Suratkabar Lampung Post, Senin, 28
Oktober 2013 lalu, memuat tulisan Syaiful Irba Tanpaka yang berjudul “Bahasa
Lampung Tanggung Jawab Siapa ?” Tulisan itu, sebagaimana dinyatakan oleh
yang bersangkutan, merupakan partisipasi memperingati bulan bahasa setiap 28
Oktober sekaligus wacana pemikiran yang timbul usai mengikuti Diskusi Lampung
Bangkit III di Aula Lampung Post (Selasa, 20 Oktober 2013) yang
mengangkat tema Revitalisasi Bahasa Lampung.
Mengenai diskusi tersebut, saya pun
termasuk salah seorang peserta yang turut hadir dan berkesempatan menyampaikan
ide. Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan kembali poin-poin penting
tersebut dan sedikit urun ide terhadap tulisan sari Saudara Syaiful Irba.
Lampung Indonesia Mini
Ada satu penjabaran dan pertanyaan
menarik yang disampaikan oleh saudara Syaiful. Dalam paragraf kedua, ia menulis
“bahasa Lampung memang menyimpan persoalan tersendiri ketika kenyataan saat ini
masih termarginalkan di daerahnya sendiri.” Lalu, komparasi dengan daerah lain
dimana pendatang yang datang ke daerah tersebut, telah mempersiapkan dirinya
(secara psikologis) untuk mengapresiasi sehingga dalam hitungan bulan mereka
(para pendatang) fasih berbahasa daerah tersebut.
Berbeda dengan bahasa Lampung yang
jangankan pendatang, warga yang telah beranak pinak, bercucu cicit di daerah
ini, mayoritas tidak bisa berbahasa Lampung. Lantas ia mempertanyakan: kenapa
bisa begitu ?
Saudara Syaiful menyebut banyak faktor
dengan titik utama pada riwayat sejarah Lampung yakni adanya program kolonisasi
atau transmigrasi yang diluncurkan pemerintah Hindia Belanda pada 1908 yang
turut andil mencairkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Lampung. Hingga
dalam perkembangannya muncullah slogan “Lampung sebagai Indonesia mini.”
Harus diakui, ada benarnya. Secara nyata
bisa kita lihat, misalnya dari penamaan desa yang tersebar di seluruh Lampung
yang cukup dominan tidak berbau Lampung.
Namun kita juga tak bisa sepenuhnya
menitikutamakan lambatnya “merakyatnya” bahasa Lampung dalam kalangan sendiri
dikarenakan riwayat sejarah kolonisasi tadi. Menyebut poin Lampung sebagai
Indonesia mini, sedikit banyak mengingatkan pada julukan ibukota Jakarta yang
lebih dulu disebut sebagai Indonesia mini. Bahkan jauh lebih beragam lantaran
posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis serta pusat hiburan.
Jakarta tak hanya menjadi tempat persinggahan budaya nusantara, melainkan juga
mancanegara. Artinya bersamaan itu bahasa yang dibawa oleh para etnis pendatang
baik manca ataupun nusa, tumplek blek di sana.
Tetapi mengapa di tengah gelimangan
tersebut bahasa Betawi yang notabene bahasa asli suku setempat mampu tetap
eksis ? Meskipun secara kuantitas penduduk, perimbangannya jauh lebih sedikit
daripada etnis pendatang. Kenapa bisa begitu ?
Bahasa Lampung Hendak Dibawa Kemana ?
Sebelum menjawab itu, mungkin perlu
sedikit diluruskan. Bahasa Lampung sebenarnya tidaklah mangkrak, hanya tepat
disebut perkembangannya lambat. Bukti ketidakmangkrakan tersebut ialah bahasa
Lampung masih diajarkan di sekolah-sekolah mulai tingkat dasar. Walaupun kini
keberadaannya terancam, dipicu dihilangkannya kode 062 – kode sertifikasi untuk
guru bahasa Lampung.
Mengapa demikian ? Mengapa lambat ?
Padahal secara substansial, bahasa Lampung tergolong bahasa yang tinggi. Salah
satunya, ia memiliki aksara yang memungkinkan bahasa Lampung diajarkan melalui
tulisan dan lisan.
Dalam versi saya, tiadanya kejelasan
bahasa Lampung ini hendak dibawa kemana merupakan salah satu yang turut andil
dalam lambannya pembauran bahasa Lampung dalam masyarakat kita. Bila
dihubungkan dengan dunia pendidikan kita; sebenarnya dari pengajaran bahasa
Lampung yang selama ini telah dilakukan, itu hendak dimuarakan kemana ? Apakah
sekedar mengajarkan saja atau lebih dari sekedar mengajarkan ?
Pengajaran di Sekolah
Harus diakui, kurikulum yang disusun dan
lantas diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di dunia
pendidikan kita semakin canggih saja. Sebagai perbandingan ialah jenjang
dimasukkannya mata pelajaran bahasa daerah dan bahasa asing. Mata pelajaran
bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Lampung. Bahasa daerah yang diajarkan
disesuaikan dengan daerah yang menerapkan kurikulum tersebut.
Sedangkan bahasa asing, umumnya ialah
bahasa Inggris. Belakangan berkembang, tak cuma bahasa Inggris. Ada sekolahan
yang mengajarkan bahasa Perancis, Jerman, Arab, Jepang. Lalu sebagai akibat
dari reformasi yang membuka katurp larangan terhadap hal-hal berbau Tionghoa,
maka kini bahasa Tionghoa/ Mandarin termasuk dalam salah satu mata pelajaran
yang diajarkan di sekolah-sekolah, khususnya sekolah swasta. Dan karena imbas
derasnya budaya pop Korea, lazim disebut K-Wave (Hallyu), ada
juga yang mengajarkan bahasa Korea.
Yang mencengangkan ialah jenjang
memperkenalkan bahasa-bahasa non Indonesia tadi. Saya fokuskan kepada bahasa Lampung,
karena bahasan kita memang hal itu. Saya menemukan fakta bahwa kurikulum
sekarang telah memperkenalkan mata pelajaran tersebut mulai jenjang kelas 1 SD.
Berbeda sekali di masa-masa pendidikan
zaman saya, kurikulum yang diadopsi kalau tak salah kurikulum 1994 di mana
bidang studi bahasa daerah Lampung baru diajarkan saat kelas 3 SD. Saat itu,
materi-materi pelajaran yang diajarkan berupa akasara Lampung Kaganga,
pengenalan dialek bahasa Lampung (nyow dan api), tanda-tanda
baca, tanda bunyi aksara Lampung. Ada pula pelajaran menulis/ mengarang dalam
bahasa daerah Lampung, termasuk tak ketinggalan ialah pengajaran mengenai cerita-cerita
rakyat Lampung.
Sampai dengan jenjang Sekolah Menengah
Pertama (SMP), pelajaran bahasa daerah Lampung selalu tercantum dalam kurikulum
dan diajarkan. Saat Sekolah Menengah
Umum (SMU), mata pelajaran tersebut tidak diajarkan lagi.
Berdasarkan pengalaman saya ini dan
mengamati dunia pendidikan di Bumi Ruwa Jurai, apabila tujuan pengajaran hanya
sekedar mengajarkan saja maka tujuan tersebut telah tercapai. Mengajarkan
berarti siswa diajarkan untuk tahu, mengenal mengenai bahasa daerah itu. Tak ada
keharusan atau kewajiban lebih, misalnya menggunakan bahasa daerah tersebut
untuk percakapan harian dan sebagainya. Dan ketika siswa yang bersangkutan
selesai/ tamat sekolah, maka putus semua itu dan saya rasa adalah wajar.
Jenjang pendidikan untuk para guru pun
tak usah terlalu jauh. Cukuplah mengikuti standar yang berlaku dan cukup dalam
lingkup FKIP saja.
Bahasa Daerah Lampung dan Budaya
Namun semua menjadi mentah jika pilihan
kedua yang menjadi muaranya. Pengajaran bahasa Lampung lebih dari sekedar mengajarkan.
Disini artinya tersirat maksud, visi dan misi bahwa bahasa Lampung diajarkan
tak hanya supaya siswa tahu.
Bahasa Lampung diharapkan bisa menjadi
seperti bahasa nasional dalam ranah lokal, yang diteliti, dikembangkan,
digunakan sehari-hari. Ada karya sastranya yang didiskusikan untuk mencari
kelebihan dan kekurangannya sehingga bisa disempurnakan kembali. Filosofi yang
terkandung didalamnya bisa diresapi dan menjadi salah-satu pegangan dalam
kehidupan sehari-hari.
Nah, untuk muara yang satu ini – jelas
jenjang pendidikan yang telah ada tidaklah mengakomodasi. Dalam diskusi, saya
mengusulkan pendirian fakultas sastra atau ilmu budaya di Unila dan di sini,
ide yang sama saya ulang kembali. Pertimbangannya lantaran selama ini di
Lampung belumlah ada suatu lembaga atau institusi khusus yang bisa menjalankan
fungsi-fungsi itu.
Pertanyaannya, pilihan mana yang hendak
dipilih ? Kalau saya ya, kalau saya yang menjadi orang nomor satu di Lampung,
orang nomor satu di dunia pendidikan di Lampung dan orang nomor satu di Unila
maka saya takkan berlama-lama.
Pilihan kedua-lah yang saya pilih.
Pertimbangannya sederhana; bahasa merupakan identitas suatu budaya. Bahasa
Lampung merupakan identitas dari budaya Lampung itu. Bahasa, budaya ditambah
sejarah daerah tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam diskusi, ada tanggapan terhadap
gagasan saya itu. Apa bila fakultas sastra atau ilmu budaya dibuka maka para
lulusannya harus mengikuti penyetaraann dulu yang memakan waktu beberapa tahun.
Menurut saya, itu pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, plus
minusnya.
Akan tetapi, dibandingkan para alumni
fakultas sastra/ ilmu budaya harus menempuh waktu tak seberapa untuk meraih
penyetaraan sebagai guru, jauh lebih riskan tanpa adanya fakultas sastra atau
ilmu budaya. Sebab sudah jelas, perlahan bahasa daerah menjadi tergerus dan itu
jauh lebih mahal harganya.
Pada tataran ini, kita tak bisa
sepenuhnya menumpukan harapan atau insiatif kepada pemerintah provinsi atau
daerah. Sambil sedikit berguyon, boleh saya melontarkan pertanyaan ini:
memangnya apa sih yang bisa diharapkan dari pemprov kita ? Boro-boro
menaikkan derajat bahasa Lampung, mengurus Festival Krakatau saja tak becus dan
rumah Daswati yang merupakan cikal bakal berdirinya provinsi ini saja
terbengkalai serta terancam hanya tinggal nama. Dalam istilah yang lebih
menukik, jika hanya mengandalkan pemerintah setempat maka sama saja menuntun
bahasa Lampung (plus budayanya) menuju lorong kepunahan. Jika sudah demikian,
menyesal pun tiada guna. Jadi pelestarian bahasa Lampung adalah tanggung jawab
kita (bersama). (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 2 November 2013/ Karina Lin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar