Selamat kepada
Kota Bandar Lampung yang pada tanggal 18 Juni ini merayakan hari jadinya ke-333
tahun ! Menjadi spesial karena di hari jadi tahun ini – bertepatan dengan awal
bulan Ramadhan 1436 H. Secara hitung-hitungan kalender, jarang-jarang momentum
seperti ini terjadi (hari jadi kota dan awal bulan puasa berbarengan).
Sedangkan
secara angka, berbanggalah kita. Sebab rupanya Kota Bandar Lampung nan tercinta
ini telah berusia lebih dari tiga abad. Artinya jelas bahwa kota berjuluk tapis
berseri ini bukanlah kota kemarin sore. Mengingat pula status atau posisi Kota
Bandar Lampung yang bukan sekedar kota biasa, melainkan ibukota provinsi atau
pusat kota dari Provinsi Lampung.
Menurut saya,
idealnya dari sebuah kota tua (yang maju dan terus berkembang serta kaya
pengalaman) sekaligus sebagai ibukota (pusat pemerintahan, perekonomian dan
perdagangan) ialah tertib dari sisi kehidupan masyarakatnya. Akses transportasi
publik yang mudah dan terkelola secara baik serta terjangkau ongkosnya.; dan
pelayanan publiknya profesional. Lantas bagaimana dengan Bandar Lampung kita ?
Sudahkah demikian ?
Antara
Biarpet, Macet dan Gagalnya BRT
Percaya nggak,
satu hari menjelang HUT Kota Bandar Lampung ke-333, kota ini dilanda dua kali
mati lampu dalam sehari (subuh dan sore tanggal 17 Juni kalau di tempat saya).
Terkait dengan apa penyebab mati lampu, saya tak tahu kenapa. Toh sudah menjadi
rahasia umum bila Bandar Lampung kerap mengalami biarpet. Malah bisa dibikin
parodi; jika tempat tinggal Anda tidak sering mengalami biarpet, maka pasti Anda
tinggal di Jakarta. Jika tempat tinggal Anda sering mengalami byarpet maka
artinya Anda pasti tinggal di Bandar Lampung. Versi lain ? Anda belumlah
menjadi warga Bandar Lampung bila belum mengalami biarpet hingga
berbulan-bulan.
Selain tak
tahu apa penyebabnya, saya juga tidak tertarik mengetahuinya. Paling-paling
dalih klasik yang digunakan oleh PLN untuk menjawab keluhan persoalan biarpet
ini; sedang ada maintenance di PLTA
anu, debit air yang surut dikarenakan memasuki musim kemarau; ada gardu listrik
yang terbakar atau mengalami kerusakan – yang intinya menolak disalahkan dan
warga dituntut selalu memaklumi.
Sebelas dua
belas, pihak pemerintah kota (pemkot) Bandar Lampung juga demikian. Pada
akhirnya terjadilah saling lempar tanggung jawab dan kesalahan di antara kedua perwakilan
pemerintah ini. Tinggalah warga Kota Bandar Lampung yang gigit jari meratapi
nasibnya tinggal di kota yang rajin biarpet. Mereka (para warga kota) ibarat
pasien yang harus menegak obat dari dokter dengan dosis tiga kali dalam sehari.
Lalu, sudah
menjadi rahasia umum juga bila lalu lintas Kota Bandar Lampung selalu mengalami
kemacetan. Titik-titik kemacetan ini nampak sekali di jalan-jalan protokoler
kota semisal Jalan Raden Inten, Jalan R.A. Kartini, Jalan Teuku Umar – tepatnya
di pagi dan sore hari – yang merupakan jam-jam berangkat kantor atau sekolah
dan pulang kantor atau sekolah. Berdasarkan catatan dari Dirjen Perhubungan
Darat, pada 2007 di Bandar Lampung terdapat 921.521 unit sepeda motor dan
73.272 unit mobil penumpang. Jumlah ini bertambah signifikan di 2010, dimana
menurut catatan Dipenda ada pertambahan kepemilikan sepeda motor di Bandar
Lampung sebanyak 327.180 unit (hingga Maret 2010) dan pertambahan 99.498 unit
untuk kendaraan roda empat (Tribunnews Palembang, 11 Oktober 2010). Data di
atas menunjukkan kendaraan di Bandar Lampung didominasi oleh kendaraan beroda
dua (motor). Sementara luas jalan di Kota Bandar Lampung hanya 3670 kilometer
(jalan arteri). Jelas ini tidak sebanding. Meskipun ada pertambahan lebar ruas
jalan, kenyataannya tidaklah mengurangi kemacetan yang terjadi.
Pemkot lantas
memutuskan membangun jalan layang/ flyover di sejumlah titik Kota Bandar
Lampung. Pembangunan flyover difokuskan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas
kota sekaligus menambah kilometer jalan kota. Sampai saat ini telah ada tiga
flyover yang beroperasi. Dana pembangunan flyover itu menghabiskan ratusan
milyar rupiah. Menurut rencana yang sedang berjalan, ada dua flyover lagi yang
saat ini sedang dikerjakan pembangunannya.
Namun
beroperasinya flyover tadi jika dilihat dari konteks mengurangi kemacetan, juga
tidak mempengaruhi. Sebab kondisionalnya, Kota Bandar Lampung tetap saja macet
lalu lintasnya. Alih-alih mengurangi atau mengatasi kemacetan, adanya flyover
jadi menimbulkan problem baru. Seperti masalah debu dari tanah proyek flyover;
banyak usaha warga (ruko atau toko) yang akhirnya sepi pembeli dan gulung tikar
juga lantaran debu-debu tadi kerap berterbangan mengotori tempat usaha mereka.
Langkah lain
untuk mengurangi kemacetan kota, dilakukan pula melalui proyek Bus Rapid
Transit (BRT). Bus yang dominan berwarna hijau muda berkelir corak tapis
Lampung ini diujicobakan pada November 2011 dan resmi beroperasi pada Januari
2012. Pada awal beroperasinya, BRT memiliki trayek yang banyak (kira-kira 10
trayek) dan armada busnya mencapai 250 unit.
Tetapi dalam
perjalanannya, BRT mengalami banyak kendala – khususnya dalam pengelolaan
finansial. Dalam tahun 2012 hingga awal 2014, telah beberapa kali terjadi
pemogokan para karyawan BRT. Pemogokan ini dipicu oleh gaji mereka yang belum
dibayarkan oleh manajemen BRT. Sebagaimana diketahui, BRT menganut sistem
patungan swasta murni dalam operasionalnya. Tetapi pemkot sebagai regulatornya.
Sistem swasta murni ini awalnya digadang-gadang sekali sebagai konsep yang
berbeda. Kenyataannya sistem swasta murni yang diterapkan dalam operasional
BRT, malah menjadi bumerang. Ada kalanya atau sering satu bus sepi penumpang
dan trayek-trayek yang telah dibuat, tidak mampu menjaring penumpang seperti
yang ditargetkan.
Imbasnya,
pemasukan BRT tidak stabil dan inilah salah satu penyebab keterlambatan
pembayaran gaji. Belum lagi pihak BRT harus melunasi hutang karena armada bus
yang mereka ambil dari diler – jumlahnya banyak sekali.
Menuju
Kota Mandiri dan Cerdas
Blog jurnalisme
warga – Kompasiana – di beberapa bulan lalu pernah mengangkat tema soal kota
cerdas di Indonesia. Disebutkan bahwa ukuran yang baik adalah kota yang mampu
memberikan kenyamanan bagi penduduknya, kota tersebut wajib memiliki sirkulasi
yang baik yang artinya penghuni kota dapat berpindah tempat menggunakan
transportasi publik yang baik tanpa hambatan. Proses sanitasi ataupun drainase
menjadi ukuran penting seberapa jauh sebuah kota bisa dikategorikan sebagai
kota yang baik atau kota yang cerdas bagi penduduknya.
Lebih lanjut,
ukuran kota cerdas adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk
menunjang operasionalnya dan diharapkan bisa membantu perkembangan kota secara
signifikan. Ada tiga faktor yang menjadi penilaian kota yang cerdas; cerdas
secara ekonomi, cerdas secara sosial dan cerdas secara lingkungan (Kompasiana.com). Bercermin dari tiga
indikator kota cerdas tadi – saya yakin bahwa kita sebagai warga Bandar Lampung
bisa menilai sendiri apakah kota kita termasuk sebagai kota cerdas atau tidak ?
Secara pribadi, saya mengatakan tidak karena memang faktanya demikian.
Indikator sebuah kota cerdas masih belum dimiliki oleh Kota Bandar Lampung.
Saya – dengan
mendasarkan pada realitas – memandang pemerintahan di kota tapis berseri ini
bukanlah part of solution. Sebaliknya
part of problem dan berlaku tak hanya
untuk pemerintahan yang sekarang. Memang ada beberapa program yang dalam
penilaian saya cukup baik – telah diterapkan selama kepala daerah yang sekarang
bersama jajarannya menjabat. Misalnya membuat program kerjasama dengan rumah
sakit di Bandar Lampung dalam hal layanan persalinan gratis; program biling
(bina lingkungan) yang ditujukan untuk pembiayaan sekolah siswa tak mampu namun
berrestasi (walau dari info yang beredar, program biling ini juga diselewengkan
oleh oknum tertentu), pihak pemkot juga konsisten dalam menjaga kebersihan dan
keindahan Kota Bandar Lampung, dan lain-lain.
Hanya saja
untuk persoalan-persoalan yang lingkupnya lebih besar (tiga yang sebelumnya
telah saya sebutkan sebelumnya: listrik, transportasi dan kemacetan) –
pemerintah kita masih belum mampu. Sebenarnya jika saja pemerintah setempat
kreatif dan (terutama) tidak antikritik – bisa menyiasati problem-problem yang
menghimpit kota kita. Ketimbang ribut, saling lempar tanggung jawab atau
kesalahan (yang menimbulkan persepsi negatif kinerja dari dua perwakilan
pemerintah) – pemkot bersama instansi yang terkait bisa membuat kebijakan rumah
harus berpanel solar sehingga listrik warga dapat dipasok mandiri tanpa
sepenuhnya bergantung pada PLN. Sudah jadi rahasia umum bila PLN Lampung memang
selalu kekurangan pasokan listrik dan mereka selama ini dibantu oleh PLN dari
provinsi tetangga kita (Palembang).
Pemkot bisa
saja bekerjasama dengan pihak Universitas Lampung (Unila) karena pernah saya
baca di sebuah media cetak lokal, ada dosen PTN itu yang berhasil mengembangkan
panel solar penangkap energi matahari.
Begitupun guna
membatasi kemacetan dan pembenahan transportasi publik Kota Bandar Lampung.
Bisa saja pemkot bersama instansi samsat menerapkan pajak progresif bagi
pemilik kendaraan pribadi yang memiliki mobil atau motor lebih dari satu unit.
Sedangkan bagi pengguna angkutan umum – dalam hal ini BRT – diberikan subsidi
sehingga tarifnya murah atau terjangkau di kantong masyarakat Kota Bandar
Lampung. BRT pun harus dibenahi untuk kemudian dikelola secara serius dan
profesional – khususnya operasional para awak BRT. Cukup sering saya mengalami
pemandangan tidak menyenangkan ketika menumpang BRT. Ada kalanya sopir BRT
menyetir sambil merokok, pakaiannya tidak rapih, bau dan bersandal jepit,
ugal-ugalan pula.
Selain itu,
guna mengurangi polusi udara dari kendaraan bermotor dan konsumsi bbm – pemkot
setempat dapat membuat jalur hijau yang dikhusukan bagi sepeda atau alat
transpotasi non bbm (termasuk becak). Pasti akan berimbas positif bagi warga
kota ini apabila jalur hijau tadi sungguh direalisasikan.
Saya
berangan-angan Kota Bandar Lampung yang tercinta ini bisa menjadi kota cerdas
bahkan kota mandiri. Apakah angan yang muluk ? Kita lihat saja. (Tulisan ini dimuat dalam SKH Fajar Sumatera edisi Rabu, 25 Juni 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog www.kompasiana.com/linkarina atau facebook Sycarita Karina Lin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar