Rabu, 25 Juni 2014

BRT: Mati Enggan, Hidup pun Segan



Nasib BRT Kota Bandar Lampung kembali digantung. Hal ini dipicu oleh pernyataan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung yang mengultimatum pihak Konsorsium Trans Bandar Lampung supaya menyelesaikan permasalahan keuangan mereka dalam tempo satu bulan. Melengkapi ultimatum tersebut, Walikota Herman HN menyatakan apabila sampai satu bulan mendatang Trans Bandar Lampung gagal menyelesaikan masalah keuangannya maka Pemkot Bandar Lampung akan menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain (Lampung Post, Selasa 19/2).
Sebagai warga, kita tentu menyambut baik ultimatum yang dikeluarkan oleh Walikota Herman HN. Setidaknya (melalui ultimatum itu) tersirat ada itikad baik dari pemkot untuk mempertahankan keberadaan angkutan umum tersebut tetap beroperasi di Kota Tapis Berseri ini. Namun bersamaan dengan itu, ultimatum tersebut sebenarnya juga merupakan sebuah blunder bagi pihak Pemkot Bandar Lampung dan Konsorsium Trans Bandar Lampung.

Di mana Blundernya ?
Mari kita cermati lagi pernyataan dari Pemkot Bandar Lampung (dan Walikota Herman HN). Ultimatum yang mereka nyatakan ialah memberi tenggat waktu satu bulan bagi pihak Konsorsium Trans Bandar Lampung untuk menyelesaikan masalah keuangan dan kalau gagal maka pemkot akan menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain.
Pernyataan pemkot yang bagian akhir itulah yang merupakan blunder bagi pihak Pemkot Bandar Lampung. Melalui pernyataan tersebut, terlihat sekali betapa pemkot tidak peduli sepenuh hati dengan kepentingan warganya dalam mengupayakan hal transportasi publik. Inisiatif pemkot yang (akan) mengoper operasional BRT ke pengusaha lain sebenarnya menunjukkan bahwa keberadaan BRT hanya bagian dari bisnis semata, bukan diusahakan sebagai suatu bentuk kesadaran dan kepedulian untuk melayani kepentingan warga dalam hal moda transportasi publik dalam kota.
Sedangkan bagi pihak Trans Bandar Lampung, blunder ini tampak melalui ultimatum yang dikeluarkan oleh pemkot setempat. Maksudnya begini; BRT Trans Bandar Lampung telah beroperasi selama satu tahun (mulai Desember 2011), selama beroperasi, BRT telah sangat dianakemaskkan (tidak membayar retribusi, menggusur Damri dan angkot dan lain-lain). Nyatanya, BRT malah bermasalah keuangannya.

Solusi Galau
Dalam Tajuk Lampung Post (Kamis, 20 Februari 2013) disebutkan pemkot dapat mempertimbangkan kembali peran Damri dalam mengelola BRT. Namun jika memang pemkot sungguh menindaklanjuti wacana ini, merupakan suatu ironisitas. Sebab ketika awal program BRT digelontorkan telah ada wanti-wanti supaya keberadaan BRT tidak boleh menggusur Damri yang sudah melayani warga Lampung selama lebih dari 30 tahun.
Dalam Diskusi Publik Pengembangan BRT Bandar Lampung yang difasilitasi Instran, Christiono dari Kementerian Perhubungan Pusat (Februari 2012) bahkan sudah mengingatkan hal ini. Dia mengatakan Konsorsium Trans Bandar Lampung tidak boleh melupakan sejarah perjuangan Damri dalam melayani mobilitas warga Lampung. Meskipun secara finansial Damri yang melayani warga Bandar Lampung merugi.
Christiono juga mempertanyakan, “Apakah hal yang sama akan dapat dijalankan oleh Konsorsium Trans Bandar Lampung ? Bila tidak, kelak masyarakat Bandar Lampung bisa-bisa tidak terlayani oleh angkutan umum karena angkutan umum seperti Damri telah tergusur, sedangkan BRT Trans Bandar Lampung sudah tidak mampu melayani lagi. Kenyataannya inilah yang sekarang terjadi.
Secara teori, BRT hanya bisa menaikkan dan menurunkan penumpang di halte yang telah tersedia. Namun secara praktek, pakem tersebut diterabas. BRT pun menjadi angkot gaya baru.
Jadi kenapa nanti Pemkot Bandar Lampung tidak menjual BRT secara lelang saja ? Di mana masing-masing peminat, boleh membeli BRT, misalnya maksimal 2 unit per orang. Bukankah dengan cara demikian jauh lebih mudah dan tidak membuat galau ? (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 28 Februari 2013/ Karina Lin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar