Senin, 26 Desember 2016

NO BORDERS, Membingkai Kisah Paramedis Humanis

Paramedis (dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya) selama ini kita ketahui sebagai penyelamat nyawa manusia – diluar fakta bahwa itulah yang diwajibkan profesi mereka. Tetapi bagaimana dengan keselamatan mereka sendiri ketika melakukan penyelamatan nyawa manusia lain (pasien)? No Borders Photo Exhibition merekam dalam bidikan foto, mencoba mengingatkannya.
*

Tiga bilik berbentuk persegi panjang berukuran sekira 2x5x2 meter berdiri kokoh mengisi salah satu ruang dari lantai 5 Westmall, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Tiga bilik terbuat dari besi, setengah bagian tengah-bawah sebagai kaki dan setengah-atas memajang foto, bidikan beberapa fotografer. Foto-foto dibingkai dalam cahaya putih. Foto berupa kombinasi antara tunggal dan berseri (photostory).

Pada satu bilik lain berbentuk kubus berukuran 2x2x2 meter – yang bukan memajang foto, terpampang penjelasan mengenai penyelenggara, sejarah, profil penyelenggara. Termasuk alasan pemilihan tema No Borders yang sengaja dipilih untuk mengangkat semangat kemanusiaan yang tidak memandang ras, agama, maupun politik; menyuarakan betapa pentingnya melindungi keselamatan para pekerja kemanusiaan dan rumah sakit di tengah-tengah konflik.

Foto seorang dokter wanita menggendong bayi/Karina Lin
Sebingkai foto panjang menarik perhatian saya. Foto seorang dokter muslim perempuan tersenyum bahagia sedang mengangkat gendong bayi yang baru lahir. Makhluk mungil ini masih dibungkus kain, matanya belum membuka sempurna dengan mulutnya yang seolah hendak berkata hoam. Tidak dicantumkan siapa ibu bayi menggemaskan itu, namun tertulis dilahirkan di rumah sakit daerah konflik.

Ada lagi foto kisah Ahlan, seorang ibu muda usia 22 tahun asal provinsi Dara’a di Suriah. Dia memiliki dua anak yang semuanya dilahirkan di RS Medecins Sans Frontieres (MSF) di Irbid, Yordania. Serta tak dapat diabaikan foto-foto para pengungsi yang lari dari kampung halaman mereka, karena telah berubah jadi daerah konflik. Manusia perahu, begitu label yang disematkan kepada mereka dan bukan perjuangan mudah untuk tiba selamat di land of hope (tanah harapan) versi mereka. Tak jarang, ketika sampai di tanah harapan – individu-individu manusia perahu dalam kondisi tak berdetak.

Tentang ini, teringat saya pada esai Goenawan Mohammad (GM) yang berjudul Foto Itu. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak. (Goenawanmohammad.com, 12 September 2015)

Walau paramedis telah berjibaku nyawa menyelamatkan di tengah lautan berombak tanpa belas kasihan. Pada sisi lain, keselamatan paramedisnya pun terancam terlebih di daerah konflik misalnya Suriah. Dilansir dari dailymail.co.uk (22/6/2016), Paulo Pinheiro, Ketua UN Comission of Inquiry on Syria mengatakan kepada UN Human Rights Council bahwa serangan udara yang menarget rumah sakit dan klinik di seluruh penjuru Suriah telah mengakibatkan kematian warga sipil dan tenaga medis. ”Lebih dari 700 dokter dan tenaga medis terbunuh dalam serangan-serangan atas rumah sakit sejak awal konflik,” paparnya.

Intan, seorang staf dari MSF yang saya temui ketika photo exhibition berlangsung di Jumat, 9 Desember 2016 mengatakan pameran ini adalah kedua kalinya. Setahun lalu (2015) mereka juga mengadakan even serupa. MSF atau Doctors Without Borders sebagai penyelenggara merupakan organisasi lintas batas yang didirikan di Perancis tahun 1971 dan saat ini berkedudukan di Geneva, Swiss. Dokter-dokter yang bergabung dalam MSF berasal dari berbagai belahan dunia. Tak terkecuali dari Indonesia.

MSF dalam kaitannya dengan sejarah kita, ternyata memiliki catatan sejarah yang panjang dan bermakna. Dirujuk dari papan informasi dan peta yang berdiri tak jauh dari pintu masuk ruang foto, saya mencatat sentuhan MSF kepada bangsa Indonesia dimulai tahun 1995. Tepatnya bermula saat gempa Kerinci di Jambi. Sejak itu MSF bekerja menjadi bagian dalam penanganan medis di berbagai program hingga berakhirnya program di 2009.

Papan informasi MSF di Indonesia dan pakaian antiebola MSF/Karina Lin
Gempa Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta di 2006 menjadi dua wilayah bencana yang menjadi bagian kerja dari MSF. Dalam kedua bencana, MSF bekerja mulai dari masa tanggap darurat hingga rehabilitasi.

Selain area kerja wilayah bencana, MSF turut bekerja di wilayah biasa dengan sasaran pelayanan medis dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Beberapa daerah itu antara lain Jakarta untuk penanganan HIV/AIDS dan malaria (2003-2004); Maluku untuk penanganan TBC dan layanan kesehatan air bersih dan sanitasi bagi pengungsi konflik ambon (2003-2007); dan Papua (2006-2009) dengan program peningkatan akses layanan kesehatan untuk para perempuan, ibu dan anak di Asmat.

Begitupun MSF di negara lain. Ada satu foto menampilkan seorang petugas MSF menggendong seorang anak dan tak jauh dari petugas berjalan terdapat plang kayu bertuliskan suspect. Area kerja si petugas adalah negara di Afrika yang terkenal sebagai daerah rentan Ebola sehingga saat melakukan aksi penyelamatan pasien Ebola, petugas kesehatan MSF wajib mengenakan pakaian khusus mirip astronot supaya mereka sendiri tak terkontaminasi wabah Ebola yang notabene pasti membahayakan diri sendiri.

Proses memakai dan melepaskan pakaian khusus tak sesimpel layaknya memakai atau melepas celana legging. Ada prosedurnya kalau tak disebut sebagai ritual dansa, dan staf MSF harus patuh pada koreografi ini.

No Borders Photo Exhibition berlangsung 8-18 Desember 2016 lalu; selama sepuluh hari penyelenggaraan tak hanya pameran foto. Ada diskusi kesehatan dengan narasumber dari MSF dan bintang tamu; dan pemutaran film bertema kemanusiaan dan MSF diiringi diskusi. Even ini memang telah berakhir tetapi tidak dengan bahasa visual dari foto-foto yang dipamerkan. Kesemuanya dapat mengedukasi, selalu mengasah hati kita. Seperti terucap Y.M. Dalai Lama XIV Tensin Gyatso mengenai cinta kasih yang merupakan akar kemanusiaan.

Demikian ucapannya; Jika seorang yang sakit dirawat oleh dokter yang memberikan perhatian dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, maka orang tersebut akan merasa tenteram dan kepedulian dokter itu akan merupakan obat kesembuhan baginya, terlepas dari tingkat kepandaian dokter tersebut.


Sebaliknya, jika seorang dokter kurang rasa kemanusiaannya dan memperlihatkan rasa acuh tak acuh, maka kondisi pasien akan merasa gelisah, walaupun dokter tersebut adalah dokter paling pandai dan penyakitnya telah didiagnosa secara tepat. Tidak dapat disangkal bahwa perasaan seseorang pasien mempengaruhi penyembuhannya.*) 

2 komentar: