Senin, 11 September 2017

UNDANGAN DAN KEIKHLASAN

Rudiyansyah, kawan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengirim pesan WA pada Kamis, 7 September 2017 lalu. Isinya berupa caption foto undangan pernikahannya dan denah lokasi akad plus resepsinya. Rudi akan menikah pada hari Minggu, 10 September 2017. Calon mempelai perempuannya Vina Oktavia, yang juga teman saya di AJI Bandar Lampung. Lokasi akad dan resepsinya bertempat di kediaman Vina, di daerah Natar dekat Flyover Pasar Natar kabupaten Lampung Selatan.

Saya membaca dengan perlahan. Setelahnya sangat mengamini. Saya ikut berbahagia dan  mendoakan yang terbaik bagi mereka berdua. Bersamaan itu pula, saya serasa mengalami dejavu. Ensiklopedia online Wikipedia.org menulis dejavu dari bahasa Perancis, secara harfiah berarti pernah dilihat yaitu fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu. Dejavu (masih menurut Wikipedia.org) adalah suatu perasaan telah mengetahui dan deja vecu (perasaan “pernah hidup melalui”) sesuatu adalah sebuah perasaan mengingat kembali.

Undangan Peluncuran Buku 25 Tahun Kabupaten Lambar
Saya jadi teringat pada tanggal 17 Maret 2017 lalu. Kapan ya? Pagi atau sore, masuk sebuah pesan WA dari Rudi. Dalam pesan yang dia kirim ada caption foto undangan dan gambar sebuah buku. Rupanya itu foto undangan peluncuran buku Secangkir Kopi Bumi Sekala Brak Jejak Langkah 25 Tahun Kebangunan Lambar. Tertulis informasi bahwa saya diundang pada acara peluncuran buku yang akan digelar di Hotel Emersia, Bandar Lampung pada 18 Maret 2017. Bagian kanan bawah ditandatangani Bupati Lampung Barat – saat itu – Mukhlis Basri.

Saya diundang karena menjadi salah satu penyumbang artikel dalam buku tersebut. Bisa dibayangkan betapa senangnya hati kala membaca undangan tersebut. Sebab saya telah menunggu lama. Saya kerap bertanya kepada kawan yang bekerja di Lampung Post (ya sebagai yang diberi mandat untuk menyusun dan menerbitkan buku) kapan bukunya akan diluncurkan atau sudah jadi belum? Sudah sejak bulan November atau Desember 2016 saya menanyakannya. Dan ketika bulan Maret 2017 diluncurkan tak heran perasaan saya berkata wow, akhirnya!

Tapi bersamaan itu saya juga menangis lirih. Saya tak mungkin menghadirinya. Mengapa? Karena kondisi yang memang belum memungkinkan. Saat undangan itu datang, saya sedang di Jakarta, menjalani masa pemulihan setelah opname dari Rumah Sakit (RS) Kramat 128 karena penyakit lupus. Sebulan saya diopname disana bahkan sempat mengalami kondisi kritis alias koma. Ketika keluar dari rumah sakit, saya belum mampu berdiri dan berjalan sendiri. Saya menduga hal ini terjadi lantaran (salah satunya) bobot tubuh yang susut banyak.

Berat normal yang 46 kilogram, sekeluarnya dari rumah sakit menjadi 40 kilogram. Saya kurus sekali. Tulang yang nampak, sementara daging hanya secuil. Tungkai kaki saya, aduh mak – langsing sekali kayak gagang sapu ijuk. Kalau yang lebih berkelas sih mirip model catwalk. Tapi kalau mereka kan karena tuntutan profesi. Lha saya? Berbeda. Untuk bangun (berdiri) saya mesti dibantu oleh asisten rumah tangga (ART). Ada kalanya sampai dibopong. Ini kalau mau naik atau turun mobil saat hendak dan pulang dari rumah sakit. Kemana-mana, saya harus pakai kursi roda yang didorong oleh ART.

Makanya gimana saya nggak sedih dan jadi antiklimaks, dikala saya mampu berjalan – bukunya belum rampung. Ketika bukunya rampung dan siap diluncurkan eh saya nya yang “nggak siap”. “Rasanya nggak berdaya ya, mbak,” kata Mbah Diah, kawan saya di grup WA Lima Dasar Hidup Sehat (LDHS) beberapa waktu lalu. Iya, benar dan yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Duduk diatas ranjang dan menangis sambil mengelap ingus yang keluar dari hidung. Saya masih ingat, Mbak Siti (asisten rumah tangga yang mengurus saya saat itu) sampai bertanya kenapa saya menangis?

Lantaran nggak mood dan larut dalam kesedihan saya diamkan saja. Saya hanya menggelengkan kepala. Biarlah saya pendam sendiri. Sampai malam saya tak bisa tidur. Padahal itu malam minggu yang bagi sebagian orang justru menjadi malam berbahagia, yang masih pacaran – saatnya wakuncar doi. Yang sudah berkeluarga saatnya kencan lagi dengan istri atau suami.

Namun perlahan saya bisa melupakannya. Sambil dihibur-hibur tante yang mengatakan bahwa pasti ada kesempatan lain acara serupa.

Rudiyansyah dan Vina Oktavia
Kembali ke soal undangan pernikahan Rudi dan Vina, walau serasa dejavu karena saat menerima pesannya itu, sedang di Jakarta – ada perbedaannya. Kali ini ketika menerimanya saya (bersyukur) tak lagi menangis seperti di bulan Maret itu atau menyimpan pedih di dalam hati. Mengapa? Karena perlahan seiring waktu berjalan dan dari pengalaman yang sudah-sudah, saya belajar dan diajarkan kembali untuk; a) realistis. Realistis karena tak mungkin toh saya berada di dua tempat yang jaraknya dipisahkan lautan secara bersamaan. Sekarang ini, meskipun saya telah bisa berdiri dan berjalan seperti sedia kala dulu, tetap saya harus menjalani rawat jalan atau kontrol lupus sekali dalam sebulan. Dokter saya – internis hematologi – berpraktek di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta Pusat maka sekali dalam sebulan saya berangkat ke Jakarta untuk ngapelin doi.

Berobatnya sih pakai BPJS sehingga biaya dokter, resep obat (tapi tidak semua lho) atau tindakan medis lainnya, misalnya cek darah dan urine di laboratorium, saya tak perlu membayar. Hanya ada konsekuensi lain. Apa? Waktunya lebih lama. Kalau di RS Kramat 128, antara satu tindakan medis ke tindakan medis lain baru dapat dilakukan setelah menunggu 8 hari. Contohnya begini; tanggal 11 September saya periksa ke dokter. Oleh dokter saya disuruh cek darah dan urine. Tidak bisa besok cek darahnya. Baru bisa hari Selasa minggu depannya atau sesudah Selasa.

Jadi untuk keperluan kontrol penyakit ini, saya bisa sekitar dua mingguan di Jakarta. Bisa juga lebih lama, apalagi jika pakai dirujuk ke dokter spesialis lain. Praktis waktu saya banyak tersita di Jakarta daripada di Lampung. Sedangkan undangan atau acara-acara sampai saat ini kebanyakan masih di Lampung. Jika dirunut ada beberapa acara yang tak dapat saya ikuti karena digelar bersamaan saat saya di Jakarta, seperti acara HUT AJI Bandar Lampung (27 Agustus 2017) dan lain-lain.

Lalu b) Ikhlas. Ya realistis harus dibarengi keihklasan menerima dan ini paling utama. Sebab jikalau tidak demikian, diri sendiri yang menjadi susah. Hati jadi berat karena memendam kekecewaan yang bertubi-tubi. Saya cinta tubuh sendiri, saya sayang dengan hati saya dan tak mau membebaninya, lebih-lebih lagi menyakitinya.

Pada hari Minggu pagi, 10 September 2017 bertubi-tubi masuk pesan WA ke hp saya. Percakapan grup AJI Bandar Lampung. Kawan-kawan sedang sibuk menentukan waktu berkumpul hari itu untuk berangkat ke pernikahan Rudi dan Vina. Rencananya mereka mau berkumpul dulu di Sekretariat AJI Bandar Lampung di Kaliawi, Tanjung Karang lalu berangkat bareng ke Natar. Ada yang sudah standby di Sekret AJI, ada yang minta ditunggu, ada yang masih dijalan, ah macam-macam. Juga ada yang berencana mengajak emaknya, hehehe.

Selain itu juga soal menentukan kendaraan yang hendak digunakan berangkan bareng ke lokasi pernikahan. Awalnya mau pesan Gocar, tak lama datang kabar bahwa Padli Ramdan (Ketua AJI Bandar Lampung) bisa bawa mobil lantaran dapat pinjaman mobil mertua. Ada lagi yang minta dikirimi foto akad pernikahan Rudi dan Vina.

Saat membaca segala pesan WA yang masuk di grup, saya sedang di Halte Busway Pramuka LIA Jakart - menunggu busway. Sambil tersenyum-senyum membacanya dan ada sedikit rasa protes. Seharusnya saya ikut bersama mereka, bukan disini – seorang diri menunggu busway yang tak kunjung tiba. Namun segera tersentak. Sudahlah, faktanya sekarang saya sedang di Jakarta (menjalani rawat jalan - realistis) jadi ikhlaskanlah. Nikmati yang ada dan sedang saya jalani saat ini.

Akan tetapi dari jauh dan lubuk hati terdalam sekali lagi saya mengucapkan selamat menempuh hidup baru untu Rudi dan Vina. Juga dua orang kawan AJI lainnya yang di bulan ini pun akan melepas masa lajang Wakos (dan Zahara) pada 17 September 2017, Dian (dan Lutfi) pada 18 September 2017. Saya ikut berbahagia (Rawasari - Jakarta, 11 September 2017).

     

Rabu, 06 September 2017

NASI UDUK BU MAR

Bu Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk yang makan ditempat
Hore! Akhirnya kesampaian juga mencicipi nasi uduknya Bu Mar, hati kecil saya berkata demikian pada Senin 4 September 2017 lalu. Nasi uduk, makanan tradisional yang satu ini begitu mudah ditemui di seluruh Indonesia. Biasanya dijual pada pagi hari sebagai sarapan atau mulai sore hari sebagai makan malam, tentunya. Beberapa malah ada yang menjual sepanjang hari alias nasi uduk 24 jam ala-ala minimarket Seven Eleven yang telah almarhum di Jakarta. Kalau di Jakarta, nasi uduk lebih yahud lagi, pasalnya memang dari sinilah nasi uduk yang telah mengidonesia tadi bermula. Nasi uduk merupakan salah satu makanan khas betawi.

Di Jakarta sendiri tersebar berbagai penjual nasi uduk yang telah melegenda, misalnya Nasi Uduk Kebon Kacang, Nasi Uduk Gondangdia, dan lain-lain. Saya sih baru sebatas tahu namanya saja. Belum lah sampai icip-icip kecuali Nasi Uduk Gondangdia. Saya sempat mencoba nasi uduk tersebut di bulan Juni 2017 lalu.

Saya lebih sering mencoba nasi uduk yang biasa saja. Toh bukan jaminan juga bahwa nasi uduk tak punya nama tidak enak pun sebaliknya yang punya nama pasti enak. Soal nasi uduk, menurut saya adalah selera pribadi. Nah bagaimana dengan Nasi Uduk Bu Mar yangsaya sebut-sebut tadi?

Sebenarnya saya baru tahu Nasi Uduk Bu Mar dari postingan kawan yang senior di AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, Hasudungan P Sirait di facebooknya. Kapan ya? Oh kalau tak salah sekitar awal Agustus. Bang Has (sapaan akrabnya) meng-upload sejumlah foto sedang duduk di kursi tempat Nasi Uduk Bu Mar berjualan. Pada latar belakang fotonya nampak seorang ibu tua berhijab yang saya duga Bu Mar alias penjual uduknya dan berbagai wadah berisi lauk-lauk peneman nasi uduknya.

Sepotong saja informasi yang saya ingat dari postingan foto tadi: menikmati Nasi Uduk Bu Mar di Jalan Kramat Raya. Wah ternyata di Jalan Kramat Raya ada nasi uduk toh kalau pagi. Mengapa saya sebegitu tertariknya? Pasalnya saya kerap melewati jalan tersebut dan tempat Bu Mar menggelar dagangannya saya sangat akrab. Di emperan bangunan yang sudah tua. Saya cukup sering lewat emperan tersebut, biasanya kalau mau fotokopi (berkas-berkas persyaratan adminstrasi untuk daftar berobat di Rumah Sakit Kramat 128) ke toko fotokopi yang ada sejajar dengan bangunan tua tadi atau ke Bank Mandiri yang malah satu kompleks dengan bangunan tua tadi. Saya selalu merasa gimana gitu, penasaran tepatnya kalau kerap melewati suatu tempat dan disitu ada hal yang baru saya ketahui keberadaannya.

Bu Mar sedang melayani seorang pembeli nasi uduk ketika saya tiba disitu hampir pukul 8 pagi. Tangannya cekatan menyendok lauk-lauk yang ditunjuk oleh pembelinya. Ada orek tempe, tempe goreng, mie goreng, sambal, sepintas yang saya lihat dalam kertas pembungkus nasi yang dipegang oleh Bu Mar. Ketika akhirnya sudah cukup jumlah lauk yang dipilih si pembeli, Bu Mar pun membungkus nasi uduk tersebut dan memasukkannya ke dalam plastik kresek bening nan mungil. Dalam kresek tersebut telah terdapat sebungkus kecil kerupuk aci, peneman nasi uduk.

Setelah membayar, barulah Bu Mar melayani saya. Karena saya memilih makan disitu, maka dia mengambil piring yang terbuat dari ayaman lidi dan dialasi oleh selembar kertas nasi. Tangannya lantas membuka bakul nasi yang berada diujung meja. Kecil kok. Saya heran saja, sebab biasanya kebanyakan pedagang nasi uduk yang saya temui menyetok nasi uduknya pakai bakul besar.

Saya memilih lauk telur dadar yang diguyur sedikit sambal goreng. Sebelumnya sudah ada orek tempe disitu. Oya, juga sedikit mie goreng dan sambal kacang. Tak lupa kerupuk aci. Saya lalu duduk dikursi dekat situ. Seorang bapak-bapak paruh baya sibuk menuangkan teh ke gelas lalu gelas yang telah penuh air teh dan bertutup tadi ditaruh dekat dinding bangunan. Rupanya bapak paruh baya tadi ialah Pak Mar yang tak lain adalah suaminya Bu Mar.

Boleh juga, batin saya – menilai rasa - sesudah menyendok sesuap nasi uduk ke mulut. Sambil melahap nasi uduk, saya mengajak obrol Bu Mar. Dia sibuk melayani pembeli tapi juga terkadang bengong menunggu pembeli. “Ibu namanya Bu Mar ya?” Tanya saya membuka percakapan. Dan Bu Mar yang telah berusia 56 tahun itu mengiyakan sambil tersenyum. Kedua matanya agak menyipit dan ada guratan-guratan usia tua diujung kedua matanya.

Lalu saya pun menyakan berapa lama dia telah berjualan disini. Agak kaget juga, awalnya saya kira beliau sudah puluhan tahun. Eh ternyata baru sekitar lima tahun. Namun saya menangkap hal lain dari raut wajahnya. Yah walau baru lima tahun, wajahnya menyiratkan betapa telah ditempa dalam hal dapur dan pernasidukan. Dari bibir Bu Mar mengalir lancar tentang nasi uduknya.

Bu Mar yang memiliki dua anak ini membuat seluruh nasi uduk plus lauk pauknya seorang diri dan dibantu suami. Pukul 12 alias tengah malam, ketika kita sedang berasyik masyuk di alam mimpi, Bu Mar telah melek untuk memasak nasi uduknya. “Selesainya jam 4 pagi”, katanya. Habis itu dia beberes dan setelahnya membawa seluruh hasil masakan kesini untuk dijual. Beres berdagang sekitar pukul 08.30 pagi. Kegiatan paska berdagang nasi uduk dipagi hati, tak ada. “Paling hanya ngemong cucu saja”, katanya.

“Ibu masak nasinya hanya segini atau masih ada lagi?” Tanya saya sambil menunjuk bakul nasi uduk yang kecil itu. “Bawa segini aja. Masaknya dikit. Cuma 8 liter”, jelasnya. Dikatakannya, 8 liter sekira 800 gram lah – sedikit, tak sampai satu kilogram. Loh kok dikit amat ya? Bu Mar yang masih energik itu menjelaskan bahwa dia memang biasa masak segitu, nggak masak nasi uduk banyak-banyak. Dia juga nggak bikin nasi kuning. Kan biasanya ada tuh pedagang nasi uduk yang juga jualan nasi kuning bahkan nasi ulam. Kedua nasi tadi itu dibikinnya hanya kalau ada pesanan saja.

Soal pesanan ini, Bu Mar lantas bercerita bahwa hotel dekat daerah Kramat pernah memesan nasi uduk buatannya untuk menu sarapan pagi. Tapi dia tak menyebutkan detil kapan waktunya dah hingga berapa lama. Adapun nasi uduknya merupakan perpaduan Jawa dan Betawi. Sebab ada dua macam sambal yang disediakan yakni sambal goreng dan sambal kacang. Nah sambal kacang ini yang merupakan khas dari nasi uduk ala Betawi. Bu Mar memasukkan selera Betawi dalam nasi uduknya bukan karena dia tinggal di Jakarta saja. “Kalau saya asli Jawa. Kalau suami asli orang Betawi”, Jelasnya. O jadi begitu, pengaruh faktor rumah tangga.

Bu Mar melayani pembeli ketupat sayur
Seorang perempuan kantoran menghampiri Bu Mar. Perempuan itu memesan lontong sayur satu porsi dan dibungkus. Ya, selain nasi uduk – lontong sayur lah yang dijual oleh Bu Mar dan sama seperti nasi uduk, dia hanya membuat sayur lodeh untuk lontong dalam bakul sayur. Eh salah ding, ternyata bukan lontong. Ketupat sayur yang dijual Bu Mar.

Selang 15 menit kemudian seorang lelaki muda membeli uduk untuk dimakan ditempat. Saya lihat, betapa lahapnya lelaki itu makan nasi uduknya. Duh kalau begini, siapa yang tidak ngiler ya. Disela-sela keterbengongan saya, Bu Mar bertanya saya ngapain disini?

“Oh saya habis dari RS Kramat 128 buat daftar ulang berobat”, Jawab saya. Mendengar jawaban saya, Bu Mar kemudian bercerita tentang suaminya yang punya masalah jantung dan semestinya rutin berobat ke dokter dan biasanya juga ke RS Kramat 128. Pak Mar yang dulunya berprofesi sebagai tukang cat duco itu, sudah lama nggak berobat. Ada sekitar  tahunan, katanya.

“Loh kenapa? Ibu ada BPJS kan?” Tanya saya. Sori, bukannya saya meng-endorse BPJS tapi menurut saya memang cukup membantu lah.

Kata Bu Mar sih ada tapi bapaknya yang tidak mau. Bu Mar bilang umur bapak sudah 60 tahun. Ah begitu, saya jadi paham. Memang ada sebagian orang berusia tua yang sakit tapi menolak ke dokter. Pemikirannya karena sudah tua jadi ya wajar penyakitnya jadi biarinin saja deh. Saya nggak bisa ngomong kalau begini.

Setelah menyelesaikan makanan dan membayar, saya tak lekas pergi. Masih duduk disitu, sesekali saya perhatikan Bu Mar yang cekatan melayani pembeli nasi uduk ataupun ketupat sayur. Sementara Pak Mar sigap tanggap menuangkan segelas teh yang lalu disajikan untuk pembeli mereka yang makan ditempat dan kayaknya juga Pak Mar yang bagian cuci mencuci perabot makannya. Kalau sedang tak ada pembeli, Pak Mar mengobrol dengan orang disekitar situ.

Betapa semangatnya mereka bekerja padahal sudah paruh baya ya. Ah semoga keduanya selalu sehat. Rasa kantuk yang masih menghinggapi saya, perlahan berkurang setelah berbicang dengan Bu Mar, melihat keduanya begitu bersemangat dan selalu menebar keramahan kepada pembeli termasuk melayani pembeli bawel macam saya. Kalau ada waktu, yakinlah saya untuk mampir kesana lagi menyantap nasi uduknya. (Jakarta, 6 September 2017)