Rabu, 25 Juni 2014

Bus ‘Ribet Tenan’



Kisruh BRT terjadi lagi, yang ditandai dengan aksi mogok karyawannya mulai hari Senin, 21 Januari lalu. Entah hingga kapan aksi mogok ini akan berlangsung, sebab sampai dengan Kamis (24/1) bus yang dominan berwarna hijau ini terlihat jarang berhilir mudik di Kota Bandar Lampung. Alasan mogok awak BRT masih sama dengan penyebab mereka mogok dalam bulan Desember lalu. Yakni persoalan gaji yang belum dibayarkan oleh pihak konsorsium Trans-Bandar Lampung.
Pihak Trans-Bandar Lampung yang selama ini kerap berkilah pada saat didemo soal gaji, kali ini pada akhirnya menyerah dengan mengakui bahwa mereka memang menunggak membayar gaji karyawannya. Pihak manajeman tidak mampu membayar tunggakan gaji karyawannya selama dua bulan sebesar Rp 1,8 miliar.
Utang Rp 1,8 miliar itu bukanlah nominal yang sedikit. Terutama lagi bila kita mengingat betapa keberadaan BRT Trans-Bandar Lampung barulah seumur jagung dan betapa selama bus hijau ini beroperasi sangat dianakemaskan.

Praktek Cuci Tangan
Menarik sekaligus menyedihkan, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab malah melakukan praktek cuci tangan. Beberapa kali pihak manajemen Trans Bandar Lampung menyatakan bahwa penyebab kerugian karena ada kebocoran pendapatan operasional yang dilakukan oleh awak BRT. Padahal jika kita telusuri, kita menemukan bahwa pihak manajemen memang sudah salah langkah semenjak awal.
Contohnya terlalu percaya diri menambah rute koridor yang ada hanya dalam waktu beberapa bulan. Dalam blog yang ditulis oleh Ilham Malik (salah seorang staf ahli Walikota Bandar Lampung), dengan kebangggan luar biasa menulis “dalam tempo 5 bulan, yaitu sekitar April, BRT Bandar Lampung sudah memiliki 7 koridor (trayek) dengan jumlah armada beroperasi hingga saat ini mencapai 180 unit”.
Kentara sekali bahwa intensnya pembukaan koridor baru itu hanya mengejar kuantitas, bukan kualitas. Kuantitas bahwa dalam waktu singkat sudah banyak koridor (ditambah non sibsidi)). Tampaknya pihak manajemen Trans-Bandar Lampung kelewat percaya diri sehingga berani terus menambah armada BRT (sekarang sekitar 250 unit) dan merekrut awak dalam jumlah banyak. Semakin parah, perekrutan awak BRT bukan direkrut dari para supir angkot, tetapi dari awak PO bus.
Sementara pihak Pemerintah Kota (pemkot) Bandar Lampung lepas tangan dengan sepenuhnya menyalahkan pihak manajemen Trans-Bandar Lampung. Dalih yang dipakai ialah Trans-Bandar Lampung melakukan salah kelola dan sebagainya-dan sebagainya yang sampai mengakibatkan pihak manajeman Trans memiliki hutang sebsar RP 1,8 miliar dan terancam gulung tikar.
Padahal, Pemkot juga punya andil dalam memuluskan dimulainya operasional BRT. MoU yang diteken oleh pihak Trans Bandar Lampung itu kan kesepakatannya dibuat bersama Pemkot. Pemkot pula yang menjadi regulator dari operasional BRT.

Tanggung Jawab Bersama
Saya pikir kisruh BRT ini merupakan tanggung jawab bersama. Sudah bukan saatnya saling menyalahkan dan melakukan praktek cuci tangan. Bagi Trans-Bandar Lampung, satu-satunya langkah paling realistis dan bijak pada saat ini ialah dengan menjual armada BRT yang sudah dibeli.
Koridor yang ada, yang telah dibuka harus dikurangi dan lakukan kajian ulang menyangkut operasionalnya, semisal sistem ticketing, SDM di lapangan, rute, pembangunan halte dan tak luput ialah jenis BBM yang digunakan serta ukuran bus yang beroperasi.
Bagi pihak Pemkot, okelah telah memberi dana talangan Rp 1 miliar untuk membayar (sementara waktu) tunggakan gaji para awak BRT. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah dan seharusnya bisa lebih dari itu, yakni dengan memberi subsidi.
Memang Walikota Herman HN kerap berujar tak akan menyubsidi BRT, dilatarbelakangi oleh a) dalam kesepakatan MoU telah disebut tidak ada subsidi dan b) Pemkot tidak memiliki dana yang cukup.
Okelah, itu juga masih bisa diterima. Namun pihak pemkot ada baiknya belajar dari kasus Trans-Semarang. Saya tidak tahu apakah pada awal diluncurkannya, Trans-Semarang juga menggusung konsep BRT nonsubsidi.
Hanya saja setelah beropersional beberapa bulan, Trans-Semarang mengalami kerugian. Walikota Semarang, Sukarwi Sutarip pada awalnya bersikukuh menolak tak mau menyubsidi Trans Semarang dengan dalih (versinya) pihak swasta (operator Trans-Semarang) seharusnya dapat memperoleh keuntungan
Walau entah apa penyebabnya, untunglah Sukarwi (beberapa bulan kemudian) berubah pikiran dan bersedia menyubsidi Trans-Semarang. Walikota Bandar Lampung tentu bisa memetik hikmah dari kasus Trans-Semarang ini. Sekaligus juga mengulang pernyataan dari Christiono dalam Diskusi Publik yang difasilitasi Instran mengenai pengembangan BRT Bandar Lampung bulan Februari 2012 lalu, “BRT tanpa subsidi pasti mati.” (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 31 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar