Minggu, 28 Februari 2016

MENANTI GEBRAKAN NUNIK

Chusnunia Chalim, Bupati Lampung Timur - dok. Lampung Post
Tulisan ini sebenarnya telah sejak Desember 2015 lalu hendak saya kerjakan. Namun karena kesibukan (plus kecapekan) pekerjaan kala itu, menjadi tertunda-tunda dan tanpa sadar telah berjalan hingga dua bulan. Tulisan ini sendiri (saat itu) terinspirasi sekaligus untuk menanggapi opini Rahmatul Ummah yang berjudul Chusnunia dan Hegemoni Patriaki.

Opini tersebut dimuat dalam surat kabar Lampung Post (Lampost) bulan Desember 2015, sekira beberapa hari setelah pilkada serentak 9 Desember 2015 dilaksanakan. Lalu hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei dan rekapitulasi suara form C-1 Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau real count, diumumkan. Namun untuk penghitungan suara oleh KPU pada saat itu belum semuanya. Berdasarkan hasil, baik quick count atau real count, semuanya sama-sama menempatkan Chusnunia Chalim sebagai peraih suara terbanyak pada pilkada Kabupaten Lampung Timur (Lamtim).

Ia yang berpasangan dengan Zaiful Bokhari meraih 54,07% (versi Rakata Institute) dan 53,14% (versi KPU). Sedangkan pesaingnya, Yusron Amirullah-Sudarsono meraih 45,93% (versi Rakata Institute) dan 46,86% (versi KPU).

Inilah yang menjadi sentral dari Rahmatul Ummah, mengenai Nunik (panggilan akrab Chusnunia Chalim) yang secara gender merupakan kaum hawa namun berhasil memenangi pertarungan pilkada yang notabene dunia politik dan identik dengan kaum adam. Menurut penggiat Pojok Samber itu, kemenangan Nunik  adalah wujud terpatahkannya dunia politik dan demokrasi oleh hegemoni patriaki. Terpilihnya Chusnunia menjadi simbol baru keberhasilan perempuan dalam memutus mata rantai tradisi hegemoni patriarki, meruntuhkan mitos pemimpin harus laki-laki, sekaligus menjadi bukti kuat bahwa isu-isu misoginis dan bias gender yang melibatkan sentimen keagamaan sudah mulai kabur dan tak berpengaruh, dan tak tanggung. Demikian ia menulis.

Dilanjutkannya, sejumlah optimisme lahir, karena selain dianggap kepemimpinan perempuan sebagai hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda dan produktif untuk menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas, dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya. 

Terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh Rahmatul Ummah, saya punya pandangan berbeda alias tidak setuju. Selain itu mengenai sosok Chusnunia yang kini telah resmi menjabat bupati, dalam statusnya itu, saya punya sedikit argumen.

Tidak Memutus Mata Rantai Tradisi Hegemoni Patriaki
Apakah iya kemenangan Nunik artinya memutus mata rantai  tradisi hegemoni patriaki? Ini yang segera terpikir usai saya membaca tulisan sekaligus pernyataan Rahmatul Ummmah tadi. Menurut saya adalah tidak. Mengapa?

Jika disebut sebagai memutus mata rantai maka seharusnya ada kontinuitas (keberlanjutan yang konsisten). Lebih jelasnya begini; setelah kemenangan Nunik lalu lima tahun ke depan saat pilkada digelar atau pilkada beberapa kabupaten di Lampung yang rencananya digelar tahun ini, ada kandidat perempuan dan ia – sama seperti Nunik – mampu memenanginya. Tambahan tak hanya satu, melainkan ada beberapa.

Kemenangan Nunik ini, saya kira lebih tepat sebagai ‘trigger’ atau pemicu saja. Sementara kenyataannya, dunia perkepaladaerahan itu harus diakui masih didominasi lelaki.

Jika mengikuti, menangnya Chusnunia juga belum tentu berarti yang bersangkutan sungguh-sungguh mendapatkan hati dalam masyarakat Lampung Timur. Meskipun Nunik bukanlah sosok asing di Lamtim. Mengapa? Sebab pada awalnya ada tiga pasang calon kepala daerah yang akan bertarung. Selain Chusnunia Chalim-Zaiful Bokhari, Yusron Amirullah-Sudarsono, ada Erwin Arifin-Prio Budi Utomo. Sayangnya di tengah persaingan menuju pilkada, wakil Erwin itu, meninggal dunia. Sempat terjadi tarik ulur apakah Erwin dapat tetap melaju meskipun tanpa wakil. Namun akhirnya KPU setempat yang sebelumnya telah berkonsultasi dengan KPU Provinsi dan Pusat menyatakan ia tak dapat meneruskan ke Lamtim 1.

Erwin sendiri ialah calon kepala daerah dari pertahana. Beliau merupakan Bupati Lamtim periode 2012-2015. Erwin seandainya dibolehkan tetap maju – mungkin mampu meraih suara yang cukup banyak mengingat dia eks bupati di kabupaten berjuluk Bumei Tuwah Bepadan. Loyalitas suara diperkirakan berasal dari birokrat di pemkabnya itu. Namun karena ia tak dapat maju maka suara-suara pastilah terpecah dan menyebar.

Bupati Perempuan Pertama di Lampung
Sebagaimana kita ketahui, pada Rabu 17 Februari 2016 lalu, Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo melantik kedelapan pasang kepala daerah terpilih. Dalam barisan nampak dua orang perempuan di mana salah satunya ialah Chusnunia Chalim. Ditinjau dari sisi emansipasi dan empati wanita, secara pribadi – saya turut bangga terhadap pencapaian yang diraih oleh Chusnunia.

Akan tetapi bersamaan itu, harus pula diakui ada semacam kekhawatiran atau pesimistis saat kepemimpinan telah berjalan. Rahmatul Ummah dalam opininya menulis sejumlah optimisme lahir, karena selain dianggap kepemimpinan perempuan sebagai hal yang langka, sosok Chusnunia juga masih muda dan produktif untuk menggantungkan banyak harapan perubahan. Gairah, kreativitas, dan produktivitas anak muda memajukan daerah dan menyejahterakan rakyatnya.

Di atas kertas, hal tersebut benar adanya. Kaum muda identik dengan semangat, kreatif, energi tiada henti, agent of change. Bung Karno dalam salah satu pernyataannya yang melegenda bahkan mengatakan ‘beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia’. Jangan dilupakan juga, peristiwa menjelang sampai merdekanya republik ini – para golongan muda lah yang punya andil besar.

Hanya, apa yang di atas kertas tadi belum tentu demikian adanya di kenyataan. Tak diragukan pengalaman Chusnunia dalam dunia politik telah banyak meskipun ia baru berusia awal 30 tahunan. Pernah menjadi legislator di Senayan selama dua periode (2009-2014 dan 2014-2019). Pengalaman yang pernah dicecapnya itu, pasti menjadi bekal berharga. Nah yang tak boleh dilupakan ialah posisinya.

Sebagai legislator, dia dalam posisi mendengarkan curhatan masyarakat dan memperjuangkan aspirasi warga. Dia dalam posisi yang ‘mengkritisi’ pihak pemerintah. Sedangkan sekarang, posisinya sebagai bupati memindahkannya ke pihak eksekutif. Langkah mendengar dan memenuhi aspirasi masyarakatnya masih bisa diterapkan. Namun menyoal kritik, dengan kondisi sekarang malah ialah yang menjadi sasaran dikritik apabila kinerja atau kebijakannya tidak maksimal.

Terus terang, menjadi pengkritik itu jauh lebih enak ketimbang menjadi sasaran kritik. Nah inilah tantangan pertama yang harus dihadapinya. Apakah sebagai kepala daerah mau mendengarkan atau mengabaikan kritik? Bersikap bijak dan positif terhadap kritik ataukah sebaliknya?

Lalu, birokrasi bagaimanakah yang hendak dibentuknya? Kembali ke soal muda, idealnya pemerintahannya itu dapat memancarkan aura energik, semangat, penuh inovasi, kreativitas tiada henti. Pokoknya yang lekat dengan anak muda. Bercermin dari pengalaman ini pula ketika M. Ridho Ficardo terpilih dan dilantik sebagai Gubernur Lampung. Usia Ridho saat itu kira-kira sepantaran Nunik. Ternyata dalam perjalanannya , kepemimpinan gubernur muda ini masih jauh dari memenuhi ekspetasi warga Lampung. Malah tak jarang dia menjadi bulan-bulanan di kalangan akademisi yang bergiat di bidang politik dan pemerintahan atau warganya sendiri.

Semangat muda tak nampak selama kepemimpinannya. Bingung justru yang terlihat yang ditunjukkan oleh betapa seringnya dia bongkar pasang (baca: memutasi) pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung.

Jadi hal tersebut dapat menjadi cerminan. Apalagi Lamtim sebagai kabupaten memiliki masalah yang kompleks. Sebut saja begal. Saya melihat, sebenarnya posisi Chusnunia sebagai Bupati Lamtim bukanlah semata jabatan politik dan pemerintahan saja. Melainkan sebagai pertaruhan.

Sebagai bupati perempuan di Lampung, ia mencatat sejarah. Tetapi sejarah bagaimanakah yang hendak ditorehkannya selama memimpin Lamtim? Itu masih tanda tanya. Yang jelas andaikata baik maka sejarah mencatat dengan puja puji dan kebanggaan. Namanya dan sosoknya bakal disanjung-sanjung bagaikan Tri Rismaharini yang Wali Kota Surabaya itu.

Sebaliknya bila buruk maka sejarah akan mencatat dengan cerca dan penyesalan. Lebih jauh lagi, bisa muncul atau semakin kuat persepsi bahwa dunia kepala daerah memang adalah dunianya lelaki. Mungkin yang lebih sederhana, seandainya Nunik sanggup menggubah image Lamtim sebagai kabupaten sarang begal menjadi kabupaten sentra durian cap jempolan. Karena kabarnya, durian di sana rasanya top markotop!

Sedikit catatan; ketika mengirimkan artikel ini ke Lampost, saya menyematkan judul Menanti Gebrakan Chusnunia, Bupati Perempuan Pertama Lampung nan Muda. Mungkin karena terlalu panjang dan kepraktisan, judul asli tersebut diganti oleh redaksi Lampost.

Artikel dimuat dalam Lampost edisi Rabu, 24 Februari 2016. Sedangkan versi online dapat diakses di http://lampost.co/berita/menanti-gebrakan-nunik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar