| Bu Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk yang makan ditempat |
Hore!
Akhirnya kesampaian juga mencicipi nasi uduknya Bu Mar, hati kecil saya berkata
demikian pada Senin 4 September 2017 lalu. Nasi uduk, makanan tradisional yang
satu ini begitu mudah ditemui di seluruh Indonesia. Biasanya dijual pada pagi hari
sebagai sarapan atau mulai sore hari sebagai makan malam, tentunya. Beberapa
malah ada yang menjual sepanjang hari alias nasi uduk 24 jam ala-ala minimarket
Seven Eleven yang telah almarhum di Jakarta. Kalau di Jakarta, nasi uduk lebih
yahud lagi, pasalnya memang dari sinilah nasi uduk yang telah mengidonesia tadi
bermula. Nasi uduk merupakan salah satu makanan khas betawi.
Di
Jakarta sendiri tersebar berbagai penjual nasi uduk yang telah melegenda,
misalnya Nasi Uduk Kebon Kacang, Nasi Uduk Gondangdia, dan lain-lain. Saya sih
baru sebatas tahu namanya saja. Belum lah sampai icip-icip kecuali Nasi Uduk
Gondangdia. Saya sempat mencoba nasi uduk tersebut di bulan Juni 2017 lalu.
Saya
lebih sering mencoba nasi uduk yang biasa saja. Toh bukan jaminan juga bahwa
nasi uduk tak punya nama tidak enak pun sebaliknya yang punya nama pasti enak.
Soal nasi uduk, menurut saya adalah selera pribadi. Nah bagaimana dengan Nasi
Uduk Bu Mar yangsaya sebut-sebut tadi?
Sebenarnya
saya baru tahu Nasi Uduk Bu Mar dari postingan kawan yang senior di AJI
(Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, Hasudungan P Sirait di facebooknya.
Kapan ya? Oh kalau tak salah sekitar awal Agustus. Bang Has (sapaan akrabnya)
meng-upload sejumlah foto sedang duduk di kursi tempat Nasi Uduk Bu Mar
berjualan. Pada latar belakang fotonya nampak seorang ibu tua berhijab yang
saya duga Bu Mar alias penjual uduknya dan berbagai wadah berisi lauk-lauk
peneman nasi uduknya.
Sepotong
saja informasi yang saya ingat dari postingan foto tadi: menikmati Nasi Uduk Bu
Mar di Jalan Kramat Raya. Wah ternyata di Jalan Kramat Raya ada nasi uduk toh
kalau pagi. Mengapa saya sebegitu tertariknya? Pasalnya saya kerap melewati
jalan tersebut dan tempat Bu Mar menggelar dagangannya saya sangat akrab. Di
emperan bangunan yang sudah tua. Saya cukup sering lewat emperan tersebut,
biasanya kalau mau fotokopi (berkas-berkas persyaratan adminstrasi untuk daftar
berobat di Rumah Sakit Kramat 128) ke toko fotokopi yang ada sejajar dengan
bangunan tua tadi atau ke Bank Mandiri yang malah satu kompleks dengan bangunan
tua tadi. Saya selalu merasa gimana gitu, penasaran tepatnya kalau kerap
melewati suatu tempat dan disitu ada hal yang baru saya ketahui keberadaannya.
Bu
Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk ketika saya tiba disitu hampir
pukul 8 pagi. Tangannya cekatan menyendok lauk-lauk yang ditunjuk oleh
pembelinya. Ada orek tempe, tempe goreng, mie goreng, sambal, sepintas yang
saya lihat dalam kertas pembungkus nasi yang dipegang oleh Bu Mar. Ketika
akhirnya sudah cukup jumlah lauk yang dipilih si pembeli, Bu Mar pun membungkus
nasi uduk tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik kresek bening nan mungil.
Dalam kresek tersebut telah terdapat sebungkus kecil kerupuk aci, peneman nasi
uduk.
Setelah
membayar, barulah Bu Mar melayani saya. Karena saya memilih makan disitu, maka
dia mengambil piring yang terbuat dari ayaman lidi dan dialasi oleh selembar
kertas nasi. Tangannya lantas membuka bakul nasi yang berada diujung meja.
Kecil kok. Saya heran saja, sebab biasanya kebanyakan pedagang nasi uduk yang
saya temui menyetok nasi uduknya pakai bakul besar.
Saya
memilih lauk telur dadar yang diguyur sedikit sambal goreng. Sebelumnya sudah
ada orek tempe disitu. Oya, juga sedikit mie goreng dan sambal kacang. Tak lupa
kerupuk aci. Saya lalu duduk dikursi dekat situ. Seorang bapak-bapak paruh baya
sibuk menuangkan teh ke gelas lalu gelas yang telah penuh air teh dan bertutup
tadi ditaruh dekat dinding bangunan. Rupanya bapak paruh baya tadi ialah Pak
Mar yang tak lain adalah suaminya Bu Mar.
Boleh
juga, batin saya – menilai rasa - sesudah menyendok sesuap nasi uduk ke mulut.
Sambil melahap nasi uduk, saya mengajak obrol Bu Mar. Dia sibuk melayani
pembeli tapi juga terkadang bengong menunggu pembeli. “Ibu namanya Bu Mar ya?”
Tanya saya membuka percakapan. Dan Bu Mar yang telah berusia 56 tahun itu
mengiyakan sambil tersenyum. Kedua matanya agak menyipit dan ada guratan-guratan
usia tua diujung kedua matanya.
Lalu
saya pun menyakan berapa lama dia telah berjualan disini. Agak kaget juga,
awalnya saya kira beliau sudah puluhan tahun. Eh ternyata baru sekitar lima
tahun. Namun saya menangkap hal lain dari raut wajahnya. Yah walau baru lima
tahun, wajahnya menyiratkan betapa telah ditempa dalam hal dapur dan
pernasidukan. Dari bibir Bu Mar mengalir lancar tentang nasi uduknya.
Bu
Mar yang memiliki dua anak ini membuat seluruh nasi uduk plus lauk pauknya
seorang diri dan dibantu suami. Pukul 12 alias tengah malam, ketika kita sedang
berasyik masyuk di alam mimpi, Bu Mar telah melek untuk memasak nasi uduknya.
“Selesainya jam 4 pagi”, katanya. Habis itu dia beberes dan setelahnya membawa
seluruh hasil masakan kesini untuk dijual. Beres berdagang sekitar pukul 08.30
pagi. Kegiatan paska berdagang nasi uduk dipagi hati, tak ada. “Paling hanya
ngemong cucu saja”, katanya.
“Ibu
masak nasinya hanya segini atau masih ada lagi?” Tanya saya sambil menunjuk bakul
nasi uduk yang kecil itu. “Bawa segini aja. Masaknya dikit. Cuma 8 liter”,
jelasnya. Dikatakannya, 8 liter sekira 800 gram lah – sedikit, tak sampai satu
kilogram. Loh kok dikit amat ya? Bu Mar yang masih energik itu menjelaskan
bahwa dia memang biasa masak segitu, nggak masak nasi uduk banyak-banyak. Dia
juga nggak bikin nasi kuning. Kan biasanya ada tuh pedagang nasi uduk yang juga
jualan nasi kuning bahkan nasi ulam. Kedua nasi tadi itu dibikinnya hanya kalau
ada pesanan saja.
Soal
pesanan ini, Bu Mar lantas bercerita bahwa hotel dekat daerah Kramat pernah
memesan nasi uduk buatannya untuk menu sarapan pagi. Tapi dia tak menyebutkan
detil kapan waktunya dah hingga berapa lama. Adapun nasi uduknya merupakan
perpaduan Jawa dan Betawi. Sebab ada dua macam sambal yang disediakan yakni
sambal goreng dan sambal kacang. Nah sambal kacang ini yang merupakan khas dari
nasi uduk ala Betawi. Bu Mar memasukkan selera Betawi dalam nasi uduknya bukan
karena dia tinggal di Jakarta saja. “Kalau saya asli Jawa. Kalau suami asli
orang Betawi”, Jelasnya. O jadi begitu, pengaruh faktor rumah tangga.
| Bu Mar melayani pembeli ketupat sayur |
Seorang
perempuan kantoran menghampiri Bu Mar. Perempuan itu memesan lontong sayur satu
porsi dan dibungkus. Ya, selain nasi uduk – lontong sayur lah yang dijual oleh
Bu Mar dan sama seperti nasi uduk, dia hanya membuat sayur lodeh untuk lontong
dalam bakul sayur. Eh salah ding, ternyata bukan lontong. Ketupat sayur yang
dijual Bu Mar.
Selang
15 menit kemudian seorang lelaki muda membeli uduk untuk dimakan ditempat. Saya
lihat, betapa lahapnya lelaki itu makan nasi uduknya. Duh kalau begini, siapa
yang tidak ngiler ya. Disela-sela keterbengongan saya, Bu Mar bertanya saya
ngapain disini?
“Oh
saya habis dari RS Kramat 128 buat daftar ulang berobat”, Jawab saya. Mendengar
jawaban saya, Bu Mar kemudian bercerita tentang suaminya yang punya masalah
jantung dan semestinya rutin berobat ke dokter dan biasanya juga ke RS Kramat
128. Pak Mar yang dulunya berprofesi sebagai tukang cat duco itu, sudah lama
nggak berobat. Ada sekitar tahunan,
katanya.
“Loh
kenapa? Ibu ada BPJS kan?” Tanya saya. Sori, bukannya saya meng-endorse BPJS
tapi menurut saya memang cukup membantu lah.
Kata
Bu Mar sih ada tapi bapaknya yang tidak mau. Bu Mar bilang umur bapak sudah 60
tahun. Ah begitu, saya jadi paham. Memang ada sebagian orang berusia tua yang
sakit tapi menolak ke dokter. Pemikirannya karena sudah tua jadi ya wajar
penyakitnya jadi biarinin saja deh. Saya nggak bisa ngomong kalau begini.
Setelah
menyelesaikan makanan dan membayar, saya tak lekas pergi. Masih duduk disitu,
sesekali saya perhatikan Bu Mar yang cekatan melayani pembeli nasi uduk ataupun
ketupat sayur. Sementara Pak Mar sigap tanggap menuangkan segelas teh yang lalu
disajikan untuk pembeli mereka yang makan ditempat dan kayaknya juga Pak Mar
yang bagian cuci mencuci perabot makannya. Kalau sedang tak ada pembeli, Pak
Mar mengobrol dengan orang disekitar situ.
Betapa
semangatnya mereka bekerja padahal sudah paruh baya ya. Ah semoga keduanya
selalu sehat. Rasa kantuk yang masih menghinggapi saya, perlahan berkurang setelah
berbicang dengan Bu Mar, melihat keduanya begitu bersemangat dan selalu menebar
keramahan kepada pembeli termasuk melayani pembeli bawel macam saya. Kalau ada
waktu, yakinlah saya untuk mampir kesana lagi menyantap nasi uduknya. (Jakarta,
6 September 2017)
KEREEN ya tulisannya
BalasHapusIya dong. Abang kapan ke Jakarta? Yuk kulineran.
BalasHapus