Kamis, 15 Desember 2016

GELE HARUN, K.H. A. HANAFIAH DAN SDL

Alm. Gele Harun Nasution/Wikipedia.org
Jumat, 30 September 2016 atau seminggu yang lalu, bertempat di aula Dinas Sosial Provinsi Lampung telah dilakukan rapat pengusulan eks Residen Lampung Mr. Gele Harun Nasuition dan tokoh pejuang daerah Lampung K.H. A. Hanafiah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Sebelumnya, kedua tokoh ini pada setahun lalu (2015) telah ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.

Rapat pengusulan sekaligus penandatanganan yang menandakan dimulainya proses menjadi pahlawan nasional ini merupakan langkah positif dan patut diapresiasi sebaik-baiknya. Sebab (seandainya) beliau berdua lolos seleksi gelar Pahlawan Nasional maka akan bertambah lagi, pahlawan dari Bumi Ruwa Jurai yang dikenal secara nasional. Hal tersebut pastilah suatu kebanggaan tak terhingga.

Namun, langkah menjadikan beliau berdua nampaknya menjadi jalan yang cukup terjal, dan pada sisi lain – merupakan sebuah sentilan bagi sejarah daerah Lampung (SDL) dan kelampungan kita.

Proses Panjang di Literatur
Dikutip dari beberapa media lokal, Drs. Maskun, M.H., Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) mengatakan ada tujuh tahapan yang harus dipenuhi dalam proses pengajuan pahlawan daerah menuju pahlawan nasional, yang antara lain harus ada rekomendari dari Gubernur Lampung, rekomendasi dan sidang pengusulan dari TP2GD, riwayat hidup calon pahlawan nasional, biografi serta sudah dilakukan seminar nasional.

Untuk Mr. Gele Harun, lanjutnya, literaturnya telah ada – yang ditulis sendiri oleh Mulkarnaen Gele Harun (anak keenam dari almarhum) dan keluarga besarnya. Buku tersebut diluncurkan setahun yang lalu, tepatnya Sabtu, 20 September 2016. Kebetulan pada saat itu, saya masih bekerja di media online lokal dan ditugaskan untuk meliput kegiatan peluncuran buku. Satu hal yang paling saya ingat, Mulkarnaen penuh haru sampai berlinang airmata saat berbicara di depan mikrofon, mengisahkan perjuangan ayahnya (bersama K.H. A. Hanafiah) dalam mempertahankan Lampung supaya tetap ada dan menjadi bagian dari NKRI.

Sebaliknya untuk K.H. A. Hanafiah, menurut Maskun, agak sulit lantaran sampai saat ini masih minim (atau bahkan tiada) literatur (biografi) yang membahas mengenainya. Walaupun dalam hal kesaksian, tidak diragukan. Salah seorang yang menjadi saksi hidup dari perjuangan K.H. A. Hanafiah (dan Mr. Gele Harun) ialah K.H. Arief Makhya, yang dapat menceritakan atau memberi kesaksian mengenai perjuangan keduanya.

Apa yang diungkapkan oleh Maskun pada satu sisi adalah fakta karena memang benar (sepengetahuan saya) sangat sulit atau bahkan tiada literatur sejarah yang mengurai mengenai K.H. A. Hanafiah atau apabila ada – bisa jadi terpencar-pencar (dan ini perlu disatukan yang pasti memerlukan waktu panjang).

Sedangkan pada sisi lain, apa yang dinyatakan oleh Maskun merupakan sentilan bagi historiografi sejarah pahlawan dan sejarah daerah Lampung.
  
Lampungisme Sebuah Retorika?
A.L. Rowse, sejarawan dan sastrawan ternama asal negeri Ratu Elizabeth, dalam bukunya Apa Guna Sejarah? (diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2014) memaparkan beberapa kemanfaatan atau kegunaan daripada mempelajari sejarah (sebagai sebuah ilmu pengetahuan). Apa?

Menurutnya, sejarah memungkinkan kita memahami, lebih dari disiplin lainnya, berbagai peristiwa, masalah dan tren umum terkini. Jika Anda tak memahami dunia tempat Anda tinggal, Anda hanya akan menjadi lelucon dan menjadi korbannya (kebanyakan orang memang seperti itu. Namun tidak ada alasan untuk menjadi salah satu dari mereka. Memahami sejarah menjadi satu-satunya emansipasi kita).

Membaca peryataan Rowse tadi, membuat kita tersenyum dan lebih ekstrem lagi, tertawa. Pasalnya yang ia katakan itu kok sungguh klop dengan kondisi historiografi dan posisi sejarah daerah Lampung kita selama ini. Minim atau ketiadaan literatur mengenai K.H. A. Hanafiah memperlihatkan betapa kita telah abai sehingga menjadi lelucon dan menjadi korbannya; dan semakin aneh, mengapa kita kok tahan berada dalam kondisi serupa ini menahun? Dan mengapa pula setelah mengetahui kondisi seperti ini, kok tiada usaha lekas-lekas untuk ah katakanlah menebusnya.

Buku Biografi Alm. Gele Harun Nasution/Ist
Begitupun dengan literatur untuk Mr. Gele Harun yang meskipun ada, baru digarap serius dan diluncurkan di tahun 2015 alias setahun lalu serta yang menulisnya ialah keluarga almarhum. Bukan dari pihak pemerintah daerah (pemda). Padahal peranan dan jasa beliau terhadap Lampung berpuluh tahun lebih lama dari buku tersebut diluncurkan dan tentu saja tidak diragukan lagi. Dikutip dari laman lampungheritage.com, Gele Harun Nasution ialah Acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) dari 1949-1955.

Kronologis pengangkatannya berawal dari Agresi Militer II yang dilakukan oleh Belanda. Pada tahun 1949, saat tentara Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang, begitu keluar yang pertama kali dicari adalah rumah Gele Harun. Karena itulah, dia langsung memboyong keluarga dan stafnya ke Pringsewu. Pada 5 Januari 1949, di sebuah pendopo di Pringsewu diadakan musyawarah guna menentukan pemerintahan Karesidenan Lampung. Rapat kecil ini lantas memustukan mengangkat Letkol Mr. Gele Harun sebagai Acting Residen Lampung menggantikan Residen Rukadi yang berada di Tanjungkarang yang kala itu masih diduduki Belanda.

Seandainya beliau tidak menereima posisi tersebut maka, Lampung tak lagi menjadi bagian dari NKRI saat itu.

Sampai disini, saya berkontemplasi, dimanakah kelampungan kita? Seberapa besar kah kadar lampungisme kita? Lalu dimanakah peranan para sejarawan dan guru sejarah kita? Dimana, dimana, bagaimana, bagaimana? Ah ya, saya baru ingat (lagi) bahwa Lampung tidak memiliki Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang mana ilmu sejarah dan Lampungisme (apabila ada FIB) masuk dalam lingkup fakultas tersebut. Program studi yang dimiliki oleh Universitas Lampung – universitas kebanggaan kita – barulah sebatas FKIP yang lebih menitikberatkan pada pendidikan sejarah dan mencetak guru sejarah.

Justru sejarawan-sejarawan yang menggarap Lampung beserta isinya kebanyakan dari luar Lampung atau bukan anak daerah sendiri. Perhatian dari pemda pun – menurut amatan saya – masih minim. Coba, berapa besar anggaran untuk mengkaji – contohnya saat ini, peranan Mr. Gele Harun dan K.H. A. Hanafiah? Jangan-jangan dana untuk pengkajian itu bukan dari pemda, melainkan dari kantung pribadi keluarga almarhum.

Penulis Afrika Amerika, Marcus Garvey dalam salah satu quotes-nya yang terkenal menulis demikian a people without the knowledge of their past history, origin and culture lake a tree without roots. Kutipan Garvey memang mencerminkan kondisi di Bumi Ruwa Jurai. Tak mengherankan bila begal bertumbuh subur dan mirisnya para begal ini berasal dari kalangan muda usia – yang idealnya menjadi pemuda produktif membangun daerah dan negara. Bahkan banyak dari mereka yang kiprah kebegalannya telah menasional malah tak segan-segan bertindak sadis ketika melancarkan aksinya. Contohnya aksi begal di Cipondoh, Tangerang dalam bulan Juni 2016 lalu. Setelah diidentifikasi oleh pihak kepolisian setempat, diketahui bahwa kedua begal ini berasal dari Negara Batin, Jabung, Lampung Timur dan berusia 26 tahun.

Kemudian pembangunan pun menjadi kurang jelas atau kurang mantap arah pijakannya. Cukup sering saya bertanya, provinsi Lampung ini hendak membangun yang bagaimana dan menjadi daerah apa?

Menyikapi fakta kekinian ini, patut kita renungi sekaligus bergegas mengambil langkah atau kebijakan nyata. Dalam blue print versi saya – yang paling utama harus dilakukan ialah mendirikan FIB (dengan salah satu cabang ilmu didalamnya adalah Sejarah Daerah Lampung (SDL). Kemudian memperkuat peran guru sejarah dalam menyebarluaskan atau mendidik siswanya mengenai tokoh-tokoh atau pahlawan daerah Lampung dalam perjuangan – baik sebelum, sesudah kemerdekaan termasuk masa kini.

Tujuannya menanamkan Lampungisme sejak dini atau muda usia. Makin muda, makin baik supaya kecintaan dan apresiasinya makin meresap. Jangan sampailah para anak muda menjadi lelucon sesat sejarah daerahnya, misalnya menyebut Mr. Gele Harun sebagai mister. Padahal Mr merupakan kependekan gelar sarjana hukum warisan Belanda, yaitu mester in de rechten. Mempelajari sejarah, membuka mata batin kita akan daerah Lampung yang sekarang kita tempati.

Omong-omong soal guru sejarah, saya punya cerita lucu dan agak aneh. Sebutlah dia adik tingkat saya di FKIP prodi Pendidikan Sejarah Unila (dulu). Sekarang dia telah menjadi guru sejarah di kabupaten dari provinsi Lampung. Menarik sekaligus lucunya adalah postingan statusnya yang selalu berbau Korea. Misalnya saat drama Korea Descendant of Sun sedang booming di Indonesia dan Asia, status-status postingannya selalu mengenai Kang Mo Jin dan lain-lain (tokoh yang diperankan oleh aktris cantik asal Korea Selatan, Song Hye Kyo) atau kekecewaannya melewatkan menonton drama Korea tadi.

Secara HAM, hal tersebut ialah haknya. Tetapi secara profesi, menjadi antiklimaks. Jangan heran dengan kondisi seperti itu, nama-nama aktris dan aktor lebih familiar di kalangan pelajar daerah Lampung atau anak kuliahan ketimbang nama Pahlawan Daerah Lampung. Lha, guru sejarahnya Koreaisme kok. Bukan Lampungisme.

Rowse menulis, sejarah merupakan kajian dengan sifat manusia, sepanjang waktu, termasuk biografi tokoh besar sejarah dan itulah sebabnya mengapa mempelajari sejarah sangat bermanfaat. Dalam kaitannya dengan SDL, supaya kita tahu (para anak muda, begal, koruptor dan orang-orang jahat asal Lampung) pun orang-orang baiknya, mengetahui plus meresapi amat sangat bahwa provinsinya tidaklah ada dalam sekejap – melainkan ada karena proses panjang yang terdiri dari usaha, cinta, darah dan airmata dari pahlawan-pahlawan daerah seperti Mr. Gele Harun Nasution, K.H. A. Hanafiah, dan lain-lain.*


Sedikit catatan; artikel ini sungguh berkesan bagi saya. Pasalnya ditulis semasa saya diopname empat hari di Rumah Sakit Advent (RSA) Bandar Lampung. Saat itu, pada Rabu, 5 Oktober 2016 kondisi saya dinyatakan drop karena lupus. Internis yang selama ini menangani, menyarankan saya rawat inap. 

Nah selama dirawat inap itulah saya mengerjakannya. Tak secara terus menerus. Dicicil karena saya dalam kondisi kurang sehat. Sekitar 1-2 jam setiap hari saya menulis, diselingi istirahat kalau lelah.

Naskah ini lantas saya kirim ke Lampung Post dan dipublikasikan pada Selasa, 18 Oktober 2016. Alamat online-nya http://www.lampost.co/berita/gele-harun-kh-a-hanafiah-dan-sejarah-lampung. Tanpa disangka, di sore hari yang sama dengan tanggal publikasi, anak almarhum Gele Harun Nasution yakni Pak Mulkarnaen Gele Harun menelpon saya. Dalam nada perbincangan, tersirat apresiasi dirinya terhadap artikel yang saya tulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar