanyak pada pilkada Kabupaten Lampung Timur (Lamtim).
Ia yang berpasangan
dengan Zaiful Bokhari meraih 54,07% (versi Rakata Institute) dan 53,14% (versi
KPU). Sedangkan pesaingnya, Yusron Amirullah-Sudarsono meraih 45,93% (versi
Rakata Institute) dan 46,86% (versi KPU).
Inilah yang menjadi
sentral dari Rahmatul Ummah, mengenai Nunik (panggilan akrab Chusnunia Chalim)
yang secara gender merupakan kaum hawa namun berhasil memenangi pertarungan
pilkada yang notabene dunia politik dan identik dengan kaum adam. Menurut
penggiat Pojok Samber itu, kemenangan Nunik
adalah wujud terpatahkannya dunia politik dan demokrasi oleh hegemoni
patriaki. Terpilihnya Chusnunia menjadi simbol baru
keberhasilan perempuan dalam memutus mata rantai tradisi hegemoni patriarki,
meruntuhkan mitos pemimpin harus laki-laki, sekaligus menjadi bukti kuat bahwa
isu-isu misoginis dan bias gender yang melibatkan sentimen keagamaan sudah
mulai kabur dan tak berpengaruh, dan tak tanggung. Demikian ia menulis.
Dilanjutkannya, sejumlah optimisme lahir, karena selain dianggap kepemimpinan perempuan sebagai
hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda dan produktif untuk
menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas,
dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya.
Terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh Rahmatul Ummah, saya punya
pandangan berbeda alias tidak setuju. Selain itu mengenai sosok Chusnunia yang
kini telah resmi menjabat bupati, dalam statusnya itu, saya punya sedikit
argumen.
Tidak Memutus Mata Rantai Tradisi
Hegemoni Patriaki
Apakah iya kemenangan Nunik artinya memutus mata rantai tradisi hegemoni patriaki? Ini yang segera
terpikir usai saya membaca tulisan sekaligus pernyataan Rahmatul Ummmah tadi.
Menurut saya adalah tidak. Mengapa?
Jika disebut sebagai memutus mata rantai maka seharusnya ada kontinuitas
(keberlanjutan yang konsisten). Lebih jelasnya begini; setelah kemenangan Nunik
lalu lima tahun ke depan saat pilkada digelar atau pilkada beberapa kabupaten
di Lampung yang rencananya digelar tahun ini, ada kandidat perempuan dan ia –
sama seperti Nunik – mampu memenanginya. Tambahan tak hanya satu, melainkan ada
beberapa.
Kemenangan Nunik ini, saya kira lebih tepat sebagai ‘trigger’ atau
pemicu saja. Sementara kenyataannya, dunia perkepaladaerahan itu harus diakui
masih didominasi lelaki.
Jika mengikuti, menangnya Chusnunia juga belum tentu berarti yang
bersangkutan sungguh-sungguh mendapatkan hati dalam masyarakat Lampung Timur. Meskipun
Nunik bukanlah sosok asing di Lamtim. Mengapa? Sebab pada awalnya ada tiga
pasang calon kepala daerah yang akan bertarung. Selain Chusnunia Chalim-Zaiful
Bokhari, Yusron Amirullah-Sudarsono, ada Erwin Arifin-Prio Budi Utomo.
Sayangnya di tengah persaingan menuju pilkada, wakil Erwin itu, meninggal
dunia. Sempat terjadi tarik ulur apakah Erwin dapat tetap melaju meskipun tanpa
wakil. Namun akhirnya KPU setempat yang sebelumnya telah berkonsultasi dengan
KPU Provinsi dan Pusat menyatakan ia tak dapat meneruskan ke Lamtim 1.
Erwin sendiri ialah calon kepala daerah
dari pertahana. Beliau merupakan Bupati Lamtim periode 2012-2015. Erwin
seandainya dibolehkan tetap maju – mungkin mampu meraih suara yang cukup banyak
mengingat dia eks bupati di kabupaten berjuluk Bumei Tuwah Bepadan. Loyalitas
suara diperkirakan berasal dari birokrat di pemkabnya itu. Namun karena ia tak
dapat maju maka suara-suara pastilah terpecah dan menyebar.
Bupati Perempuan Pertama di Lampung
Sebagaimana kita ketahui, pada Rabu 17
Februari 2016 lalu, Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo melantik kedelapan pasang
kepala daerah terpilih. Dalam barisan nampak dua orang perempuan di mana salah
satunya ialah Chusnunia Chalim. Ditinjau dari sisi emansipasi dan empati
wanita, secara pribadi – saya turut bangga terhadap pencapaian yang diraih oleh
Chusnunia.
Akan tetapi bersamaan itu, harus pula
diakui ada semacam kekhawatiran atau pesimistis saat kepemimpinan telah
berjalan. Rahmatul Ummah dalam opininya menulis sejumlah
optimisme lahir, karena selain dianggap
kepemimpinan perempuan sebagai hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda
dan produktif untuk menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas,
dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya.
Di atas kertas, hal
tersebut benar adanya. Kaum muda identik dengan semangat, kreatif, energi tiada
henti, agent of change. Bung Karno
dalam salah satu pernyataannya yang melegenda bahkan mengatakan ‘beri aku 10
pemuda, maka akan kuguncangkan dunia’. Jangan dilupakan juga, peristiwa
menjelang sampai merdekanya republik ini – para golongan muda lah yang punya
andil besar.
Hanya, apa yang di atas
kertas tadi belum tentu demikian adanya di kenyataan. Tak diragukan pengalaman
Chusnunia dalam dunia politik telah banyak meskipun ia baru berusia awal 30
tahunan. Pernah menjadi legislator di Senayan selama dua periode (2009-2014 dan
2014-2019). Pengalaman yang pernah dicecapnya itu, pasti menjadi bekal
berharga. Nah yang tak boleh dilupakan ialah posisinya.
Sebagai legislator, dia
dalam posisi mendengarkan curhatan masyarakat dan memperjuangkan aspirasi
warga. Dia dalam posisi yang ‘mengkritisi’ pihak pemerintah. Sedangkan
sekarang, posisinya sebagai bupati memindahkannya ke pihak eksekutif. Langkah
mendengar dan memenuhi aspirasi masyarakatnya masih bisa diterapkan. Namun
menyoal kritik, dengan kondisi sekarang malah ialah yang menjadi sasaran
dikritik apabila kinerja atau kebijakannya tidak maksimal.
Terus terang, menjadi
pengkritik itu jauh lebih enak ketimbang menjadi sasaran kritik. Nah inilah
tantangan pertama yang harus dihadapinya. Apakah sebagai kepala daerah mau
mendengarkan atau mengabaikan kritik? Bersikap bijak dan positif terhadap
kritik ataukah sebaliknya?
Lalu, birokrasi
bagaimanakah yang hendak dibentuknya? Kembali ke soal muda, idealnya
pemerintahannya itu dapat memancarkan aura energik, semangat, penuh inovasi,
kreativitas tiada henti. Pokoknya yang lekat dengan anak muda. Bercermin dari
pengalaman ini pula ketika M. Ridho Ficardo terpilih dan dilantik sebagai
Gubernur Lampung. Usia Ridho saat itu kira-kira sepantaran Nunik. Ternyata
dalam perjalanannya , kepemimpinan gubernur muda ini masih jauh dari memenuhi
ekspetasi warga Lampung. Malah tak jarang dia menjadi bulan-bulanan di kalangan
akademisi yang bergiat di bidang politik dan pemerintahan atau warganya
sendiri.
Semangat muda tak nampak
selama kepemimpinannya. Bingung justru yang terlihat yang ditunjukkan oleh
betapa seringnya dia bongkar pasang (baca: memutasi) pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi
(Pemprov) Lampung.
Jadi hal tersebut dapat
menjadi cerminan. Apalagi Lamtim sebagai kabupaten memiliki masalah yang
kompleks. Sebut saja begal. Saya melihat, sebenarnya posisi Chusnunia sebagai
Bupati Lamtim bukanlah semata jabatan politik dan pemerintahan saja. Melainkan
sebagai pertaruhan.
Sebagai bupati perempuan
di Lampung, ia mencatat sejarah. Tetapi sejarah bagaimanakah yang hendak
ditorehkannya selama memimpin Lamtim? Itu masih tanda tanya. Yang jelas
andaikata baik maka sejarah mencatat dengan puja puji dan kebanggaan. Namanya
dan sosoknya bakal disanjung-sanjung bagaikan Tri Rismaharini yang Wali Kota
Surabaya itu.
Sebaliknya bila buruk
maka sejarah akan mencatat dengan cerca dan penyesalan. Lebih jauh lagi, bisa
muncul atau semakin kuat persepsi bahwa dunia kepala daerah memang adalah
dunianya lelaki. Mungkin yang lebih sederhana, seandainya Nunik sanggup
menggubah image Lamtim sebagai kabupaten sarang begal menjadi kabupaten sentra
durian cap jempolan. Karena kabarnya, durian di sana rasanya top markotop!
Sedikit catatan; ketika mengirimkan artikel ini ke Lampost, saya menyematkan judul Menanti Gebrakan Chusnunia, Bupati Perempuan Pertama Lampung nan Muda. Mungkin karena terlalu panjang dan kepraktisan, judul asli tersebut diganti oleh redaksi Lampost.
Artikel dimuat dalam Lampost edisi Rabu, 24 Februari 2016. Sedangkan versi online dapat diakses di http://lampost.co/berita/menanti-gebrakan-nunik.
Sedikit catatan; ketika mengirimkan artikel ini ke Lampost, saya menyematkan judul Menanti Gebrakan Chusnunia, Bupati Perempuan Pertama Lampung nan Muda. Mungkin karena terlalu panjang dan kepraktisan, judul asli tersebut diganti oleh redaksi Lampost.
Artikel dimuat dalam Lampost edisi Rabu, 24 Februari 2016. Sedangkan versi online dapat diakses di http://lampost.co/berita/menanti-gebrakan-nunik.