![]() |
Alm. Gele Harun Nasution/Wikipedia.org |
Jumat,
30 September 2016 atau seminggu yang lalu, bertempat di aula Dinas Sosial
Provinsi Lampung telah dilakukan rapat pengusulan eks Residen Lampung Mr. Gele
Harun Nasuition dan tokoh pejuang daerah Lampung K.H. A. Hanafiah menjadi
Pahlawan Nasional Indonesia. Sebelumnya, kedua tokoh ini pada setahun lalu
(2015) telah ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.
Rapat
pengusulan sekaligus penandatanganan yang menandakan dimulainya proses menjadi
pahlawan nasional ini merupakan langkah positif dan patut diapresiasi sebaik-baiknya.
Sebab (seandainya) beliau berdua lolos seleksi gelar Pahlawan Nasional maka
akan bertambah lagi, pahlawan dari Bumi Ruwa Jurai yang dikenal secara
nasional. Hal tersebut pastilah suatu kebanggaan tak terhingga.
Namun,
langkah menjadikan beliau berdua nampaknya menjadi jalan yang cukup terjal, dan
pada sisi lain – merupakan sebuah sentilan bagi sejarah daerah Lampung (SDL) dan
kelampungan kita.
Proses Panjang di Literatur
Dikutip
dari beberapa media lokal, Drs. Maskun, M.H., Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji
Gelar Daerah (TP2GD) mengatakan ada tujuh tahapan yang harus dipenuhi dalam
proses pengajuan pahlawan daerah menuju pahlawan nasional, yang antara lain
harus ada rekomendari dari Gubernur Lampung, rekomendasi dan sidang pengusulan
dari TP2GD, riwayat hidup calon pahlawan nasional, biografi serta sudah
dilakukan seminar nasional.
Untuk
Mr. Gele Harun, lanjutnya, literaturnya telah ada – yang ditulis sendiri oleh
Mulkarnaen Gele Harun (anak keenam dari almarhum) dan keluarga besarnya. Buku
tersebut diluncurkan setahun yang lalu, tepatnya Sabtu, 20 September 2016.
Kebetulan pada saat itu, saya masih bekerja di media online lokal dan
ditugaskan untuk meliput kegiatan peluncuran buku. Satu hal yang paling saya
ingat, Mulkarnaen penuh haru sampai berlinang airmata saat berbicara di depan
mikrofon, mengisahkan perjuangan ayahnya (bersama K.H. A. Hanafiah) dalam
mempertahankan Lampung supaya tetap ada dan menjadi bagian dari NKRI.
Sebaliknya
untuk K.H. A. Hanafiah, menurut Maskun, agak sulit lantaran sampai saat ini
masih minim (atau bahkan tiada) literatur (biografi) yang membahas mengenainya.
Walaupun dalam hal kesaksian, tidak diragukan. Salah seorang yang menjadi saksi
hidup dari perjuangan K.H. A. Hanafiah (dan Mr. Gele Harun) ialah K.H. Arief
Makhya, yang dapat menceritakan atau memberi kesaksian mengenai perjuangan
keduanya.
Apa
yang diungkapkan oleh Maskun pada satu sisi adalah fakta karena memang benar (sepengetahuan
saya) sangat sulit atau bahkan tiada literatur sejarah yang mengurai mengenai K.H.
A. Hanafiah atau apabila ada – bisa jadi terpencar-pencar (dan ini perlu
disatukan yang pasti memerlukan waktu panjang).
Sedangkan
pada sisi lain, apa yang dinyatakan oleh Maskun merupakan sentilan bagi
historiografi sejarah pahlawan dan sejarah daerah Lampung.
Lampungisme Sebuah Retorika?
A.L.
Rowse, sejarawan dan sastrawan ternama asal negeri Ratu Elizabeth, dalam bukunya
Apa Guna Sejarah? (diterbitkan oleh
Komunitas Bambu, 2014) memaparkan beberapa kemanfaatan atau kegunaan daripada
mempelajari sejarah (sebagai sebuah ilmu pengetahuan). Apa?
Menurutnya,
sejarah memungkinkan kita memahami, lebih dari disiplin lainnya, berbagai
peristiwa, masalah dan tren umum terkini. Jika Anda tak memahami dunia tempat
Anda tinggal, Anda hanya akan menjadi lelucon dan menjadi korbannya (kebanyakan
orang memang seperti itu. Namun tidak ada alasan untuk menjadi salah satu dari
mereka. Memahami sejarah menjadi satu-satunya emansipasi kita).
Membaca
peryataan Rowse tadi, membuat kita tersenyum dan lebih ekstrem lagi, tertawa.
Pasalnya yang ia katakan itu kok sungguh klop dengan kondisi historiografi dan
posisi sejarah daerah Lampung kita selama ini. Minim atau ketiadaan literatur
mengenai K.H. A. Hanafiah memperlihatkan betapa kita telah abai sehingga menjadi
lelucon dan menjadi korbannya; dan semakin aneh, mengapa kita kok tahan berada
dalam kondisi serupa ini menahun? Dan mengapa pula setelah mengetahui kondisi
seperti ini, kok tiada usaha lekas-lekas untuk ah katakanlah menebusnya.
![]() |
Buku Biografi Alm. Gele Harun Nasution/Ist |
Begitupun
dengan literatur untuk Mr. Gele Harun yang meskipun ada, baru digarap serius
dan diluncurkan di tahun 2015 alias setahun lalu serta yang menulisnya ialah keluarga almarhum. Bukan dari pihak pemerintah daerah (pemda). Padahal peranan dan jasa
beliau terhadap Lampung berpuluh tahun lebih lama dari buku tersebut
diluncurkan dan tentu saja tidak diragukan lagi. Dikutip dari laman
lampungheritage.com, Gele Harun Nasution ialah Acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) dari 1949-1955.
Kronologis
pengangkatannya berawal dari Agresi Militer II yang dilakukan oleh Belanda.
Pada tahun 1949, saat tentara Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang, begitu
keluar yang pertama kali dicari adalah rumah Gele Harun. Karena itulah, dia
langsung memboyong keluarga dan stafnya ke Pringsewu. Pada 5 Januari 1949, di
sebuah pendopo di Pringsewu diadakan musyawarah guna menentukan pemerintahan
Karesidenan Lampung. Rapat kecil ini lantas memustukan mengangkat Letkol Mr.
Gele Harun sebagai Acting Residen
Lampung menggantikan Residen Rukadi yang berada di Tanjungkarang yang kala itu
masih diduduki Belanda.
Seandainya
beliau tidak menereima posisi tersebut maka, Lampung tak lagi menjadi bagian
dari NKRI saat itu.
Sampai
disini, saya berkontemplasi, dimanakah kelampungan kita? Seberapa besar kah
kadar lampungisme kita? Lalu dimanakah peranan para sejarawan dan guru sejarah
kita? Dimana, dimana, bagaimana, bagaimana? Ah ya, saya baru ingat (lagi) bahwa
Lampung tidak memiliki Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang mana ilmu sejarah dan
Lampungisme (apabila ada FIB) masuk dalam lingkup fakultas tersebut. Program
studi yang dimiliki oleh Universitas Lampung – universitas kebanggaan kita –
barulah sebatas FKIP yang lebih menitikberatkan pada pendidikan sejarah dan
mencetak guru sejarah.
Justru
sejarawan-sejarawan yang menggarap Lampung beserta isinya kebanyakan dari luar
Lampung atau bukan anak daerah sendiri. Perhatian dari pemda pun – menurut amatan saya – masih minim. Coba, berapa besar anggaran
untuk mengkaji – contohnya saat ini, peranan Mr. Gele Harun dan K.H. A.
Hanafiah? Jangan-jangan dana untuk pengkajian itu bukan dari pemda, melainkan
dari kantung pribadi keluarga almarhum.
Penulis
Afrika Amerika, Marcus Garvey dalam salah satu quotes-nya yang terkenal menulis
demikian a people without the knowledge
of their past history, origin and culture lake a tree without roots.
Kutipan Garvey memang mencerminkan kondisi di Bumi Ruwa Jurai. Tak mengherankan
bila begal bertumbuh subur dan mirisnya para begal ini berasal dari kalangan
muda usia – yang idealnya menjadi pemuda produktif membangun daerah dan negara.
Bahkan banyak dari mereka yang kiprah kebegalannya telah menasional malah tak
segan-segan bertindak sadis ketika melancarkan aksinya. Contohnya aksi begal di
Cipondoh, Tangerang dalam bulan Juni 2016 lalu. Setelah diidentifikasi oleh
pihak kepolisian setempat, diketahui bahwa kedua begal ini berasal dari Negara
Batin, Jabung, Lampung Timur dan berusia 26 tahun.
Kemudian
pembangunan pun menjadi kurang jelas atau kurang mantap arah pijakannya. Cukup
sering saya bertanya, provinsi Lampung ini hendak membangun yang bagaimana dan
menjadi daerah apa?
Menyikapi
fakta kekinian ini, patut kita renungi sekaligus bergegas mengambil langkah
atau kebijakan nyata. Dalam blue print
versi saya – yang paling utama harus dilakukan ialah mendirikan FIB (dengan
salah satu cabang ilmu didalamnya adalah Sejarah Daerah Lampung (SDL). Kemudian
memperkuat peran guru sejarah dalam menyebarluaskan atau mendidik siswanya
mengenai tokoh-tokoh atau pahlawan daerah Lampung dalam perjuangan – baik
sebelum, sesudah kemerdekaan termasuk masa kini.
Tujuannya
menanamkan Lampungisme sejak dini atau muda usia. Makin muda, makin baik supaya
kecintaan dan apresiasinya makin meresap. Jangan sampailah para anak muda
menjadi lelucon sesat sejarah daerahnya, misalnya menyebut Mr. Gele Harun
sebagai mister. Padahal Mr merupakan kependekan gelar sarjana hukum warisan
Belanda, yaitu mester in de rechten.
Mempelajari sejarah, membuka mata batin kita akan daerah Lampung yang sekarang
kita tempati.
Omong-omong
soal guru sejarah, saya punya cerita lucu dan agak aneh. Sebutlah dia adik
tingkat saya di FKIP prodi Pendidikan Sejarah Unila (dulu). Sekarang dia telah
menjadi guru sejarah di kabupaten dari provinsi Lampung. Menarik sekaligus
lucunya adalah postingan statusnya yang selalu berbau Korea. Misalnya saat
drama Korea Descendant of Sun sedang booming di Indonesia dan Asia,
status-status postingannya selalu mengenai Kang Mo Jin dan lain-lain (tokoh
yang diperankan oleh aktris cantik asal Korea Selatan, Song Hye Kyo) atau
kekecewaannya melewatkan menonton drama Korea tadi.
Secara
HAM, hal tersebut ialah haknya. Tetapi secara profesi, menjadi antiklimaks.
Jangan heran dengan kondisi seperti itu, nama-nama aktris dan aktor lebih
familiar di kalangan pelajar daerah Lampung atau anak kuliahan ketimbang nama
Pahlawan Daerah Lampung. Lha, guru sejarahnya Koreaisme kok. Bukan Lampungisme.
Rowse
menulis, sejarah merupakan kajian dengan sifat manusia, sepanjang waktu,
termasuk biografi tokoh besar sejarah dan itulah sebabnya mengapa mempelajari
sejarah sangat bermanfaat. Dalam kaitannya dengan SDL, supaya kita tahu (para
anak muda, begal, koruptor dan orang-orang jahat asal Lampung) pun orang-orang
baiknya, mengetahui plus meresapi amat sangat bahwa provinsinya tidaklah ada
dalam sekejap – melainkan ada karena proses panjang yang terdiri dari usaha,
cinta, darah dan airmata dari pahlawan-pahlawan daerah seperti Mr. Gele Harun
Nasution, K.H. A. Hanafiah, dan lain-lain.*
Sedikit catatan; artikel ini sungguh berkesan bagi saya. Pasalnya ditulis semasa saya diopname empat hari di Rumah Sakit Advent (RSA) Bandar Lampung. Saat itu, pada Rabu, 5 Oktober 2016 kondisi saya dinyatakan drop karena lupus. Internis yang selama ini menangani, menyarankan saya rawat inap.
Nah selama dirawat inap itulah saya mengerjakannya. Tak secara terus menerus. Dicicil karena saya dalam kondisi kurang sehat. Sekitar 1-2 jam setiap hari saya menulis, diselingi istirahat kalau lelah.
Naskah ini lantas saya kirim ke Lampung Post dan dipublikasikan pada Selasa, 18 Oktober 2016. Alamat online-nya http://www.lampost.co/berita/gele-harun-kh-a-hanafiah-dan-sejarah-lampung. Tanpa disangka, di sore hari yang sama dengan tanggal publikasi, anak almarhum Gele Harun Nasution yakni Pak Mulkarnaen Gele Harun menelpon saya. Dalam nada perbincangan, tersirat apresiasi dirinya terhadap artikel yang saya tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar