![]() |
Gubernur Ridho Mempromosikan Lacofest/Ist |
Ada
perang barista, bincang dengan barista untuk menguak rahasia nikmatnya kopi
Lampung, hiburan bersama grupband
nasional, minum kopi bersama komunitas, dan workshop mengenai kopi Lampung.
Antusiasme juga ditularkan oleh orang nomor satu daerah ini, Gubernur Ridho
turut berpartisipasi menjadi pembicara di workshop perkopian Lampung. Selain
juga wara-wiri menjadi bintang iklan Lacofest di suratkabar, media online dan
baliho super besar dekat bundaran Tugu Adipura, Bandar Lampung.
Media-media
yang meliput Lacofest juga tak sebatas lokal. Media nasional (tapi tak usah
disebut nama medianya deh) turut meliput dan memberitakan. Tentu menjadi suatu
kebanggaan bilamana media lokal dan nasional antusias meliput dan memberitakan.
Khusus media nasional (melalui publikasi di media mereka), artinya even dan
produk yang melatarbelakangi diselenggarakannya gawean kopi ini menjangkau
khalayak se-nusantara (baca: dibaca dan diketahui) – malah tak tertutup
kemungkinan mancanegara. Lampung dan kopi Lampung jadi lebih dikenal oleh
publik dan syukur-syukur diingat plus dipenasari
(orang ingin tahu, ingin mencoba) yang imbasnya berkontribusi pada berbagai
sektor daerah. Salah satunya adalah pariwisata.
Tersebar Seluruh Penjuru Lampung
Berbicara
kopi Lampung, akan menjadi rangkaian yang panjang. Mengapa? Sebab ia memiliki
sejarah (juga panjang), telah ada sejak zaman Belanda menduduki Indonesia, dan
dalam historis tadi terangkum berbagai jenis (varian) kopi, lokasi dan
sebagainya. Lampung dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia.
Dikutip dari Lampung.antaranews.com
(publikasi 19/11/2015), Kepala Dinas Perindustrian Lampung, Toni L. Tobing
mengatakan Lampung adalah penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia dengan
luas areal 154.168 hektar. Sebanyak 70% ekspor kopi nasional berasal dari
Lampung. Biji kopi jenis robusta merupakan andalan dari kopi Lampung, malah
identik.
Meskipun
satu jenis, yakni robusta – rasa kopi (hasil seduhan) berbda-beda.
Faktor-faktor penyebab perbedaan ini antara lain lokasi penanaman pohon kopi,
waktu penanaman atau pemanenan (petik) biji kopi, cara tanam atau metode tanam,
usia pohon kopi, cuaca sekitar kebun kopi, cara pengolahan. Intinya dipengaruhi
oleh beragam faktor. Jadi jangan dipukul rata.
Kopi
Robusta yang ditanam di Ulubelu (Tanggamus) rasanya pasti berbeda dengan kopi
robusta yang ditanam misalnya di Liwa (Lampung Barat), kopi Lampung Timur, kopi
Pesawaran dan di masing-masing kabupaten, masih terbagi lagi wilayah
penanamannya. Provinsi Lampung sendiri, hampir di semua kabupaten terdapat
perkebunan kopi. Entah itu diusahakan secara mandiri, kelompok tani atau
perusahaan.
Jangan
heran pula bervariasinya wilayah penanaman menjadikan Lampung dibanjiri oleh
berbagai merk kopi. Mulai dari yang telah melegenda karena telah eksis 100
tahun (satu abad), contohnya Kopi Lampung Cap Bola Dunia. Puluhan tahun,
contohnya Kopi Naga Sakti. Hingga yang baru seumur jagung. Menurut saya, ini
merupakan hal positif dalam dunia perkopian Lampung dan seharusnya tidak
berhenti pada setelah menjadi produk atau brand saja. Ada hal lain yang dapat
diberdayakan.
Destinasi Wisata Kopi
![]() |
Afternoon Coffee/Ist |
Apalagi
bila dapat diwujudkan, rasa bahagia memuncak di level yang tak terjemahkan oleh
kata. Sebagaimana yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa hampir di seluruh
penjuru Ruwa Jurai dapat ditemui kebun kopi, dari Barat-Timur, Selatan-Utara.
Seharusnya juga menjadi mudah untuk berkunjung ke perkebunan kopi lokal,
andaikata didukung (paling utama) transportasi publik yang mumpuni.
Akan
tetapi (ini pangkal soalnya) realitasnya kan tidak. Sebagai contoh, bila kita
hendak ke Liwa, Lampung Barat – ada trasnportasi umum berupa bus dan travel.
Saya pernah tanya-tanya hal ini ke kawan yang memang asli orang sana dan sering
mudik ke kampung halamannya. Jalan menuju kesana pun, dikatakan seorang sopir
travel ke Liwa, bagus. Hanya berkelok-kelok saja lantaran kontur alam di Bumi Beguai Sai Jejama didominasi
perbukitan.
Lalu,
bagaimana dengan harga atau tarif transportasinya? Inilah yang perlu dibenahi.
Sepengingat saya, bila menggunakan jasa travel, tarifnya diatas Rp50 ribu.
Sedangkan menggunakan bus antar kabupaten menjadi lebih murah tapi tetap dalam
harga berdigit tiga. Sampai disini saya berpikir, setelah dihitung-hitung kok
lumayan juga ya biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang pergi (pp) kesana.
Padahal destinasi yang dituju masih satu provinsi. Saya ke Jakarta (yang
notabene luar provinsi Lampung) hanya habis Rp100-300 ribu PP via darat.
Fokus Transportasi Publik
Tajuk
Lampung Post (Lampost) edisi Senin,
28 November 2016 berjudul Membumikan
Destinasi Lampung menyoroti hal ini. Mengutip tajuk disebutkan sektor
pariwisata Lampung menunjukkan tren positif setiap akhir pekan. Antrean
kendaraan memadati kawasan wisata di sejumlah daerah di Lampung. Terlebih saat
libur panjang, jalanan makin dipadati kendaraan dari luar kota. Mereka (para
wisatawan tadi) terutama dari Jabodetabek dan Sumatera Selatan.
Data
statistik menunjukkan pesatnya industri wisata Lampung dalam beberapa terakhur
terakhir. Pada 2014 terdapat 4 jutaan kunjungan wisata, kemudian naik menjadi 5
jutaan pada 2015. Wisatawan domestik naik sekitar satu jutaan orang. Sedangkan
wisatawan mancanegara naik belasan ribu orang. Tajuk juga menyinggung soal
festival-festival besar yang selalu dihelat setiap tahun oleh pemerintah
provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten (pemkab) serta tak ketinggalan
mengenai jalan.
Aha,
ini dia yang saya keluhkan selama ini. Betapa susahnya (jalan rusak), dan
mahalnya biaya transportasi publik menuju destinasi-destinasi wisata Lampung.
Jadi berkaca dari fakta lapangan, sebaiknya pemerintah daerah (pemda) fokus
menggarap transportasi publik yang oke. Jangan melulu membikin festival atau
membenahi kawasan wisatanya saja.
Menyediakan
transportasi publik bukanlah hal yang mudah. Bukan sebatas jalan mulus hotmix
saja. Perlu pengelolaan secara serius dan profesional serta berkontinuitas. Ada
detailnya karena jalan mulus hotmix perlu dirawat agar terjaga selalu
kemulusannya, moda publik yang melewati jalan hotmix tadi; apakah biayanya
terjangkau semua kalangan, jam operasionalnya apakah efektif, lokasi-lokasi
pemberhentian, bagaimana sisi keamanan jalan yang dilintasi (ingat begal yang
masih merajalela di jalan lintas kabupaten dan provinsi), sisi keamanan dari kelayakan
moda transportasi dan individu pembawanya (sopir), dan lain-lain.
Semua
itu harus diberikan perhatian dan tindakan. Coba, buat apa Lampung punya kopi
terenak sedunia kalau untuk menuju ke daerah penanaman kopinya bikin tongpes
(kantong kempes) saking mahal biaya transportasi yang mesti dikeluarkan;
mual-mual dan muntah alias senep karena jalan rusak; dan sepanjang perjalanan
diliputi ketakutan akan menjadi korban begal sadis tak bertanggung jawab?
Kalau
saya secara pribadi lebih menginginkan dan mengharapkan Lampung sebagai
destinasi wisata warga luar tak saat libur panjang saja alias ramai sesaat.
Saya mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tuh ramai
sepanjang waktu dan mereka (para wisatawan yang datang) bisa tahu bahwa produk
unggulan Lampung tak sebatas kopi. Ada banyak hal lain, seperti kekayaan dan
kearifan budaya lokal (local genius),
alam yang menetramkan, keunikan yang tidak didapat dari daerah lain.
Kalaupun
mereka bisa meminum kopi Lampung, mereka dapat menikmatinya tak sebatas saat
ada even bertemakan kopi (yang diadakan di mal). Lebih daripada itu, mereka
bisa meminum langsung di daerah penghasilnya kapan pun dan tak mungkir
meninggalkan kesan tak terlukiskan melalui kata. Hanya rasa yang abadi. Tapi
tanpa transportasi publik yang baik plus membumi, sia-sialah kita selalu
berkoar tentang memajukan pariwisata daerah. Sebagai pembanding, saya di
Jakarta pernah membikin janji bertemu kawan di sebuah pusat perbelanjaan daerah
Jakarta Timur.
Note: Artikel kopi yang dimuat dalam Lampost edisi Selasa, 20 Desember 2016 ini saya kerjakan di kost-an kawan yang berlokasi di Kebon Jeruk alisa Bonjer, Jakarta Barat. Hanya butuh beberapa jam untuk mengerjakannya (plus-plus mengetik dan mengedit). Omong-omong, kok saya bisa terdampar di Bonjer? Ya ha, ceritanya saya ke Jakarta untuk menjalani proses pengobatan penyakit lupus.
Berobat jalan, menulis pun jalan terus. Begitulah motto saya. Writing everywhere, writing anytime....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar