Nasib BRT Kota Bandar Lampung kembali
digantung. Hal ini dipicu oleh pernyataan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar
Lampung yang mengultimatum pihak Konsorsium Trans Bandar Lampung supaya
menyelesaikan permasalahan keuangan mereka dalam tempo satu bulan. Melengkapi
ultimatum tersebut, Walikota Herman HN menyatakan apabila sampai satu bulan
mendatang Trans Bandar Lampung gagal menyelesaikan masalah keuangannya maka
Pemkot Bandar Lampung akan menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain (Lampung
Post, Selasa 19/2).
Sebagai warga, kita tentu menyambut baik
ultimatum yang dikeluarkan oleh Walikota Herman HN. Setidaknya (melalui
ultimatum itu) tersirat ada itikad baik dari pemkot untuk mempertahankan keberadaan
angkutan umum tersebut tetap beroperasi di Kota Tapis Berseri ini. Namun
bersamaan dengan itu, ultimatum tersebut sebenarnya juga merupakan sebuah blunder
bagi pihak Pemkot Bandar Lampung dan Konsorsium Trans Bandar Lampung.
Di mana Blundernya ?
Mari kita cermati lagi pernyataan dari
Pemkot Bandar Lampung (dan Walikota Herman HN). Ultimatum yang mereka nyatakan
ialah memberi tenggat waktu satu bulan bagi pihak Konsorsium Trans Bandar
Lampung untuk menyelesaikan masalah keuangan dan kalau gagal maka pemkot akan
menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain.
Pernyataan pemkot yang bagian akhir
itulah yang merupakan blunder bagi pihak Pemkot Bandar Lampung. Melalui
pernyataan tersebut, terlihat sekali betapa pemkot tidak peduli sepenuh hati
dengan kepentingan warganya dalam mengupayakan hal transportasi publik.
Inisiatif pemkot yang (akan) mengoper operasional BRT ke pengusaha lain
sebenarnya menunjukkan bahwa keberadaan BRT hanya bagian dari bisnis semata,
bukan diusahakan sebagai suatu bentuk kesadaran dan kepedulian untuk melayani
kepentingan warga dalam hal moda transportasi publik dalam kota.
Sedangkan bagi pihak Trans Bandar
Lampung, blunder ini tampak melalui ultimatum yang dikeluarkan oleh pemkot
setempat. Maksudnya begini; BRT Trans Bandar Lampung telah beroperasi selama
satu tahun (mulai Desember 2011), selama beroperasi, BRT telah sangat
dianakemaskkan (tidak membayar retribusi, menggusur Damri dan angkot dan
lain-lain). Nyatanya, BRT malah bermasalah keuangannya.
Solusi Galau
Dalam Tajuk Lampung Post (Kamis,
20 Februari 2013) disebutkan pemkot dapat mempertimbangkan kembali peran Damri
dalam mengelola BRT. Namun jika memang pemkot sungguh menindaklanjuti wacana
ini, merupakan suatu ironisitas. Sebab ketika awal program BRT digelontorkan telah
ada wanti-wanti supaya keberadaan BRT tidak boleh menggusur Damri yang sudah
melayani warga Lampung selama lebih dari 30 tahun.
Dalam Diskusi Publik Pengembangan BRT
Bandar Lampung yang difasilitasi Instran, Christiono dari Kementerian
Perhubungan Pusat (Februari 2012) bahkan sudah mengingatkan hal ini. Dia
mengatakan Konsorsium Trans Bandar Lampung tidak boleh melupakan sejarah
perjuangan Damri dalam melayani mobilitas warga Lampung. Meskipun secara
finansial Damri yang melayani warga Bandar Lampung merugi.
Christiono juga mempertanyakan, “Apakah
hal yang sama akan dapat dijalankan oleh Konsorsium Trans Bandar Lampung ? Bila
tidak, kelak masyarakat Bandar Lampung bisa-bisa tidak terlayani oleh angkutan
umum karena angkutan umum seperti Damri telah tergusur, sedangkan BRT Trans
Bandar Lampung sudah tidak mampu melayani lagi. Kenyataannya inilah yang
sekarang terjadi.
Secara teori, BRT hanya bisa menaikkan
dan menurunkan penumpang di halte yang telah tersedia. Namun secara praktek,
pakem tersebut diterabas. BRT pun menjadi angkot gaya baru.
Jadi kenapa nanti Pemkot Bandar Lampung
tidak menjual BRT secara lelang saja ? Di mana masing-masing peminat, boleh
membeli BRT, misalnya maksimal 2 unit per orang. Bukankah dengan cara demikian
jauh lebih mudah dan tidak membuat galau ? (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 28
Februari 2013/ Karina Lin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar