Jumat, 03 Juli 2015

Engeline, Anak Terlantar dan Potret Kegagalan Program KB Indonesia

Tak terasa kasus penemuan jenazah gadis cilik Engeline telah berlalu hampir sebulan. Engeline, gadis cilik berusia 8 tahun dan bertempat tinggal di Sanur, Denpasar ini awalnya dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015. Informasi hilangnya gadis cilik ini cepat tersebar – terutama melalui media sosial (medsos) dan kemudian diliput oleh media mainstream. Bahkan di facebook, tak berapa lama kemudian ada fanspage khusus berlabel: Find Angeline, Bali’s missing child.
Fanspage ini berhasil menarik follower sekitar 4000 orang. Melalui fanspage ini juga, dana sejumlah lebih dari Rp 40 juta berhasil dikumpulkan. Fanspage Engeline ini disebut-sebut dibuat oleh kakak angkatnya yang saat ini sedang berada di Australia.
Namun betapa terkejutnya kita, ketika di Rabu, 10 Juni lalu – semua media memberitakan penemuan jenazah bocah cilik ini – yang tragisnya (dari hasil otopsi pihak forensik kepolisian) diperkirakan telah meninggal tiga minggu yang lalu karena dibunuh dan jasadnya dikubur dalam lubang (sampah) halaman rumah ibu angkatnya sendiri.
Kepolisian Daerah (polda) Bali yang menangani kasus pembunuhan Engeline bergerak cepat untuk mencari siapa tersangka atau pelaku pembunuhan gadis cilik ini. Agustinus Tai, eks PRT yang bekerja di rumah ibu angkat Engeline, Margriet Ch. Megawe – ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Sedangkan Margriet, sampai saat ini oleh Polda Bali masih berstatus tersangka dalam kasus penelantaran anak.
Memang banyak beredar cerita dan pemberitaan seputar bagaimana kondisi kehidupan gadis cilik itu semasa tinggal di rumah ibu angkatnya tadi. Banyak yang mengatakan bila Engeline kurang atau tidak diurus dengan baik oleh Margriet dalam waktu belakangan ini (disebutkan sejak kematian ayah angkatnya, suami Margriet). Mulai dari sering dipukul, penampilan lusuh, bau tai ayam dan lain-lain.
Gencarnya pemberitaan seputar perlakuan ibu angkat Engeline terhadapnya, menjadikan (tak heran) masyarakat kita berspekulasi bahwa Margriet-lah termasuk tersangka atau pelaku pembunuhan Engeline. Tetapi, menurut saya – dalam kasus ini – tidaklah sepenuhnya bisa menyalahkan Margriet Ch. Megawe, ibu angkat Engeline.

Kesiapan Finansial Memiliki Anak
Hamidah, ibu kandung Engeline menangis histeris ketika mendatangi kamar jenazah putrinya itu. Dalam tayangan di televisi nasional, diperlihatkan betapa ia menangis histeris sembari berteriak-teriak seolah hendak membangunkan putrinya yang telah almarhumah itu. Ada pemandangan sedih tentunya.
Namun, menelusuri ke belakang  – sebelum akhirnya Engeline diasuh oleh Margriet, didapat fakta bahwa Engeline merupakan anak kedua pasangan Hamidah dan Rosidik (kini telah berpisah). Fakta lain ? a) Engeline diasuh oleh Margriet lantaran orang tua kandungnya tidak memiliki biaya membayar persalinannya yang mencapai Rp 1,8 juta. Margriet yang membayari biaya persalinan itu dan berdasarkan kesepakatan, Engeline diadopsi oleh Margriet. Dan b) Engeline memiliki seorang adik yang saat ini ikut neneknya di Banyuwangi dan diasuh di sana.
Disinilah saya menangkap pangkal dari segala rentetan kejadian pembunuhan Engeline ini; dan menurut saya – kita tak perlu menjadi naif bahwa kita tak bisa hidup tanpa uang. Jika direka ulang, dikatakan bahwa alasan ibu kandung Engeline menyerahkan anaknya itu kepada Margriet lantaran ia (Hamidah) tidak memiliki uang untuk membayar biaya persalinan Engeline sebesar Rp 1,8 juta.
Jelas sekali maknanya disini bahwa orang tua kandung Engeline tidak memiliki perencanaan yang matang mengenai kehidupan membangun keluarga termasuk dalam hal memiliki anak. Lebih jauh lagi bahwa (kuat dugaan saya) orang tua kandung Engeline menikah di usia muda di bawah 20 tahun. Perhitungan saya ialah usia Hamidah yang saat ini masih berusia 28 tahun yang jika dikurangi oleh usia Engeline (8 Tahun) maka didapat pada usia 20 tahun-lah Hamidah melahirkan Engeline. Usia yang 20 tahun itu lalu dikurangi 2 tahun karena Hamidah telah memiliki seorang anak sebelum melahirkan Engeline. Sehingga asumsinya ialah Hamidah masih berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayah kandung Engeline, Rosidik.
Selanjutnya saya juga tak muter-muter dan ini memang telah mengendap sekian lama pasca pemberitaan penemuan jenazah Engeline. Seandainya kesulitan finansial, maka tak usahlah memiliki banyak anak. Kalaupun bermaksud menambah anak, idealnya dipikirkan secara matang-matang. Sekalian buatlah perencanaan mulai dari biaya persalinan, biaya hidup anak dan lain-lain sampai anak dari orang tua yang bersangkutan dewasa dan bisa mandiri menafkahi dirinya sendiri. Jangan dilupakan juga bahwa kesehatan ibu harus juga menjadi prioritas. Asupan gizi atau nutrisi yang masuk ke tubuh ibu, apabila baik dan mencukupi – yakinlah bayi yang dilahirkan akan dalam kondisi sehat dan normal.

Gagalnya program KB ?
Apa yang terjadi pada kasus Engeline ini mengingatkan kita pada program Keluarga Berencana (KB) yang dulu sekali pernah digiatkan oleh pemerintah kita. Publik mengetahui bahwa program KB merupakan produk dari masa Orde Baru. Tidak juga karena berdasarkan sejarahnya yang dikutip dari depkes.go.id, program KB telah dimulai sejak tahun 1957 (masa orde lama) namun masih menjadi urusan kesehatan dan belum menjadi program kependudukan. Baru di tahun 1970, tepatnya tanggal 29 Juni, KB ditetapkan sebagai program pemerintah bersamaan dengan dibentuknya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Harus diakui, masih ada stigmanisasi negatif terhadap program KB selama ini dalam masyarakat kita, misalnya sasaran KB hanyalah wanita dan KB dapat memandulkan peserta program tersebut. Padahal bila kita mau memahami dulu apa definisi dan tujuan program KB di Indonesia, stigma negatif tadi dapat dikikis. Dalam website kebidanan.org, ada tiga definisi dari KB. Definisi pertama, KB adalah upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (KB versi UU No. 10/ 1992). Definisi kedua, KB (family Planning Planned Parenthood) yakni suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan kontrasepsi. Dan definisi ketiga dari WHO (Expert Committee, 1970), KB merupakan tindakan yang membantu individu atau pasien untuk mendapatkan obyektif-obyektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur internal di antara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Sementara tujuan umum dari KB yakni membentuk keluarga kecil yang sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa baru-baru ini pernah mengungkap kisaran angka anak terlantar di Indonesia. Waktu itu saat sedang hebohnya kasus penelantaran anak di Cibubur. Kepada media ia mengatakan ada 4,1 juta anak terlantar di Indonesia (detik.com, 15/5/2015). Angka yang disebut-sebut oleh Mensos tadi terkategorikan mencenggangkan. Mengingat pula bahwa anak-anak terlantar itulah generasi penerus bangsa kita. Namun angka yang disebut oleh mensos tadi kemungkinan jauh lebih besar lagi jika kita turun langsung ke lapangan dan dugaan kuat dari saya ini – dapat menjadi valid jika kita mengamati jumlah anak-anak berkeliaran di penjuru kota.
Salah satu contoh nyata dari hal ini dapat saya lihat betapa banyaknya anak usia SD dan malah TK berkeliaran setiap hari mulai sore atau maghrib dan entah hingga malam pukul berapa. Mereka menyambangi warung-warung tenda/ PKL yang mulai berjualan di sore hari di kota saya (Bandar Lampung). Entah bagaimana di kota lainnya, hanya dugaan saya ialah sama saja. Biasanya mereka mengemis atau mengamen dengan gitar kecilnya dan berpenampilan kucel – yang mungkin untuk mengiba supaya orang kasihan dan memberi uang kepada mereka.
Sampai disitu – dengan pemandangan begitu, saya jadi berpikir sekaligus bertanya-tanya, dimana gerangan orang tua dari anak-anak tadi ? Apakah para orang tuanya mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anak mereka ? Apakah anak-anak itu telah memberitahu apa yang mereka lakukan kepada orang tua mereka ? Pasalnya yang mereka lakukan itu adalah hal yang berbahaya; berkeliaran, mengemis dan acapkali juga harus menyeberang jalan yang berlalu lintas padat.
Selain itu, bagaimana reaksi dari orang tua mereka ketika mengetahui apa yang dilakukan oleh anak-anaknya itu ? Idealnya ialah melarang karena itu bukanlah ranah dari anak-anak itu. Akan tetapi saya curiga, jangan-jangan aksi mengemis atau mengamen yang dilakukan oleh anak-anak tadi justru atas suruhan ortunya sendiri. Secara logis, saya meyakini bahwa tak mungkin anak usia SD/ TK (5-12 tahun) punya inisiatif mengemis atau mengamen. Jadi kuat dugaan bila inisiatornya ialah ortu mereka. Kuat dugaan juga bila kondisi keluarga mereka ini tergolong kurang mampu atau ekonomi lemah dan ketika menikah, orang tua mereka berusia masih sangat muda.

Menjadi sungguh miris dimana orang tua yang seharusnya merawat, mendidik atau menafkahi anak-anaknya. Malah yang terjadi sebaliknya. Anak-anak tadi diterlantarkan lantaran ketidaksiapan orang tua mereka secara ekonomi (contohnya tidak siap dalam hal biaya persalinan anak yang baru dilahirkan tadi, seperti dalam kasus Engeline), edukasi dan sosial. Serta yang terpenting ialah kesiapan mental untuk menikah dan menjadi orang tua serta membesarkan anak. Seandainya para orang tua tadi mengikuti program KB yang mengatur perencanaan kehamilan dan jumlah anak. Pemandangan seperti anak-anak kecil yang mengemis atau mengamen tadi dapatlah dihindarkan. Anak-anak itu pun niscaya akan tumbuh menjadi generasi yang sehat dan teredukasi dengan baik. Engeline mengingatkan kita dan khususnya para orang tua yang hendak memiliki dan menambah anak (dalam hal ini). Anak bukanlah boneka yang bisa didandani lalu ketika bosan dibuang begitu saja. Anak adalah calon manusia dewasa, yang bernafas, memiliki kebutuhan dan selayaknya orang tua bertanggung jawab – wajiblah memenuhi kebutuhan hidup anak mereka sebaik-baiknya seumur usia hidupnya. (Tulisan ini dimuat dalam Harian Analisa edisi Jumat, 3 Juli 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog www.kompasiana.com/linkarina atau facebook Sycarita Karina Lin. 

Minggu, 28 Juni 2015

Ketika Edward Syah Pernong Pulang Kampung

Pangeran Edward Syah Pernong,  Kapolda Lampung 2015 (Dok Lampost.co)
Pergantian pucuk pimpinan suatu institusi atau lembaga (baik pemerintah ataupun swasta) biasanya diikuti oleh perombakan perangkatnya. Hal inilah yang terjadi pada Korps Bhayangkara Indonesia. Awal tahun 2015 ini – mereka sempat dilanda polemik mengenai penunjukkan pimpinannya yang baru. Kini enam bulan kemudian, pasca polemik mereda dan kapolri baru telah diangkat – perombakan terhadap susunan perangkat anak buah mereka dilakukan.
Mengutip Tajuk suratkabar Lampung Post (Lampost) edisi Senin, 8 Juni 2015, melalui telegram rahasia Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, sejumlah pejabat tinggi (pati) dan pejabat menengah (pamen) dimutasikan. Termasuk Korps Bhayangkara Lampung. Pucuk pimpinan Polda Lampung yang sebelumnya dijabat oleh Brigjen Heru Winarko diestafetkan kepada Brigjen Edward Syah Pernong.
Dalam kalangan masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai, nama kapolda yang baru bukanlah asing. Dia merupakan putera asli daerah Lampung bahkan dalam adat merupakan raja dari Kepaksian Pak Sekala Brak di Lampung Barat. Karenanya dapat disebut juga jika serah terima jabatan (sertijab) kali ini terasa lebih istimewa. Sebab daerah kita, Lampung sai – akan dijaga oleh putra Lampung sendiri.
Menyandang status putra Lampung asli dan raja kerajaan adat – saya yakin masyarakat Lampung berharap besar dari Edward Syah Pernong dalam menjaga keamanan dan menekan angka kriminalitas di sini. Ini sebuah tantangan baginya, bisa atau tidak; mampu atau tidak mampu ? Cara atau pendekatan bagaimanakah yang akan diterapkan olehnya dalam menahkodai keamanan wilayah Lampung ?

Rawan Konflik dan Begal
Tentu bukan perkara mudah menjaga daerah seluas 35.367 kilometer persegi. Terlebih masyarakatnya heterogen atau majemuk. Mengutip tulisan Djadjat Sudjrajat dalam catatan penutupnya di buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung (AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing, 2012), menyebut dari penduduk (Lampung) sekitar 1 juta jiwa itu, etnis Lampung hanya 11,9%. Komposisi lengkapnya: etnis Jawa 61,02%, Sunda 13,2%, Banten 3,6%, Palembang 2,89%, Bali 1,62%, Minangkabau 0,84%, Ogan, Semendo dan etnis lainnya (2013).
Komposisi itu kemungkinan besar tidak berubah banyak saat ini; dan menyimak komposisi itu – semakin meyakinkan akan heterogenitas masyarakat di Ruwa Jurai tercinta ini. Secara positif, multietnis ini dapat memperkaya kelokalan budaya di daerah yang ada sehingga menjadi budaya yang khas dan unik; dan berkembang dan memperkuat keidentitasan daerah atau individu daerah yang bersangkutan.
Sedangkan secara negatif, multienis ini rawan menimbulkan gesekan-gesekan konflik yang dapat memicu antara lain kerusuhan atau aksi-aksi negatif plus anarkis lainnya.
Berita buruknya – berdasarkan amatan saya – di Lampung, kemultietnisan tadi lebih memberi efek negatif ketimbang positif. Termasuk sering konflik di Lampung terjadi. Intensitas konflik bisa kita telusuri dari masa-masa empat tahun terakhir ini. Hartoyo, sosiolog dari Universitas Lampung menyebut di tahun 2011-2012 konflik-konflik kekerasan terjadi beruntun di Lampung. Daerah-daerah kabupaten seperti Lampung Selatan, Lampung Timur, Mesuji; termasuk yang rawan konflik.
Masih menurutnya, konflik-konflik kekerasan yang terjadi itu termasuk kategori tsunami sosial karena getarannya termasuk sangat kuat pada lingkup lokal dan nasional bahkan menjadi perhatian dunia internasional (Mengapa Kita Berkonflik ?, Indepth Publishing, 2014). Ini memang benar, mengingat misalnya konflik di Balinuraga, Way Napal pada medio akhir Oktober-awal November 2012 lalu. Eskalasi konflik yang bermula dari hal sederhana bertransformasi menjadi skala besar dan bernuansa ke-SARA-an. Warga desa yang berkonflik sampai diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) di Kemiling, Bandar Lampung.
Saya, sekali mengunjungi tempat pengungsian di SPN tersebut dan tak terelakkan timbul rasa kasihan, pedih dan prihatin – baik terhadap konflik yang kala itu membara sekaligus kepada rerata warga yang sebenarnya tidak bersangkut paut alias tak tahu apa-apa.
Walau akhirnya penyelesaian konflik Balinuraga dapat dicapai secara win-win solution. Realitasnya, Lampung ke depannya (pasca 2012) masih terus dilanda konflik. Bahkan ini yang menarik, penyebab konfliknya lantaran begal !
Saya teringat ucapan eks Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko yang saya baca di media online Lampost.co. Katanya dia malu, tiap rapat dengan pejabat-pejabat tinggi di pusat, selalu ditanyain soal begal dari Lampung. Ya, saya sendiri juga malu. Saya sebagai warga Lampung – sudah pasti berharap yang baik-baik saja yang kesohor ke luar daerah (nasional). Kayak kerajinan tapis, sulam usus, ukiran Lampung; dan jika kuliner antara lain keripik pisang Lampung, sambal Lampung, tempoyak (walau saya nggak suka), pindang, dan lain-lain. Muli Mekhanai yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng.
Tapi apa daya, begal-begal itu tak dapat dibendung kesohorannya hingga keluar Lampung. Setiap kali diberitakan di media nasional mengenai kriminalitas pembegalan (seringnya di Jakarta) – selalu lajutannya “begal Lampung nan sadis dan ganas !”
Selain berkibar ke luar daerah, di dalam daerah Lampung sendiri – jangan ditanya lagi gimana luar biasanya begal-begal tadi menguasai jalanan lintas provinsi atau kabupaten. Tiada hari tanpa libur pembegalan. Saya sendiri sudah ketakutan sendiri kalau mau travelling ke kabupaten. Begal-lah yang pertama-tama tersirat di kepala saya. Ujung-ujungnya, saking parno begal – saya enggak pernah atau jarang banget ke kabupaten. Padahal saya kepingin banget menikmati Kiluan yang indah, melihat lumba-lumba liarnya yang menggemaskan, merasai udara laut yang segar, menyentuh air lautnya yang kebiruan jernih, makan otak-otak dan baso ikan marlin yang nikmat, sedap sepuas-puasnya. Pupus yang indah-indah hanya karena begal !
Nah akhir-akhir ini malah begal di Lampung naik peringkat. Nampaknya mereka berharga sekali, sampai-sampai dibelain sepenuh hati oleh warga tempat si begal berdomisili dan imbasnya mampu memicu konflik antar warga kampung. Contohnya seperti di Tanggamus. Pada medio Juli setahun yang lalu, terjadi keributan antarwarga disana dan semua keributan tadi berawal dari begal yang kepergok mencuri motor penduduk, lantas bersama-sama dipukuli oleh warga yang memergoki begal tersebut.
Penduduk pekon asal begal, tidak terima warganya dipukuli hingga mengalami luka berat; dan bisa diduga, akhirnya terjadilah penyerangan ke pekon yang telah menggebuki begal dari pekon sebelah hingga luka berat tadi (Kompas.com).
Saya yang membaca kronologis kejadiannya di media – dibikin planga-plongo saja. Penjahat kok dibelai-belain setengah mati – sampai rela berkorban nyawa ? Benar-benar luar biasa ! Nggak beda kayak ngebelain koruptor – yang sudah jelas terbukti bersalah tetapi masih ngotot atau ngeles tidak bersalah sambil mengajukan dalih lain. Misalnya si Ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin itu.
Disinilah kita berada, Lampung memang tergolong tinggi angka kriminalitasnya dan turunannya. Hanya saja konflik, kerusuhan dan begal ini yang menurut saya paling memerlukan perhatian penanganan serius.

Persuasif Budaya
Tentu bukan perkara mudah menjaga keamanan Lampung adem ayem dari kerusuhan, konflik sosial, juga menekan angka kriminalitas begal. Namun kalau kita melihat background Kapolda Lampung yang baru, saya (kok) optimis bisa ya ?
Rekam jejak karir dari Brigjen Edward Syah Pernong tergolong cemerlang, ini yang saya baca dari ensiklopedia online wikipedia.org. Sebagai pejabat tinggi dari Polri, Edward Syah Pernong merupakan pengecualian. Dia bukanlah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) melainkan lulusan Fakultas Hukum, UGM. Menariknya, ia sangat berpengalaman di bidang reserse. Brigjen Edward pernah ditempatkan di Polda Metro Jaya lalu menjadi Kasatreserse Polres Metro Bekasi pada 1992. Selama menapaki karirnya di bidang reserse ini, ia mengungkap banyak tindak kejahatan, antara lain membongkar kasus perampokan dan pemerkosaan terhadap Keluarga Acan di Bekasi (1995), membongkar kasus sodomi disertai pembunuhan terhadap 12 anak yang dilakukan oleh Siswanto alias Robot Gedek di Jakarta dan sekitar Jawa (1997). Bahkan ia berhasil menjebloskan preman Tanah Abang, Hercules beserta anak buahnya ke penjara.
Ketika berhasil membongkar Kasus Keluarga Acan, Presiden Soeharto lantas memanggilnya ke Istana dan menganugerahkannya Lencana Adhi Satya Bhakti.
Namun, sekali lagi – Brigjen Edward memiliki nilai plus. Ia lebih dari sekedar putra asli Lampung. Ia merupakan Raja. Tepatnya Raja Kerajaan Adat dari Kepaksian Sekala Brak Yang Dipertuan ke XXIII. Jadi beliau sejatinya bisa menitikberatkan upaya menjaga keamanan Lampung melalui persuasi budaya kelampung. Entah bagaimana cara yang akan ditempuh olehnya nanti dalam persuasi budaya kelampungan guna menjaga keamanan. Hanya sedikit usulan, bisa saja para (calon) personel Korps Bhayangkara Lampung dibekali atau diajarkan pengetahuan mengenai kelampungan pada saat mereka menuntut ilmu kepolisian atau ketika telah lulus pun, materi ini tetap disosialisasikan kepada para personel itu.
Udo Z. Karzi, budayawan, sastrawan cum jurnalis Lampung, sering sekali menulis artikel kelampungan yang temanya secara spesifik pada falsafah hidup orang Lampung; piil pesenggiri, juluk adok, nemui nyimah, nengah nyapur, sakai sambaian. Selain lima ini, masih ada versi lainnya dari falsafah atau pedoman hidup orang Lampung.
Falsafah-falsafah ini, dalam perspektif saya dapat dan justru ideal sekali bilamana dikombinasikan dalam bagian persuasi budaya guna menjaga keamanan daerah kita bersama. Sungguh indah dan menenangkan hati membayangkan Lampung yang bebas dari konflik dan begal. Kondisi seperti itu, saya yakin berefek positif bagi pertumbuhan daerah, terutama ekonominya dan kualitas masyarakat.
Harapan yang tidak muluk kepada Kapolda Lampung yang baru, Brigjen Edward Syah Pernong. Tak lupa, terima kasih kepada Brigjen Heru Winarko yang telah menjaga Lampung dalam tiga tahun ini. Selamat bertugas dan semoga amanah selalu bagi keduanya. 

Note: Artikel telah dimuat dalam suratkabar Lampost edisi Kamis, 5 Juni 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina atau Facebook Sycarita Karina Lin.

JPO dan Anak-anak Kita

Suatu Jumat pagi menjelang siang di akhir bulan April 2015, Jalan Ahmad Yani di Bandar Lampung dipadati oleh kendaraan beroda empat dan dua. Dapat dimaklumi status jalan yang kira-kira berlebar 20-25 meter itu, yakni jalan protokoler di Tanjung Karang dan Bandar Lampung. Dan berdirilah saya disitu – di trotoar sisi kiri dari jalan tersebut.
Rencananya saya hendak ke Perpustakaan Daerah (perpusda) Lampung dan disitulah saya menunggu BRT (bus ijo hasil proyek gagal pemkot kota saya)  rute Korpri-Sukaraja, yang dalam trayeknya melewati Perpusda Lampung di Jalan Wolter Monginsidi. Saya tidak sendiri nangkring di trotoar itu guna menunggu BRT. Ada banyak siswa SMP dan SD yang juga ngumplek di trotoar yang sama.
Menjelang waktu Sholat Jumat, kondisi semakin ramai – begitupun jumlah siswa SMP dan SD yang pulang sekolah dan nangkring di trotoar. Jalanan pun semakin macet, cet. Mungkin speedometer mobil dan motor yang berlalu lalang di Jalan Ahmad Yani – kala itu hanya mentok di angka 0-5 saja. Saya sendiri tak terlalu acuh. Bagi saya, sudah biasa jalanan ini dilanda macet alias pamer paha (padat merayap tanpa harapan) di hari Jumat nan syahdu.
Saya sibuk mencari tempat teduh karena, duilee teriknya mentari bisa bikin gosong kulit dan memproduksi bulir-bulir keringat tanpa henti. Otomatis bodi menjadi amit-amit bau. Disitu ada jembatan penyeberang orang (JPO). Masih muda usia JPO itu, kalau nggak salah dibangun sekira akhir tahun 2013 deh dan proses pembangunan itu dilakukan di malam hari. Lho, dari mana saya tahu ?
Kebetulan pada tahun JPO itu dibangun, saya masih ngekost di Jalan Ahmad Yani dan letak kost-an saya – hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari JPO. Jadi saya bisa melihat atau bekennya saksi mata pembangunan JPO tadi.
Mencari tempat teduh, saya putuskan berdiri di bawah JPO yang ada bayangannya. Saya cuek saja walau ada anak-anak SMP juga berkumpul disitu. Fokus saya kepada si BRT. “Kenapa lama sekali sih ?!” Umpat saya dalam hati. Bahkan setelah hampir 30 menit, si BRT masih belum tampak juga.
Di tengah suasana reseh ini – mata saya teralihkan oleh lelaku dua bocah SD. Bocah yang satu mengenakan seragam kaus olahraga; dan bocah kedua  mengenakan seragam pramuka; serta kedua bocah ini berjenis kelamin cowok. Saya nggak sempat bertanya kelas berapa kepada mereka berdua. Lantaran saya kadung dibuat kesal dan prihatin dengan apa yang mereka lakukan.
Beberapa menit kemudian – saya lihat keduanya memegang seperti pita kaset di tangan mereka. Pita kaset itu lantas mereka ikatkan pada sebuah plastik berisi es batu. Sepertinya plastik es batu itu bekas minuman limun atau sari tebu.
Tak lama setelah diikat, pita kasetnya putus. Wajarlah. Tapi yang bikin saya penasaran ialah tujuan dua siswa SD tadi melakukan hal itu. Jangan-jangan… Maka bertanyalah saya kepada seorang di antara mereka, “Dek, kok plastiknya diikat ? Memang mau buat apa ?”
Kedua siswa itu tidak menjawab, hanya mendongak saja. Akhirnya saya tanya lagi, “Mau buat main ya ? Dijatuhkan dari atas (JPO) ?” Mereka berdua menggangguk dengan senyum gembira.
Astaga ! Saya berguman dalam hati dan spontan melarang mereka melakukan itu. “Jangan !” Kata saya. “Kamu berdua main begitu membahayakan orang. Kalau kamu menjatuhkan kantung itu ke tengah jalan dari atas (JPO) terus pengendara mobil yang kena jadi kaget dan ngerem mendadak, bisa terjadi tabrakan beruntun lho,” Lanjut saya.
Kedua siswa tadi akhirnya urung melakukan niatan mereka menjatuhkan plastik es batu ke tangah jalan. Belakangan saya tanya lagi kepada dua siswa itu. Rupanya mereka telah sering melakukan hal itu sebelumnya. Ya Tuhan ! Apa guru dan orang tua siswa tersebut, juga kakak (kalau punya) tidak pernah mengajarkan kepada dua siswa tadi mengenai JPO adalah fasilitas untuk menyeberang jalan ? Bukan fasilitas atau tempat untuk bermain ?
Tak berapa lama, BRT yang saya maksud – datang. Segera saya lambaikan tangan untuk menyetop. Sesampainya di perpusda, usai menitipkan tas – saya mencari tempat duduk yang berdekatan dengan AC. Supaya adem ! Terus terang, saya masih diliputi kesal dan prihatin dengan pemandangan yang baru saya alami ini. Hati kecil saya terus bertanya kemana sih guru-guru dua siswa tadi ? Apa saja sih yang diajarkan oleh para guru itu kepada siswanya ?
Sungguh saya prihatin – terlebih bila mengingat bahwa pendidikan sekarang, katanya makin canggih; baik dari sisi kurikulum, metode pengajaran dan sebagainya. Pokoknya wah lah ! Berkat yang canggih-canggih itu pula jangan heran biaya sekolah meroket setinggi langit – terlepas itu di sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Namun dengan segala kecanggihan yang dilabelkan pada dunia pendidikan kita – ternyata pengetahuan berlalu lintas yang sederhana (JPO) – para siswanya gagal paham !
Saya menduga para guru mengajarkannya melalui teori dalam kelas saja. Mereka (guru) tidak pernah mengajarkan secara langsung kepada siswa melalui praktek atau pendampingan. Pernah sekali saya melihat guru di SD yang tepat berada di bawah JPO – seenaknya saja menyeberang jalan. Ibu guru ini turun dari angkot di sisi kiri jalan. Lalu dengan santainya menyeberang jalan menuju ke sekolah tempatnya mengajar. Padahal disitu ada JPO dan idealnya si ibu guru menyeberang jalan dengan menggunakan JPO – sekaligus memberi teladan bagi anak didiknya.
Kalau dia tidak menyeberang melalui JPO, lantas untuk apa JPO tersebut dibangun disitu ? Hanya sebagai pemanis atau memenuhi kaidah kota ramah pejalan kaki ? Entahlah !
Selain guru, peranan orang tua siswa pun tak dapat dipisahkan. Terkadang terpikir, apakah para ortu siswa-nya itu tak pernah terbersit rasa khawatir membiarkan anaknya yang masih berstatus pelajar SD itu pulang dari sekolah sendiri ? Jika letak sekolah jauh dari jalan raya- saya masih mahfumi. Tetapi ini, letak sekolahannya tepat disisi jalan raya yang padat lalu lintas berbagai kendaraan – bahkan truk tronton pun lewat jalan tersebut. Memang, katanya di zaman serba modern ini para ortu lebih sibuk mencari nafkah ketimbang memperhatikan anak. Yah, apalagi kalau bukan biaya hidup yang semakin tinggi. Akan tetapi itu kan anak (kita) ! Anak yang kalau orang religius bilang titipan atau berkah dari Sang Ilahi atau kalau orang sekuler bilang “harta” tak ternilai. Jadi seharusnya dampingilah mereka sebaik-baiknya. Sederhana toh !
Setelah melihat keprihatinan dari aksi dua anak SD yang mengganggap JPO sebagai tempat bermain. Saya rasa ada baiknya perlu dilakukan survei dan pemetaan dulu sebelum membangun sekolah. Lokasi terbaik suatu sekolah dalam pandangan saya – idealnya berada di pinggiran kota atau kompleks perumahan. Pasalnya dengan berlokasi di pinggiran kota – tingkat kebisingan yang berasal dari suara lalu lalang kendaraan bermotor. Praktis kondisi yang lebih adem ayem ini lebih kondusif bagi proses KBM siswa.
Siswa juga lebih sehat karena terhindar dari kondisi berdebu dan polutan asap kendaraan bermotor. Sekolah yang dibangun di daerah pinggiran turut membantu mengurangi kemacetan kota. Saya kerap memperhatikan saat jam-jam masuk atau pulang sekolah. Angkot kerap ngetem untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang merupakan pelajar di sekolahan tersebut. Tak hanya satu dua angkot saja, melainkan banyak dan akhirnya memicu kemacetan lalu lintas di jalan depan sekolahan. Waktu perjalanan pun akhirnya molor, dari 30 menit menjadi satu jam. Sayang banget waktu terbuang percuma hanya untuk hal sepele begini !


Tulisan ini juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina
Atau Facebook Sycarita Karina Lin

Sabtu, 27 Juni 2015

Bandar Lampung Menjadi Kota Cerdas dan Mandiri, Mungkinkah ?

Selamat kepada Kota Bandar Lampung yang pada tanggal 18 Juni ini merayakan hari jadinya ke-333 tahun ! Menjadi spesial karena di hari jadi tahun ini – bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1436 H. Secara hitung-hitungan kalender, jarang-jarang momentum seperti ini terjadi (hari jadi kota dan awal bulan puasa berbarengan).
Sedangkan secara angka, berbanggalah kita. Sebab rupanya Kota Bandar Lampung nan tercinta ini telah berusia lebih dari tiga abad. Artinya jelas bahwa kota berjuluk tapis berseri ini bukanlah kota kemarin sore. Mengingat pula status atau posisi Kota Bandar Lampung yang bukan sekedar kota biasa, melainkan ibukota provinsi atau pusat kota dari Provinsi Lampung.
Menurut saya, idealnya dari sebuah kota tua (yang maju dan terus berkembang serta kaya pengalaman) sekaligus sebagai ibukota (pusat pemerintahan, perekonomian dan perdagangan) ialah tertib dari sisi kehidupan masyarakatnya. Akses transportasi publik yang mudah dan terkelola secara baik serta terjangkau ongkosnya.; dan pelayanan publiknya profesional. Lantas bagaimana dengan Bandar Lampung kita ? Sudahkah demikian ?

Antara Biarpet, Macet dan Gagalnya BRT
Percaya nggak, satu hari menjelang HUT Kota Bandar Lampung ke-333, kota ini dilanda dua kali mati lampu dalam sehari (subuh dan sore tanggal 17 Juni kalau di tempat saya). Terkait dengan apa penyebab mati lampu, saya tak tahu kenapa. Toh sudah menjadi rahasia umum bila Bandar Lampung kerap mengalami biarpet. Malah bisa dibikin parodi; jika tempat tinggal Anda tidak sering mengalami biarpet, maka pasti Anda tinggal di Jakarta. Jika tempat tinggal Anda sering mengalami byarpet maka artinya Anda pasti tinggal di Bandar Lampung. Versi lain ? Anda belumlah menjadi warga Bandar Lampung bila belum mengalami biarpet hingga berbulan-bulan.
Selain tak tahu apa penyebabnya, saya juga tidak tertarik mengetahuinya. Paling-paling dalih klasik yang digunakan oleh PLN untuk menjawab keluhan persoalan biarpet ini; sedang ada maintenance di PLTA anu, debit air yang surut dikarenakan memasuki musim kemarau; ada gardu listrik yang terbakar atau mengalami kerusakan – yang intinya menolak disalahkan dan warga dituntut selalu memaklumi.
Sebelas dua belas, pihak pemerintah kota (pemkot) Bandar Lampung juga demikian. Pada akhirnya terjadilah saling lempar tanggung jawab dan kesalahan di antara kedua perwakilan pemerintah ini. Tinggalah warga Kota Bandar Lampung yang gigit jari meratapi nasibnya tinggal di kota yang rajin biarpet. Mereka (para warga kota) ibarat pasien yang harus menegak obat dari dokter dengan dosis tiga kali dalam sehari.
Lalu, sudah menjadi rahasia umum juga bila lalu lintas Kota Bandar Lampung selalu mengalami kemacetan. Titik-titik kemacetan ini nampak sekali di jalan-jalan protokoler kota semisal Jalan Raden Inten, Jalan R.A. Kartini, Jalan Teuku Umar – tepatnya di pagi dan sore hari – yang merupakan jam-jam berangkat kantor atau sekolah dan pulang kantor atau sekolah. Berdasarkan catatan dari Dirjen Perhubungan Darat, pada 2007 di Bandar Lampung terdapat 921.521 unit sepeda motor dan 73.272 unit mobil penumpang. Jumlah ini bertambah signifikan di 2010, dimana menurut catatan Dipenda ada pertambahan kepemilikan sepeda motor di Bandar Lampung sebanyak 327.180 unit (hingga Maret 2010) dan pertambahan 99.498 unit untuk kendaraan roda empat (Tribunnews Palembang, 11 Oktober 2010). Data di atas menunjukkan kendaraan di Bandar Lampung didominasi oleh kendaraan beroda dua (motor). Sementara luas jalan di Kota Bandar Lampung hanya 3670 kilometer (jalan arteri). Jelas ini tidak sebanding. Meskipun ada pertambahan lebar ruas jalan, kenyataannya tidaklah mengurangi kemacetan yang terjadi.
Pemkot lantas memutuskan membangun jalan layang/ flyover di sejumlah titik Kota Bandar Lampung. Pembangunan flyover difokuskan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas kota sekaligus menambah kilometer jalan kota. Sampai saat ini telah ada tiga flyover yang beroperasi. Dana pembangunan flyover itu menghabiskan ratusan milyar rupiah. Menurut rencana yang sedang berjalan, ada dua flyover lagi yang saat ini sedang dikerjakan pembangunannya.
Namun beroperasinya flyover tadi jika dilihat dari konteks mengurangi kemacetan, juga tidak mempengaruhi. Sebab kondisionalnya, Kota Bandar Lampung tetap saja macet lalu lintasnya. Alih-alih mengurangi atau mengatasi kemacetan, adanya flyover jadi menimbulkan problem baru. Seperti masalah debu dari tanah proyek flyover; banyak usaha warga (ruko atau toko) yang akhirnya sepi pembeli dan gulung tikar juga lantaran debu-debu tadi kerap berterbangan mengotori tempat usaha mereka.
Langkah lain untuk mengurangi kemacetan kota, dilakukan pula melalui proyek Bus Rapid Transit (BRT). Bus yang dominan berwarna hijau muda berkelir corak tapis Lampung ini diujicobakan pada November 2011 dan resmi beroperasi pada Januari 2012. Pada awal beroperasinya, BRT memiliki trayek yang banyak (kira-kira 10 trayek) dan armada busnya mencapai 250 unit.
Tetapi dalam perjalanannya, BRT mengalami banyak kendala – khususnya dalam pengelolaan finansial. Dalam tahun 2012 hingga awal 2014, telah beberapa kali terjadi pemogokan para karyawan BRT. Pemogokan ini dipicu oleh gaji mereka yang belum dibayarkan oleh manajemen BRT. Sebagaimana diketahui, BRT menganut sistem patungan swasta murni dalam operasionalnya. Tetapi pemkot sebagai regulatornya. Sistem swasta murni ini awalnya digadang-gadang sekali sebagai konsep yang berbeda. Kenyataannya sistem swasta murni yang diterapkan dalam operasional BRT, malah menjadi bumerang. Ada kalanya atau sering satu bus sepi penumpang dan trayek-trayek yang telah dibuat, tidak mampu menjaring penumpang seperti yang ditargetkan.
Imbasnya, pemasukan BRT tidak stabil dan inilah salah satu penyebab keterlambatan pembayaran gaji. Belum lagi pihak BRT harus melunasi hutang karena armada bus yang mereka ambil dari diler – jumlahnya banyak sekali.

Menuju Kota Mandiri dan Cerdas
Blog jurnalisme warga – Kompasiana – di beberapa bulan lalu pernah mengangkat tema soal kota cerdas di Indonesia. Disebutkan bahwa ukuran yang baik adalah kota yang mampu memberikan kenyamanan bagi penduduknya, kota tersebut wajib memiliki sirkulasi yang baik yang artinya penghuni kota dapat berpindah tempat menggunakan transportasi publik yang baik tanpa hambatan. Proses sanitasi ataupun drainase menjadi ukuran penting seberapa jauh sebuah kota bisa dikategorikan sebagai kota yang baik atau kota yang cerdas bagi penduduknya.
Lebih lanjut, ukuran kota cerdas adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk menunjang operasionalnya dan diharapkan bisa membantu perkembangan kota secara signifikan. Ada tiga faktor yang menjadi penilaian kota yang cerdas; cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial dan cerdas secara lingkungan (Kompasiana.com). Bercermin dari tiga indikator kota cerdas tadi – saya yakin bahwa kita sebagai warga Bandar Lampung bisa menilai sendiri apakah kota kita termasuk sebagai kota cerdas atau tidak ? Secara pribadi, saya mengatakan tidak karena memang faktanya demikian. Indikator sebuah kota cerdas masih belum dimiliki oleh Kota Bandar Lampung.
Saya – dengan mendasarkan pada realitas – memandang pemerintahan di kota tapis berseri ini bukanlah part of solution. Sebaliknya part of problem dan berlaku tak hanya untuk pemerintahan yang sekarang. Memang ada beberapa program yang dalam penilaian saya cukup baik – telah diterapkan selama kepala daerah yang sekarang bersama jajarannya menjabat. Misalnya membuat program kerjasama dengan rumah sakit di Bandar Lampung dalam hal layanan persalinan gratis; program biling (bina lingkungan) yang ditujukan untuk pembiayaan sekolah siswa tak mampu namun berrestasi (walau dari info yang beredar, program biling ini juga diselewengkan oleh oknum tertentu), pihak pemkot juga konsisten dalam menjaga kebersihan dan keindahan Kota Bandar Lampung, dan lain-lain.
Hanya saja untuk persoalan-persoalan yang lingkupnya lebih besar (tiga yang sebelumnya telah saya sebutkan sebelumnya: listrik, transportasi dan kemacetan) – pemerintah kita masih belum mampu. Sebenarnya jika saja pemerintah setempat kreatif dan (terutama) tidak antikritik – bisa menyiasati problem-problem yang menghimpit kota kita. Ketimbang ribut, saling lempar tanggung jawab atau kesalahan (yang menimbulkan persepsi negatif kinerja dari dua perwakilan pemerintah) – pemkot bersama instansi yang terkait bisa membuat kebijakan rumah harus berpanel solar sehingga listrik warga dapat dipasok mandiri tanpa sepenuhnya bergantung pada PLN. Sudah jadi rahasia umum bila PLN Lampung memang selalu kekurangan pasokan listrik dan mereka selama ini dibantu oleh PLN dari provinsi tetangga kita (Palembang).
Pemkot bisa saja bekerjasama dengan pihak Universitas Lampung (Unila) karena pernah saya baca di sebuah media cetak lokal, ada dosen PTN itu yang berhasil mengembangkan panel solar penangkap energi matahari.
Begitupun guna membatasi kemacetan dan pembenahan transportasi publik Kota Bandar Lampung. Bisa saja pemkot bersama instansi samsat menerapkan pajak progresif bagi pemilik kendaraan pribadi yang memiliki mobil atau motor lebih dari satu unit. Sedangkan bagi pengguna angkutan umum – dalam hal ini BRT – diberikan subsidi sehingga tarifnya murah atau terjangkau di kantong masyarakat Kota Bandar Lampung. BRT pun harus dibenahi untuk kemudian dikelola secara serius dan profesional – khususnya operasional para awak BRT. Cukup sering saya mengalami pemandangan tidak menyenangkan ketika menumpang BRT. Ada kalanya sopir BRT menyetir sambil merokok, pakaiannya tidak rapih, bau dan bersandal jepit, ugal-ugalan pula.
Selain itu, guna mengurangi polusi udara dari kendaraan bermotor dan konsumsi bbm – pemkot setempat dapat membuat jalur hijau yang dikhusukan bagi sepeda atau alat transpotasi non bbm (termasuk becak). Pasti akan berimbas positif bagi warga kota ini apabila jalur hijau tadi sungguh direalisasikan.
Saya berangan-angan Kota Bandar Lampung yang tercinta ini bisa menjadi kota cerdas bahkan kota mandiri. Apakah angan yang muluk ? Kita lihat saja. (Tulisan ini dimuat dalam SKH Fajar Sumatera edisi Rabu, 25 Juni 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog www.kompasiana.com/linkarina atau facebook Sycarita Karina Lin