Selasa, 20 Desember 2016

INGAT KOPI, INGAT TRANSPORTASI (PUBLIK)

Gubernur Ridho Mempromosikan Lacofest/Ist
Provinsi Lampung baru saja menyelenggarakan Lampung Coffee Festival (Lacofest) yang dihelat pada 7-8 Desember 2016 bertempat di Mal Boemi Kedaton (MBK). Ajang ini (dari yang terangkum di berbagai media) disebut-sebut sebagai even perkopian yang wah. Visi misnya jelas. Guna memperkenalkan atau mempromosikan kopi Lampung ke level lebih tinggi. Menilik jadwal acara, even dua hari ini cukuplah dikemas apik.

Ada perang barista, bincang dengan barista untuk menguak rahasia nikmatnya kopi Lampung,  hiburan bersama grupband nasional, minum kopi bersama komunitas, dan workshop mengenai kopi Lampung. Antusiasme juga ditularkan oleh orang nomor satu daerah ini, Gubernur Ridho turut berpartisipasi menjadi pembicara di workshop perkopian Lampung. Selain juga wara-wiri menjadi bintang iklan Lacofest di suratkabar, media online dan baliho super besar dekat bundaran Tugu Adipura, Bandar Lampung.

Media-media yang meliput Lacofest juga tak sebatas lokal. Media nasional (tapi tak usah disebut nama medianya deh) turut meliput dan memberitakan. Tentu menjadi suatu kebanggaan bilamana media lokal dan nasional antusias meliput dan memberitakan. Khusus media nasional (melalui publikasi di media mereka), artinya even dan produk yang melatarbelakangi diselenggarakannya gawean kopi ini menjangkau khalayak se-nusantara (baca: dibaca dan diketahui) – malah tak tertutup kemungkinan mancanegara. Lampung dan kopi Lampung jadi lebih dikenal oleh publik dan syukur-syukur diingat plus dipenasari (orang ingin tahu, ingin mencoba) yang imbasnya berkontribusi pada berbagai sektor daerah. Salah satunya adalah pariwisata.

Tersebar Seluruh Penjuru Lampung
Berbicara kopi Lampung, akan menjadi rangkaian yang panjang. Mengapa? Sebab ia memiliki sejarah (juga panjang), telah ada sejak zaman Belanda menduduki Indonesia, dan dalam historis tadi terangkum berbagai jenis (varian) kopi, lokasi dan sebagainya. Lampung dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia. Dikutip dari Lampung.antaranews.com (publikasi 19/11/2015), Kepala Dinas Perindustrian Lampung, Toni L. Tobing mengatakan Lampung adalah penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia dengan luas areal 154.168 hektar. Sebanyak 70% ekspor kopi nasional berasal dari Lampung. Biji kopi jenis robusta merupakan andalan dari kopi Lampung, malah identik.

Meskipun satu jenis, yakni robusta – rasa kopi (hasil seduhan) berbda-beda. Faktor-faktor penyebab perbedaan ini antara lain lokasi penanaman pohon kopi, waktu penanaman atau pemanenan (petik) biji kopi, cara tanam atau metode tanam, usia pohon kopi, cuaca sekitar kebun kopi, cara pengolahan. Intinya dipengaruhi oleh beragam faktor. Jadi jangan dipukul rata.

Kopi Robusta yang ditanam di Ulubelu (Tanggamus) rasanya pasti berbeda dengan kopi robusta yang ditanam misalnya di Liwa (Lampung Barat), kopi Lampung Timur, kopi Pesawaran dan di masing-masing kabupaten, masih terbagi lagi wilayah penanamannya. Provinsi Lampung sendiri, hampir di semua kabupaten terdapat perkebunan kopi. Entah itu diusahakan secara mandiri, kelompok tani atau perusahaan.

Jangan heran pula bervariasinya wilayah penanaman menjadikan Lampung dibanjiri oleh berbagai merk kopi. Mulai dari yang telah melegenda karena telah eksis 100 tahun (satu abad), contohnya Kopi Lampung Cap Bola Dunia. Puluhan tahun, contohnya Kopi Naga Sakti. Hingga yang baru seumur jagung. Menurut saya, ini merupakan hal positif dalam dunia perkopian Lampung dan seharusnya tidak berhenti pada setelah menjadi produk atau brand saja. Ada hal lain yang dapat diberdayakan.

Destinasi Wisata Kopi
Afternoon Coffee/Ist 
Saya menyebutnya destinasi wisata kopi atau biar lebih mudah diingat destinasi kopi. Lho kok? Ya memang demikian, karena tempat-tempat wisata yang dikunjungi berkaitan atau berbasis kopi. Kita bisa datang ke Ulubelu, melihat kebun kopi, melihat bagaimana aktivitas warga sekitar dalam mengelola dan mengolah kopi-kopi mereka, menikmati sejuknya udara alam sana (yang pasti sangat berbeda dengan kota ya). Belajar mengenai kopi lokal dan mencicipi langsung minuman kopi disana. Membayangkan sruputannya saja, telah membuat saya bersemangat 45.

Apalagi bila dapat diwujudkan, rasa bahagia memuncak di level yang tak terjemahkan oleh kata. Sebagaimana yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa hampir di seluruh penjuru Ruwa Jurai dapat ditemui kebun kopi, dari Barat-Timur, Selatan-Utara. Seharusnya juga menjadi mudah untuk berkunjung ke perkebunan kopi lokal, andaikata didukung (paling utama) transportasi publik yang mumpuni.

Akan tetapi (ini pangkal soalnya) realitasnya kan tidak. Sebagai contoh, bila kita hendak ke Liwa, Lampung Barat – ada trasnportasi umum berupa bus dan travel. Saya pernah tanya-tanya hal ini ke kawan yang memang asli orang sana dan sering mudik ke kampung halamannya. Jalan menuju kesana pun, dikatakan seorang sopir travel ke Liwa, bagus. Hanya berkelok-kelok saja lantaran kontur alam di Bumi Beguai Sai Jejama didominasi perbukitan.

Lalu, bagaimana dengan harga atau tarif transportasinya? Inilah yang perlu dibenahi. Sepengingat saya, bila menggunakan jasa travel, tarifnya diatas Rp50 ribu. Sedangkan menggunakan bus antar kabupaten menjadi lebih murah tapi tetap dalam harga berdigit tiga. Sampai disini saya berpikir, setelah dihitung-hitung kok lumayan juga ya biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang pergi (pp) kesana. Padahal destinasi yang dituju masih satu provinsi. Saya ke Jakarta (yang notabene luar provinsi Lampung) hanya habis Rp100-300 ribu PP via darat.

Fokus Transportasi Publik
Tajuk Lampung Post (Lampost) edisi Senin, 28 November 2016 berjudul Membumikan Destinasi Lampung menyoroti hal ini. Mengutip tajuk disebutkan sektor pariwisata Lampung menunjukkan tren positif setiap akhir pekan. Antrean kendaraan memadati kawasan wisata di sejumlah daerah di Lampung. Terlebih saat libur panjang, jalanan makin dipadati kendaraan dari luar kota. Mereka (para wisatawan tadi) terutama dari Jabodetabek dan Sumatera Selatan.

Data statistik menunjukkan pesatnya industri wisata Lampung dalam beberapa terakhur terakhir. Pada 2014 terdapat 4 jutaan kunjungan wisata, kemudian naik menjadi 5 jutaan pada 2015. Wisatawan domestik naik sekitar satu jutaan orang. Sedangkan wisatawan mancanegara naik belasan ribu orang. Tajuk juga menyinggung soal festival-festival besar yang selalu dihelat setiap tahun oleh pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten (pemkab) serta tak ketinggalan mengenai jalan.

Aha, ini dia yang saya keluhkan selama ini. Betapa susahnya (jalan rusak), dan mahalnya biaya transportasi publik menuju destinasi-destinasi wisata Lampung. Jadi berkaca dari fakta lapangan, sebaiknya pemerintah daerah (pemda) fokus menggarap transportasi publik yang oke. Jangan melulu membikin festival atau membenahi kawasan wisatanya saja.

Menyediakan transportasi publik bukanlah hal yang mudah. Bukan sebatas jalan mulus hotmix saja. Perlu pengelolaan secara serius dan profesional serta berkontinuitas. Ada detailnya karena jalan mulus hotmix perlu dirawat agar terjaga selalu kemulusannya, moda publik yang melewati jalan hotmix tadi; apakah biayanya terjangkau semua kalangan, jam operasionalnya apakah efektif, lokasi-lokasi pemberhentian, bagaimana sisi keamanan jalan yang dilintasi (ingat begal yang masih merajalela di jalan lintas kabupaten dan provinsi), sisi keamanan dari kelayakan moda transportasi dan individu pembawanya (sopir), dan lain-lain.

Semua itu harus diberikan perhatian dan tindakan. Coba, buat apa Lampung punya kopi terenak sedunia kalau untuk menuju ke daerah penanaman kopinya bikin tongpes (kantong kempes) saking mahal biaya transportasi yang mesti dikeluarkan; mual-mual dan muntah alias senep karena jalan rusak; dan sepanjang perjalanan diliputi ketakutan akan menjadi korban begal sadis tak bertanggung jawab?

Kalau saya secara pribadi lebih menginginkan dan mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tak saat libur panjang saja alias ramai sesaat. Saya mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tuh ramai sepanjang waktu dan mereka (para wisatawan yang datang) bisa tahu bahwa produk unggulan Lampung tak sebatas kopi. Ada banyak hal lain, seperti kekayaan dan kearifan budaya lokal (local genius), alam yang menetramkan, keunikan yang tidak didapat dari daerah lain.

Kalaupun mereka bisa meminum kopi Lampung, mereka dapat menikmatinya tak sebatas saat ada even bertemakan kopi (yang diadakan di mal). Lebih daripada itu, mereka bisa meminum langsung di daerah penghasilnya kapan pun dan tak mungkir meninggalkan kesan tak terlukiskan melalui kata. Hanya rasa yang abadi. Tapi tanpa transportasi publik yang baik plus membumi, sia-sialah kita selalu berkoar tentang memajukan pariwisata daerah. Sebagai pembanding, saya di Jakarta pernah membikin janji bertemu kawan di sebuah pusat perbelanjaan daerah Jakarta Timur.

Sementara saat itu, saya menumpang kawan yang berlokasi di Jakarta Barat. Mau tahu berapa ongkos yang saya keluarkan? Dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur alias ujung ke ujung hanya habis ongkos Rp8 ribu PP menggunakan moda publik Trans Jakarta. Perjalanan jauh melewati banyak perhentian halte jadi tak terasa karena bus yang nyaman berhembus AC, bahkan saya sampai tertidur di perjalanan. Bisakah Lampung seperti itu?*

Note: Artikel kopi yang dimuat dalam Lampost edisi Selasa, 20 Desember 2016 ini saya kerjakan di kost-an kawan yang berlokasi di Kebon Jeruk alisa Bonjer, Jakarta Barat. Hanya butuh beberapa jam untuk mengerjakannya (plus-plus mengetik dan mengedit). Omong-omong, kok saya bisa terdampar di Bonjer? Ya ha, ceritanya saya ke Jakarta untuk menjalani proses pengobatan penyakit lupus.

Berobat jalan, menulis pun jalan terus. Begitulah motto saya. Writing everywhere, writing anytime....      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar