BRT ! Lagi-lagi moda angkutan umum di
Kota Tapis Berseri ini menjadi buah bibir. Jika dulu-dulu karena demo dari
sejumlah pihak yang tak berkenan dengan keberadaannya, kali ini BRT diberitakan
lantaran pemogokan yang dilakukan karyawan BRT-nya sendiri. Mogok Selasa
(18/12) ini masih kelanjutan pemogokan sebelumnya yang dilakukan pada akhir
bulan 27 November lalu.
Karyawan mogok karena gaji. Mengutip
Tajuk Lampung Post, Kamis (29/11) disebutkan telah dua bulan (September-Oktober) karyawan BRT tidak menerima gaji” (namun dari
bisik-bisik, bukan dua bulan melainkan tiga bulan belum dibayar gaji).
Persoalan lantas selesai, setelah (beberapa
hari kemudian) pihak konsorsium BRT membayarkan gaji para karyawannya. Namun,
rupa-rupanya gaji yang dibayarkan tersebut belumlah seluruhnya. Malahan kabar
paling baru menyebutkan bila gaji mereka bulan November juga belum dibayar.
Terlalu Menggampangkan
Pihak-pihak yang berkepentingan (selaku
pembuat kebijakan dan pengeksekusi kebijakan) punya perspektif dan mentalitas
yang terlalu menggampangkan ketika memprogramkan BRT. Setidaknya ada empat
pihak, yaitu pihak Konsorsium BRT, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung),
Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandar Lampung dan DPRD Kota Bandar Lampung.
Mentalitas terlalu menggampangkan dari
pihak Konsorsium tampak dalam tiga hal mendasar BRT. Pertama, penetapan rute
atau trayek BRT. Semenjak resmi dioperasikan, BRT terus menambah rute (koridor)
dan sampai saat ini, BRT telah memiliki 10 koridor. Banyak rute, kok tekor ?
Dalam Diskusi Publik Pelayanan
Transportasi Umum Perkotaan Melalui Pengembangan BRT di Kota Bandar Lampung, Februari
2012, terungkap jalur koridor yang ada tidak didasarkan pada hasil kajian
akademis, tetapi lebih kepada kekuasaan bahwa di jalur tersebut telah ada moda
angkutan umum sebelumnya dan pernah memiliki demand besar.
Kedua, ukuran kendaraan yang digunakan
untuk BRT terlalu kecil. BRT yang sekarang ini digunakan tak ubahnya dengan
DAMRI, hanya berbeda modelnya saja (kursi berjajar memanjang dari depan ke
belakang dan memiliki bukaan pintu samping).
Ketiga, jalur kuning yang sedang digodok,
mengambil sisi kiri badan jalan. Pemikirannya gampang. Karena kendaraan kan
pasti minggirnya di sebelah kiri dan selama ini, baik DAMRI atau pun angkot pun
begitu.
Pihak Pemkot Bandar Lampung yang entah
dikarenakan percaya atau tak ingin repot pun, menyetujui saja sistem dan
praktek BRT tersebut. Sedangkan pihak Dishub Kota Bandar Lampung yang notabene
harusnya paham keadaan lalu lintas dan transportasi kota-nya pun bersikap sami
mawon dengan Pemkot Bandar Lampung.
Solusi Sepenuh Hati
Karena program BRT sudah terbilang
kepalang tanggung. Satu-satunya langkah yang bisa ditempuh ialah melakukan
koreksi lalu mengupayakan solusi. Beberapa solusi berikut bisa dipertimbangkan.
Pertama,sementara BRT terus berjalan, pihak Konsorsium BRT bersama Pemkot dan
Dishub Bandar Lampung harus melakukan survei lagi mengenai koridor-koridornya.
Jika masih belum bisa, maka solusi kedua,
yaitu terpaksa pihak konsorsium harus melego BRT yang terlanjur dibeli (itu pun
kalau bisa) atau kita bisa mencontoh Kota Solo yang memfungsikan bus dalam kota
sebagai kendaraan wisata juga.
Ketiga, mengenai pembuatan jalur khusus
itu harus di sisi kanan, bukan di sisi kiri ! Saya kira dalam penetapan jalur,
belum terlambat untuk diubah. Ingat kejadian pada pertengahan November lalu,
dimana seorang sopir BRT jurusan Rajabasa-Sukaraja melindas seorang pesepeda
motor hngga tewas. Seandainya jalur BRT berada di sisi kanan, pasti insiden
kecelakaan itu bisa dihindari. Serta harus pula terintegrasi dengan halte dan
jembatan penyeberangan. Tanpa halte dan jembatan penyeberangan, jangan harap
program BRT akan berhasil maksimal.
Keempat, sosialisasi kepada seluruh
masyarakat Kota Bandar Lampung mengenai sistem yang dianut BRT. Harus naik
dimana, turun dimana, berapa harga tiketnya dan gimana cara kerjanya.
Sosialisasi ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Tak cuma oleh para
petugas BRT, namun juga melalui informasi yang bisa ditempelkan di halte-halte
BRT.
Kelima, petugas BRT harus diseleksi
dengan benar-benar memiliki integritas terhadap profesinya. Mereka harus paham
rute-rute dari koridor yang merupakan area kerjanya. Sepanjang rute itu ada landmark
apa saja, nama jalannya apa saja dan halte/ feeder-nya ada di titik mana
saja. Benahi sistem perekrutan, seleksi kembali dari petugas yang telah ada.
Pilih petugas yang benar-benar punya dedikasi terhadap pekerjaannya.
Keenam, sistem pengutipan tiket harus
diubah. Bukan kondektur yang mengutip di dalam bus. Melainkan penumpang membeli
tiket di loket yang ada di halte BRT. Sesungguhnya, tanpa pemasangan alat
sensor pun pembelian tiket memang harus dilakukan di loket. Trans-Jakarta
memberlakukan cara seperti itu. Malah aneh kok BRT mengutip tiket di dalam bus.
Ketujuh, idealnya BRT berukuran lebih
besar sedikit lagi dari ukuran yang sekarang atau dijadikan bus gandeng
sehingga lebih besar daya tampungnya dan lebih luas ruangnya serta lebih
menghemat bahan bakar.
Kedelapan, solusi bahan bakar pun,
harusnya pihak-pihak yang bersangkutan legawa dengan mengupayakan bahan
bakar yang lebih murah tetapi tetap berkualitas.
Akan tetapi, bila tetap ngotot maka
ksembilan, BRT harus menambah jam operasionalnya hingga malam. Bukan mulai
pukul 06.00-18.00, melainkan menjadi pukul 06.00-22.00.
Walikota Herman HN menyatakan menolak
menyubsidi BRT dengan landasan di luar kesepakatan MoU. Penolakan beliau untuk
mensubsidi BRT ini sejujurnya merupakan “langkah mundur” dan kalau tidak
dibilang sebagai arogansi. Subsidi, dikatakan oleh Christiono dari BSTP
Kementerian Perhubungan (yang turut menjadi narasumber dalam diskusi
pengembangan BRT Bandar Lampung, Februari 2012) itu mutlak diperlukan.
BRT tanpa subsidi, tinggal menghitung
hari kematiannya, karena pasti bangkrut. Pengalaman di banyak kota di dunia,
BRT memerlukan subsidi dari pemerintah karena itu merupakan bagian dari
pelayanan publik. Sepertinya BRT kita sedang memasuki fase itu (kematian). (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi 2013/ Karina Lin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar