Tinggal menghitung hari saja, milad (hari
jadi) Kota Bandarlampung yang ke 332 diperingati. Namun serangkaian acara guna
perayaan menuju milad pada 17 Juni nanti telah digelar. Semuanya itu terangkum
dalam Begawi Bandarlampung 2014 yang telah diresmikan pembukaannya pada Selasa,
10 Juni 2014 lalu, bertempat di Lapangan Kalpataru, Kemiling, Tanjungkarang
Barat.
Meski diresmikan pada ujung Barat Tanjungkarang
Kota Bandarlampung, ada juga kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian HUT
Kota yang diadakan di daerah pusat kota. Peresmian pembukaan Begawi
Bandarlampung (tentu saja) dilakukan oleh walikota setempat, Herman HN.
Menurutnya, sebagaimana dikutip dari pemberitaan di laman antaranews.com:
even ini dilaksanakan guna mengajak masyarakat berperan aktif bersama untuk
meningkatkan pembangunan di berbagai bidang di kota itu. Artinya termasuk juga
bidang pariwisata.
Sedangkan pejabat dari Dinas Pariwisata
Kota, (dalam pemberitaan yang sama) menyebut bahwa kegiatan ini juga sebagai
motivasi untuk memperbaiki potensi guna menunjang kepariwisataan serta sarana
penyediaan ruang promosi produk lokal serta menarik investor. (antaranews.com,
Rabu, 11 Juni 2014).
Tak ada yang salah dari pernyataan kedua
pejabat kota tadi. Toh memang sudah sewajarnya suatu hajatan rutin tahunan diadakan
dengan tujuan meningkatkan pembangunan di berbagai bidang di kota yang
mengadakannya tak terkecuali memotivasi aspek pariwisatanya. Lihat saja Pekan
Raya Jakarta (PRJ) dan JIExpo Jakarta yang digelar rutin setiap tahun. Selain
diposisikan sebagai bentuk perayaan HUT DKI Jakarta, ditujukan juga untuk
menggaet wisatawan yang entah lokal maupun internasional.
Akan tetapi, bagi saya – pernyataan mengenai
meningkatkan pembangunan dan motivasi pariwisata tadi menarik. Mungkin para
pejabat itu tidak sadar bahwa pernyataan mereka adalah sebuah blunder terhadap pembangunan
dan pariwisata Kota Bandarlampung ? Mengapa Demikian ? Saya punya argumen untuk
menjawabnya.
Pariwisata Kota Bandarlampung ? Banyak !
Saya bangga mengatakan bahwa saya adalah
warga Lampung, yang lahir dan bertumbuh di pusat/ ibukota provinsinya, yakni
Kota Bandarlampung. Saya merekam suka duka selama hidup di kota berjuluk Tapis
Berseri ini dan tanpa canggung (karena menurut saya sebentuk kejujuran positif)
harus saya akui – pengetahuan saya mengenai kota kelahiran dan kehidupan saya,
masih minim.
Mengenai sejarah kotanya, termasuk
tempat-tempat wisatanya. Sehingga tak heran saya pernah terlintas berpikir
kalau Kota Bandarlampung ini “sempit dan minim tempat pariwisata.” Bahkan tanpa
sungkan kepada kenalan, saya akan menjawab “Ya kayak begitu” atau “Ya,
begitu-begitu saja,” jika mereka (kenalan) itu menanyakan gimana Kota
Bandarlampung berikut tempat-tempat menarik yang bisa dijadikan destinasi
wisata selama berkunjung ke sini.
Namun itu dulu, seiiring waktu, saya
mulai mempelajari dan mengenali lebih jauh tentang kota kelahiran saya ini.
Selain juga kerap mencermati media cetak lokal yang cukup sering juga
menurunkan berita berupa interpretatif news atau feature mengenai
tempat menarik di Kota Bandarlampung. Salah satu media cetak lokal tersebut
misalnya Lampung Post yang sekira mulai dari awal tahun 2014
pernah secara rutin menampilkan berita mengenai ini. Kemudian ada
tulisan-tulisan serupa dari sastrawan cum budayawan Lampung Isbedy
Setiawan yang rutin tampil di media online Teraslampung.com. Dari situ,
saya mencatat tempat-tempat yang bernilai sejarah, budaya dan berpotensi wisata
antara lain Taman Hutan Kera Tirtosari di Kelurahan Sumur Batu, bekas Penjara
Lama Lebak Budi di Jalan Imam Bonjol Tanjungkarang (dekat Pasir Gintung), dan
sebagainya.
Pemberitaan Lampung Post mengenai
sejumlah tempat itu menambah pengetahuan saya akan Kota Bandarlampung. Dalam
kaitannya dengan pariwisata, jika dulu saya hanya mengetahui tempat wisata
pantai atau Museum Lampung sebagai obyek wisata yang ada di Kota Bandarlampung.
Kini, tak lagi. Sederet tempat wisata yang ada di Kota Bandarlampung bisa saya
sebutkan. Sampai disini, dapat dikatakan obyek pariwisata Kota Bandarlampung
itu banyak !
Ada Kepala, Tak Ada Buntut
Idealnya ada perasaan bangga. Alih-alih
justru rasa minder atau ketidapercayaan diri yang menghinggapi saya. Apa
pasalnya ? Meskipun secara kuantitas, Bandarlampung memiliki banyak potensi
wisata, secara kualitas masih terabaikan. Sebagai contoh salah satunya ialah
objek Taman Hutan Kera di Kelurahan Sumur Batu yang (kalau tak salah) oleh
Walikota Herman HN ditetapkan menjadi cagar budaya/ alam kota.
Penetapan tersebut merupakan hal yang
sangat baik Karena pastinya akan berdampak positif bagi keberadaan tempat itu.
Nyatanya, di lapangan sebaliknya atau keadaan yang memprihatinkan. Fakta ini saya
ketahui ketika mengikuti Workshop Tata Kelola Kehutanan yang digagas oleh
sebuah komunitas pers bekerjasama dengan LSM internasional USAid di awal bulan
April Lalu. Fakta ini saya ketahui dari pemaparan peserta workshop dimana
beberapa di antara mereka menyoroti taman hutan kota ini sebagai fokus hasil
jurnalistik mereka.
Peserta workshop yang mengangkat tema
tentang Taman Hutan Kera, semuanya bertutur sama akan kondisi kekinian cagar
budaya/ alam tersebut yang tidak terurus dan sebagainya. Ini baru di satu
tempat. Bagaimana dengan tempat lain ? Pemberitaan di Lampung Post bisa
ditelusuri. Malah dulu pernah diberitakan Pasar Seni Enggal, justru pernah
distigmanisasi sebagai tempat mesum (Lampung Post, 20 April 2011). Miris
sekali, meskipun kini sudah tidak lagi.
Karenanya, pernyataan dari pejabat
setempat yang mengagungkan pariwisata kota ini, sebenarnya tak lebih dari
pernyataan retorika semata. Apa yang diucapkan, digaungkan berkali-kali –
sungguh berbeda dengan apa yang nampak di lapangan.
Padahal, seandainya saja pihak eksekutif
kita bisa komitmen dan konsisten. Seiya, sekata antara ucapan dan tindakan.
Saya yakin pariwisata di Kota Tapis Berseri ini berprospek cerah, baik bagi
masyarakat setempatnya semisal membuka lapangan pekerjaan baru di bidang
pariwisata yang berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat setempat dan
(semoga) menurunnya angka kemiskinan.
Sedangkan bagi pemerintah setempat
semisal menaikkan PAD dan posisi tawar terhadap para investor yang berminat
berinvestasi di Bandarlampung. Saya bukan berkampanye disini, namun harus
disebut contoh kota yang sadar dan sungguh-sungguh menggarap potensi pariwisata
kota mereka dengan baik, yakni Kota Solo di masa kepemimpinan Joko Widodo alias
Jokowi. Hasilnya Kota Solo menjadi satu-satunya Kota di Indonesia yang masuk
menjadi anggota World Heritage di tahun 2007.
Bandarlampung, sejatinya punya potensi
lebih dari Solo. Tapi ya itu, masalahnya terletak di komitmen tadi. Istilahnya
ada kepala, tak ada buntut. Kiranya ini menjadi koreksi di usia Kota
Bandarlampung yang telah 332 tahun dan sebentuk doa – harapan supaya lebih baik
lagi. (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 21 Juni
2014/ Karina Lin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar