Minggu, 22 Juni 2014

Bahasa Lampung, Digantung Jangan



Suratkabar Lampung Post, Senin, 28 Oktober 2013 lalu, memuat tulisan Syaiful Irba Tanpaka yang berjudul “Bahasa Lampung Tanggung Jawab Siapa ?” Tulisan itu, sebagaimana dinyatakan oleh yang bersangkutan, merupakan partisipasi memperingati bulan bahasa setiap 28 Oktober sekaligus wacana pemikiran yang timbul usai mengikuti Diskusi Lampung Bangkit III di Aula Lampung Post (Selasa, 20 Oktober 2013) yang mengangkat tema Revitalisasi Bahasa Lampung.
Mengenai diskusi tersebut, saya pun termasuk salah seorang peserta yang turut hadir dan berkesempatan menyampaikan ide. Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan kembali poin-poin penting tersebut dan sedikit urun ide terhadap tulisan sari Saudara Syaiful Irba.

Lampung Indonesia Mini
Ada satu penjabaran dan pertanyaan menarik yang disampaikan oleh saudara Syaiful. Dalam paragraf kedua, ia menulis “bahasa Lampung memang menyimpan persoalan tersendiri ketika kenyataan saat ini masih termarginalkan di daerahnya sendiri.” Lalu, komparasi dengan daerah lain dimana pendatang yang datang ke daerah tersebut, telah mempersiapkan dirinya (secara psikologis) untuk mengapresiasi sehingga dalam hitungan bulan mereka (para pendatang) fasih berbahasa daerah tersebut.
Berbeda dengan bahasa Lampung yang jangankan pendatang, warga yang telah beranak pinak, bercucu cicit di daerah ini, mayoritas tidak bisa berbahasa Lampung. Lantas ia mempertanyakan: kenapa bisa begitu ?
Saudara Syaiful menyebut banyak faktor dengan titik utama pada riwayat sejarah Lampung yakni adanya program kolonisasi atau transmigrasi yang diluncurkan pemerintah Hindia Belanda pada 1908 yang turut andil mencairkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Lampung. Hingga dalam perkembangannya muncullah slogan “Lampung sebagai Indonesia mini.”
Harus diakui, ada benarnya. Secara nyata bisa kita lihat, misalnya dari penamaan desa yang tersebar di seluruh Lampung yang cukup dominan tidak berbau Lampung.
Namun kita juga tak bisa sepenuhnya menitikutamakan lambatnya “merakyatnya” bahasa Lampung dalam kalangan sendiri dikarenakan riwayat sejarah kolonisasi tadi. Menyebut poin Lampung sebagai Indonesia mini, sedikit banyak mengingatkan pada julukan ibukota Jakarta yang lebih dulu disebut sebagai Indonesia mini. Bahkan jauh lebih beragam lantaran posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis serta pusat hiburan. Jakarta tak hanya menjadi tempat persinggahan budaya nusantara, melainkan juga mancanegara. Artinya bersamaan itu bahasa yang dibawa oleh para etnis pendatang baik manca ataupun nusa, tumplek blek di sana.
Tetapi mengapa di tengah gelimangan tersebut bahasa Betawi yang notabene bahasa asli suku setempat mampu tetap eksis ? Meskipun secara kuantitas penduduk, perimbangannya jauh lebih sedikit daripada etnis pendatang. Kenapa bisa begitu ?

Bahasa Lampung Hendak Dibawa Kemana ?
Sebelum menjawab itu, mungkin perlu sedikit diluruskan. Bahasa Lampung sebenarnya tidaklah mangkrak, hanya tepat disebut perkembangannya lambat. Bukti ketidakmangkrakan tersebut ialah bahasa Lampung masih diajarkan di sekolah-sekolah mulai tingkat dasar. Walaupun kini keberadaannya terancam, dipicu dihilangkannya kode 062 – kode sertifikasi untuk guru bahasa Lampung.
Mengapa demikian ? Mengapa lambat ? Padahal secara substansial, bahasa Lampung tergolong bahasa yang tinggi. Salah satunya, ia memiliki aksara yang memungkinkan bahasa Lampung diajarkan melalui tulisan dan lisan.
Dalam versi saya, tiadanya kejelasan bahasa Lampung ini hendak dibawa kemana merupakan salah satu yang turut andil dalam lambannya pembauran bahasa Lampung dalam masyarakat kita. Bila dihubungkan dengan dunia pendidikan kita; sebenarnya dari pengajaran bahasa Lampung yang selama ini telah dilakukan, itu hendak dimuarakan kemana ? Apakah sekedar mengajarkan saja atau lebih dari sekedar mengajarkan ?

Pengajaran di Sekolah
Harus diakui, kurikulum yang disusun dan lantas diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di dunia pendidikan kita semakin canggih saja. Sebagai perbandingan ialah jenjang dimasukkannya mata pelajaran bahasa daerah dan bahasa asing. Mata pelajaran bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Lampung. Bahasa daerah yang diajarkan disesuaikan dengan daerah yang menerapkan kurikulum tersebut.
Sedangkan bahasa asing, umumnya ialah bahasa Inggris. Belakangan berkembang, tak cuma bahasa Inggris. Ada sekolahan yang mengajarkan bahasa Perancis, Jerman, Arab, Jepang. Lalu sebagai akibat dari reformasi yang membuka katurp larangan terhadap hal-hal berbau Tionghoa, maka kini bahasa Tionghoa/ Mandarin termasuk dalam salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah, khususnya sekolah swasta. Dan karena imbas derasnya budaya pop Korea, lazim disebut K-Wave (Hallyu), ada juga yang mengajarkan bahasa Korea.
Yang mencengangkan ialah jenjang memperkenalkan bahasa-bahasa non Indonesia tadi. Saya fokuskan kepada bahasa Lampung, karena bahasan kita memang hal itu. Saya menemukan fakta bahwa kurikulum sekarang telah memperkenalkan mata pelajaran tersebut mulai jenjang kelas 1 SD.
Berbeda sekali di masa-masa pendidikan zaman saya, kurikulum yang diadopsi kalau tak salah kurikulum 1994 di mana bidang studi bahasa daerah Lampung baru diajarkan saat kelas 3 SD. Saat itu, materi-materi pelajaran yang diajarkan berupa akasara Lampung Kaganga, pengenalan dialek bahasa Lampung (nyow dan api), tanda-tanda baca, tanda bunyi aksara Lampung. Ada pula pelajaran menulis/ mengarang dalam bahasa daerah Lampung, termasuk tak ketinggalan ialah pengajaran mengenai cerita-cerita rakyat Lampung.
Sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), pelajaran bahasa daerah Lampung selalu tercantum dalam kurikulum dan diajarkan. Saat  Sekolah Menengah Umum (SMU), mata pelajaran tersebut tidak diajarkan lagi.
Berdasarkan pengalaman saya ini dan mengamati dunia pendidikan di Bumi Ruwa Jurai, apabila tujuan pengajaran hanya sekedar mengajarkan saja maka tujuan tersebut telah tercapai. Mengajarkan berarti siswa diajarkan untuk tahu, mengenal mengenai bahasa daerah itu. Tak ada keharusan atau kewajiban lebih, misalnya menggunakan bahasa daerah tersebut untuk percakapan harian dan sebagainya. Dan ketika siswa yang bersangkutan selesai/ tamat sekolah, maka putus semua itu dan saya rasa adalah wajar.
Jenjang pendidikan untuk para guru pun tak usah terlalu jauh. Cukuplah mengikuti standar yang berlaku dan cukup dalam lingkup FKIP saja.

Bahasa Daerah Lampung dan Budaya
Namun semua menjadi mentah jika pilihan kedua yang menjadi muaranya. Pengajaran bahasa Lampung lebih dari sekedar mengajarkan. Disini artinya tersirat maksud, visi dan misi bahwa bahasa Lampung diajarkan tak hanya supaya siswa tahu.
Bahasa Lampung diharapkan bisa menjadi seperti bahasa nasional dalam ranah lokal, yang diteliti, dikembangkan, digunakan sehari-hari. Ada karya sastranya yang didiskusikan untuk mencari kelebihan dan kekurangannya sehingga bisa disempurnakan kembali. Filosofi yang terkandung didalamnya bisa diresapi dan menjadi salah-satu pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, untuk muara yang satu ini – jelas jenjang pendidikan yang telah ada tidaklah mengakomodasi. Dalam diskusi, saya mengusulkan pendirian fakultas sastra atau ilmu budaya di Unila dan di sini, ide yang sama saya ulang kembali. Pertimbangannya lantaran selama ini di Lampung belumlah ada suatu lembaga atau institusi khusus yang bisa menjalankan fungsi-fungsi itu.
Pertanyaannya, pilihan mana yang hendak dipilih ? Kalau saya ya, kalau saya yang menjadi orang nomor satu di Lampung, orang nomor satu di dunia pendidikan di Lampung dan orang nomor satu di Unila maka saya takkan berlama-lama.
Pilihan kedua-lah yang saya pilih. Pertimbangannya sederhana; bahasa merupakan identitas suatu budaya. Bahasa Lampung merupakan identitas dari budaya Lampung itu. Bahasa, budaya ditambah sejarah daerah tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam diskusi, ada tanggapan terhadap gagasan saya itu. Apa bila fakultas sastra atau ilmu budaya dibuka maka para lulusannya harus mengikuti penyetaraann dulu yang memakan waktu beberapa tahun. Menurut saya, itu pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, plus minusnya.
Akan tetapi, dibandingkan para alumni fakultas sastra/ ilmu budaya harus menempuh waktu tak seberapa untuk meraih penyetaraan sebagai guru, jauh lebih riskan tanpa adanya fakultas sastra atau ilmu budaya. Sebab sudah jelas, perlahan bahasa daerah menjadi tergerus dan itu jauh lebih mahal harganya.
Pada tataran ini, kita tak bisa sepenuhnya menumpukan harapan atau insiatif kepada pemerintah provinsi atau daerah. Sambil sedikit berguyon, boleh saya melontarkan pertanyaan ini: memangnya apa sih yang bisa diharapkan dari pemprov kita ? Boro-boro menaikkan derajat bahasa Lampung, mengurus Festival Krakatau saja tak becus dan rumah Daswati yang merupakan cikal bakal berdirinya provinsi ini saja terbengkalai serta terancam hanya tinggal nama. Dalam istilah yang lebih menukik, jika hanya mengandalkan pemerintah setempat maka sama saja menuntun bahasa Lampung (plus budayanya) menuju lorong kepunahan. Jika sudah demikian, menyesal pun tiada guna. Jadi pelestarian bahasa Lampung adalah tanggung jawab kita (bersama). (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 2 November 2013/ Karina Lin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar