Minggu, 22 Juni 2014

ANAS PUN TERPICUT SUPERSEMAR

Kalender sejarah Indonesia mencatat tanggal 11 Maret sebagai hari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Umum mengetahui, tepat di tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno “konon” menyerahkan kekuasaannya ke Soeharto. Berbekal surat sakti itu, Soeharto beberapa bulan kemudian naik tingkat. Sukses menasbihkan dan ditasbihkan sebagai Presiden RI yang kedua sekaligus terlama (32 tahun) dalam sejarah pemerintahan negara kita.
Oleh Soeharto sendiri (tentu dengan kecerdikannya), nama Supersemar lantas diabadikan untuk menamai salah satu yayasan miliknya yang dikelola keluarganya. Yayasan Supersemar ini berfokus pada bidang edukasi, misalnya program beasiswa Supersemar bagi mahasiswa berprestasi tapi lemah ekonomi.
Tetapi, kembali ke soal Supersemar, benarkah Supersemar merupakan penanda atau simbol Soekarno menyerahkan tampuk jabatan dan kuasanya kepada Soeharto ?

Kontroversi, Mencari Naskah Asli dan Alih Tanggung Jawab
Ilustrasi Supersemar/Ist
Dalam kalangan sejarawan, sampai detik ini sesungguhnya masih banyak pertanyaan yang menggantung seputar Supersemar ini. Baskara T. Wardaya, sejarawan dan penulis buku Membongkar Supersemar ! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (Galangpress, 2007) mengungkap sejumlah pertanyaan menggantung terkait munculnya Supersemar, antara lain: 1) Apakah surat itu dibuat Bung Karno secara sukarela atau di bawah tekanan ?; 2) Siapa yang mengetik naskah asli surat itu ?; 3) Apakah surat yang sempat beredar di kalangan elit dan militer waktu itu adalah surat yang asli yang ditandatangani oleh Bung Karno ataukah salinannya yang telah diubah-ubah sesuai kepentingan pihak-pihak tertantu ?; dan 4) Dimana sebenarnya naskah asli surat perintah itu kini ?
Dalam hal ini, pertanyaan keempat merupakan yang terpenting karena merupakan kunci pembuka misteri serta petunjuk untuk diadakannya penyelidikan sejarah lebih lanjut yang niscaya menjawab tiga pertanyaan lainnya. Juga menjawab apakah Supersemar hanya sebagai estafet tanggung jawab atau sekalian estafet kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto ?
Memang di Sekretariat Negara terdapat dua naskah Supersemar. Brigjen M. Jusuf (salah seorang saksi kunci Supersemar) juga memiliki naskah Supersemar lengkap dengan tandatangan Bung Karno. Namun semuanya ditenggarai palsu karena masing-masing isinya berbeda.
Kalau demikian (untuk sementara ini) dengan berpatokan pada nama yang disematkan, bisa dikatakan Supersemar hanya merupakan surat perintah memberi amanah kepada Soeharto untuk mengamankan situasi dan kondisi Indonesia yang waktu itu masih belum pulih pasca pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang dipercayai didalangi oleh PKI.
Mengutip kembali dari Baskara, dikatakan olehnya tampak sekali Soeharto menggunakan Supersemar sebagai perintah Presiden (executive order) itu sebagai transfer of authority. Seolah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan berperang.

De-Soekarnoisasi dan De-Sbyisasi
Menariknya 57 tahun kemudian, peristiwa bersejarah Supersemar ini berulang. Bedanya, jika di tahun 1966 tokoh sentralnya ialah Soeharto. Maka di tahun 2013 ini aktor intelektualnya adalah Anas Urbaningrum (alias Anas Monas), politisi kelas wahid yang baru-baru ini mengundurkan diri dari posisi ketua umum sekaligus menyatakan diri keluar dari Partai Demokrat.
Perulangan sejarah Supersemar ini nampak melalui cara-cara yang ditempuh oleh Anas. Sebagai perbandingan, jauh sebelum Anas terpilih dan dipilih menjadi ketua umum dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung (2010), hubungan Anas dan SBY masih harmonis. Keadaan menjadi panas usai Anas terpilih menjadi Ketua Umum Demokrat dan beberapa kasus melibatkan kader Demokrat mencuat dan terungkap.
Keadaan seperti ini, persis seperti Soekarno dan Soeharto yang awalnya rukun, berganti menjadi persaingan kalau tidak mau disebut sebagai ambisi (Soeharto) merebut tahta Soekarno.
Anas pun kerap mempopulerkan beberapa istilah yang secara tak langsung ditujukan kepada SBY, misalnya Sengkuni (Patih Kerajaan Hastinapura yang terkenal akan kelicikannya), status BBM nabok nyilih tangan (memukul dengan meminjam tangan orang lain). Sementara Soeharto (dengan posisinya yang strategis) membekingi mahasiswa yang mendemo Soekarno dan Soeharto pula lah yang menyuruh Pasukan Sarwo Edhie menuju Istana Merdeka sehingga menimbulkan kepanikan Soekarno.
Sebagaimana dicatat dalam literatur-literatur sejarah, pada Jumat 11 Maret 1966 sedianya Bung Karno memimpin sidang kabinet yang disempurnakan di Istana Merdeka, Jakarta. Dengan alasan sakit, Soeharto adalah satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang tersebut. Sementara itu di luar Istana mahasiswa berdemo untuk menyampaikan tuntutan mereka. Ketika Bung Karno sedang menyampaikan sambutan pembukaan, Brigadir M. Sabur (Komandan Rseimen Cakrabirawa) masuk ke dalam ruang sidang.
Singkatnya Sabur hendak melaporkan bahwa di sekitar Monas sedang bergerak pasukan tidak mengenakan atribut kesatuan mereka. Usai diberitahukan hal ini, Bung Karno juga ikut panik dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam II Leimena. Selanjutnya ia bergegas keluar dan bersama Waperdam Soebandrio naik helikopter ke Bogor.
Belakangan diketahui pasukan tak dikenal itu ialah pasukan Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo Edhie mendapat perintah dari Kemal Idris, sedang Kemal Idris sendiri mendapat instruksi pengerahan pasukan tanpa atribut itu dari Soeharto.
Usai terbitnya Supersemar, secara perlahan Seoharto juga melakukan de-Soekarnoisasi. Simak misalnya Soeharto dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green pada 26 Mei 1966 menekankan bahwa yang mempersatukan Indonesia itu Pancasila – artinya bukan Seokarno. Dalam permbicaraan lebih dari satu jam, Soeharto menolak menyebut nama Bung Karno.
Anehnya, Anas pun melakukan hal-hal seperti itu, meski dalam manuver yang berbeda. Masih lekat dalam ingatan kita, pasca penetapan sebagai tersangka – dalam konferensi pers-nya Anas menuduh KPK diintervensi (oleh SBY). Tak berselang lama kemudian Anas bersedia membeberkan keterlibatan Edhie Baskoro dalam Proyek Hambalang (Kompas.com, 27 Februari 2013). Anas juga berani membeberkan informasi soal Skandal Century yang jelas imbasnya membuat ketat-ketir SBY. Manuver-manuver Anas ini, jelas-jelas sebuah upaya de-Sbyisasi.

Bukan Jabatan Puncak
Soeharto melakukan de-Soekarnoisasi dan dengan kecerdikannya itu pada akhirnya berhasil meraih jabatan Presiden Indonesia. Dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 dalam Sidang Umum MPRS tanggal 5 Juli 1966. Sedangkan Anas melakukan de-Sbyisasi bukan untuk menduduki posisi presiden. Walau mungkin dengan manuver de-Sbyisasinya itu, dia (Anas) hendak menjatuhkan sang Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Suatu pertanyaan, berhasilkah ? Mampukah ? Meninjau dari sisi SBY yang (bahkan) masa jabatannya tak sampai setahun lagi, bisa dipastikan yang bersangkutan akan mati-matian mempertahankan jabatannya. Pun, tetap kecil kemungkinan menuntut pertanggungjawabannya (SBY) di ranah hukum apabila memang terbukti terlibat Skandal Century. Ingat ! Soeharto yang Presiden RI kedua juga terkenal sebagai Raja Koruptor RI bahkan hingga pensiun dan almarhum tetap tak terjamah hukum.
Terlepas apakah Anas menyadari atau tidak menyadari manuver politiknya serupa dengan kisah Supersemar, kelanjutan cerita sinetron Anas versus SBY tetap layak disimak. Siapa tahu ada kejutan yang lebih besar lagi dan kita tak perlu menunggunya di episode tahun 2014.  (Telah Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Maret 2013. Tanggalnya saya lupa tapi mengangkat seputar Supersemar maka pasti publikasi ini tak jauh-jauh dari 11 Maret 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar