Rudiyansyah,
kawan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengirim pesan WA
pada Kamis, 7 September 2017 lalu. Isinya berupa caption foto undangan pernikahannya dan denah lokasi akad plus
resepsinya. Rudi akan menikah pada hari Minggu, 10 September 2017. Calon
mempelai perempuannya Vina Oktavia, yang juga teman saya di AJI Bandar Lampung.
Lokasi akad dan resepsinya bertempat di kediaman Vina, di daerah Natar dekat
Flyover Pasar Natar kabupaten Lampung Selatan.
Saya
membaca dengan perlahan. Setelahnya sangat mengamini. Saya ikut berbahagia dan mendoakan yang terbaik bagi mereka berdua. Bersamaan
itu pula, saya serasa mengalami dejavu. Ensiklopedia online Wikipedia.org menulis dejavu dari bahasa Perancis, secara
harfiah berarti pernah dilihat yaitu fenomena merasakan sensasi kuat bahwa
suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah
dialami di masa lalu. Dejavu (masih
menurut Wikipedia.org) adalah suatu
perasaan telah mengetahui dan deja vecu
(perasaan “pernah hidup melalui”) sesuatu adalah sebuah perasaan mengingat
kembali.
Undangan Peluncuran Buku 25 Tahun Kabupaten Lambar |
Saya
jadi teringat pada tanggal 17 Maret 2017 lalu. Kapan ya? Pagi atau sore, masuk
sebuah pesan WA dari Rudi. Dalam pesan yang dia kirim ada caption foto undangan
dan gambar sebuah buku. Rupanya itu foto undangan peluncuran buku Secangkir Kopi Bumi Sekala Brak Jejak Langkah
25 Tahun Kebangunan Lambar. Tertulis informasi bahwa saya diundang pada
acara peluncuran buku yang akan digelar di Hotel Emersia, Bandar Lampung pada
18 Maret 2017. Bagian kanan bawah ditandatangani Bupati Lampung Barat – saat itu
– Mukhlis Basri.
Saya
diundang karena menjadi salah satu penyumbang artikel dalam buku tersebut. Bisa
dibayangkan betapa senangnya hati kala membaca undangan tersebut. Sebab saya
telah menunggu lama. Saya kerap bertanya kepada kawan yang bekerja di Lampung Post (ya sebagai yang diberi
mandat untuk menyusun dan menerbitkan buku) kapan bukunya akan diluncurkan atau
sudah jadi belum? Sudah sejak bulan November atau Desember 2016 saya
menanyakannya. Dan ketika bulan Maret 2017 diluncurkan tak heran perasaan saya
berkata wow, akhirnya!
Tapi
bersamaan itu saya juga menangis lirih. Saya tak mungkin menghadirinya.
Mengapa? Karena kondisi yang memang belum memungkinkan. Saat undangan itu
datang, saya sedang di Jakarta, menjalani masa pemulihan setelah opname dari
Rumah Sakit (RS) Kramat 128 karena penyakit lupus. Sebulan saya diopname disana
bahkan sempat mengalami kondisi kritis alias koma. Ketika keluar dari rumah
sakit, saya belum mampu berdiri dan berjalan sendiri. Saya menduga hal ini
terjadi lantaran (salah satunya) bobot tubuh yang susut banyak.
Berat
normal yang 46 kilogram, sekeluarnya dari rumah sakit menjadi 40 kilogram. Saya
kurus sekali. Tulang yang nampak, sementara daging hanya secuil. Tungkai kaki
saya, aduh mak – langsing sekali kayak gagang sapu ijuk. Kalau yang lebih berkelas
sih mirip model catwalk. Tapi kalau mereka kan karena tuntutan profesi. Lha
saya? Berbeda. Untuk bangun (berdiri) saya mesti dibantu oleh asisten rumah
tangga (ART). Ada kalanya sampai dibopong. Ini kalau mau naik atau turun mobil
saat hendak dan pulang dari rumah sakit. Kemana-mana, saya harus pakai kursi
roda yang didorong oleh ART.
Makanya
gimana saya nggak sedih dan jadi antiklimaks, dikala saya mampu berjalan –
bukunya belum rampung. Ketika bukunya rampung dan siap diluncurkan eh saya nya
yang “nggak siap”. “Rasanya nggak berdaya ya, mbak,” kata Mbah Diah, kawan saya
di grup WA Lima Dasar Hidup Sehat (LDHS) beberapa waktu lalu. Iya, benar dan
yang bisa saya lakukan hanyalah menangis. Duduk diatas ranjang dan menangis
sambil mengelap ingus yang keluar dari hidung. Saya masih ingat, Mbak Siti
(asisten rumah tangga yang mengurus saya saat itu) sampai bertanya kenapa saya
menangis?
Lantaran
nggak mood dan larut dalam kesedihan saya diamkan saja. Saya hanya
menggelengkan kepala. Biarlah saya pendam sendiri. Sampai malam saya tak bisa
tidur. Padahal itu malam minggu yang bagi sebagian orang justru menjadi malam
berbahagia, yang masih pacaran – saatnya wakuncar doi. Yang sudah berkeluarga
saatnya kencan lagi dengan istri atau suami.
Namun
perlahan saya bisa melupakannya. Sambil dihibur-hibur tante yang mengatakan
bahwa pasti ada kesempatan lain acara serupa.
![]() |
Rudiyansyah dan Vina Oktavia |
Kembali
ke soal undangan pernikahan Rudi dan Vina, walau serasa dejavu karena saat menerima pesannya itu, sedang di Jakarta – ada perbedaannya.
Kali ini ketika menerimanya saya (bersyukur) tak lagi menangis seperti di bulan
Maret itu atau menyimpan pedih di dalam hati. Mengapa? Karena perlahan seiring
waktu berjalan dan dari pengalaman yang sudah-sudah, saya belajar dan diajarkan
kembali untuk; a) realistis. Realistis karena tak mungkin toh saya berada di
dua tempat yang jaraknya dipisahkan lautan secara bersamaan. Sekarang ini,
meskipun saya telah bisa berdiri dan berjalan seperti sedia kala dulu, tetap
saya harus menjalani rawat jalan atau kontrol lupus sekali dalam sebulan.
Dokter saya – internis hematologi – berpraktek di Rumah Sakit Kramat 128,
Jakarta Pusat maka sekali dalam sebulan saya berangkat ke Jakarta untuk
ngapelin doi.
Berobatnya
sih pakai BPJS sehingga biaya dokter, resep obat (tapi tidak semua lho) atau
tindakan medis lainnya, misalnya cek darah dan urine di laboratorium, saya tak
perlu membayar. Hanya ada konsekuensi lain. Apa? Waktunya lebih lama. Kalau di
RS Kramat 128, antara satu tindakan medis ke tindakan medis lain baru dapat
dilakukan setelah menunggu 8 hari. Contohnya begini; tanggal 11 September saya
periksa ke dokter. Oleh dokter saya disuruh cek darah dan urine. Tidak bisa
besok cek darahnya. Baru bisa hari Selasa minggu depannya atau sesudah Selasa.
Jadi
untuk keperluan kontrol penyakit ini, saya bisa sekitar dua mingguan di Jakarta.
Bisa juga lebih lama, apalagi jika pakai dirujuk ke dokter spesialis lain.
Praktis waktu saya banyak tersita di Jakarta daripada di Lampung. Sedangkan
undangan atau acara-acara sampai saat ini kebanyakan masih di Lampung. Jika
dirunut ada beberapa acara yang tak dapat saya ikuti karena digelar bersamaan
saat saya di Jakarta, seperti acara HUT AJI Bandar Lampung (27 Agustus 2017)
dan lain-lain.
Lalu
b) Ikhlas. Ya realistis harus dibarengi keihklasan menerima dan ini paling
utama. Sebab jikalau tidak demikian, diri sendiri yang menjadi susah. Hati jadi
berat karena memendam kekecewaan yang bertubi-tubi. Saya cinta tubuh sendiri,
saya sayang dengan hati saya dan tak mau membebaninya, lebih-lebih lagi
menyakitinya.
Pada
hari Minggu pagi, 10 September 2017 bertubi-tubi masuk pesan WA ke hp saya.
Percakapan grup AJI Bandar Lampung. Kawan-kawan sedang sibuk menentukan waktu
berkumpul hari itu untuk berangkat ke pernikahan Rudi dan Vina. Rencananya
mereka mau berkumpul dulu di Sekretariat AJI Bandar Lampung di Kaliawi, Tanjung
Karang lalu berangkat bareng ke Natar. Ada yang sudah standby di Sekret AJI, ada yang minta ditunggu, ada yang masih
dijalan, ah macam-macam. Juga ada yang berencana mengajak emaknya, hehehe.
Selain
itu juga soal menentukan kendaraan yang hendak digunakan berangkan bareng ke
lokasi pernikahan. Awalnya mau pesan Gocar, tak lama datang kabar bahwa Padli
Ramdan (Ketua AJI Bandar Lampung) bisa bawa mobil lantaran dapat pinjaman mobil
mertua. Ada lagi yang minta dikirimi foto akad pernikahan Rudi dan Vina.
Saat
membaca segala pesan WA yang masuk di grup, saya sedang di Halte Busway Pramuka
LIA Jakart - menunggu busway. Sambil tersenyum-senyum membacanya dan ada
sedikit rasa protes. Seharusnya saya ikut bersama mereka, bukan disini –
seorang diri menunggu busway yang tak kunjung tiba. Namun segera tersentak.
Sudahlah, faktanya sekarang saya sedang di Jakarta (menjalani rawat jalan -
realistis) jadi ikhlaskanlah. Nikmati yang ada dan sedang saya jalani saat ini.
Akan
tetapi dari jauh dan lubuk hati terdalam sekali lagi saya mengucapkan selamat
menempuh hidup baru untu Rudi dan Vina. Juga dua orang kawan AJI lainnya yang
di bulan ini pun akan melepas masa lajang Wakos (dan Zahara) pada 17 September
2017, Dian (dan Lutfi) pada 18 September 2017. Saya ikut berbahagia (Rawasari - Jakarta, 11 September 2017).