![]() |
Pangeran Edward Syah Pernong, Kapolda Lampung 2015 (Dok Lampost.co) |
Mengutip Tajuk suratkabar Lampung Post (Lampost) edisi Senin, 8 Juni
2015, melalui telegram rahasia Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, sejumlah pejabat tinggi (pati) dan pejabat menengah (pamen) dimutasikan. Termasuk Korps Bhayangkara Lampung. Pucuk
pimpinan Polda Lampung yang sebelumnya dijabat oleh Brigjen Heru Winarko
diestafetkan kepada Brigjen Edward Syah Pernong.
Dalam kalangan
masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai, nama kapolda yang baru bukanlah asing. Dia
merupakan putera asli daerah Lampung bahkan dalam adat merupakan raja dari
Kepaksian Pak Sekala Brak di Lampung Barat. Karenanya dapat disebut juga jika
serah terima jabatan (sertijab) kali ini terasa lebih istimewa. Sebab daerah
kita, Lampung sai – akan dijaga oleh putra Lampung sendiri.
Menyandang
status putra Lampung asli dan raja kerajaan adat – saya yakin masyarakat
Lampung berharap besar dari Edward Syah Pernong dalam menjaga keamanan dan
menekan angka kriminalitas di sini. Ini sebuah tantangan baginya, bisa atau
tidak; mampu atau tidak mampu ? Cara atau pendekatan bagaimanakah yang akan
diterapkan olehnya dalam menahkodai keamanan wilayah Lampung ?
Rawan
Konflik dan Begal
Tentu bukan
perkara mudah menjaga daerah seluas 35.367 kilometer persegi. Terlebih
masyarakatnya heterogen atau majemuk. Mengutip tulisan Djadjat Sudjrajat dalam
catatan penutupnya di buku Merajut
Jurnalisme Damai di Lampung (AJI Bandar Lampung dan Indepth Publishing,
2012), menyebut dari penduduk (Lampung) sekitar 1 juta jiwa itu, etnis Lampung
hanya 11,9%. Komposisi lengkapnya: etnis Jawa 61,02%, Sunda 13,2%, Banten 3,6%,
Palembang 2,89%, Bali 1,62%, Minangkabau 0,84%, Ogan, Semendo dan etnis lainnya
(2013).
Komposisi itu
kemungkinan besar tidak berubah banyak saat ini; dan menyimak komposisi itu –
semakin meyakinkan akan heterogenitas masyarakat di Ruwa Jurai tercinta ini.
Secara positif, multietnis ini dapat memperkaya kelokalan budaya di daerah yang
ada sehingga menjadi budaya yang khas dan unik; dan berkembang dan memperkuat
keidentitasan daerah atau individu daerah yang bersangkutan.
Sedangkan
secara negatif, multienis ini rawan menimbulkan gesekan-gesekan konflik yang
dapat memicu antara lain kerusuhan atau aksi-aksi negatif plus anarkis lainnya.
Berita
buruknya – berdasarkan amatan saya – di Lampung, kemultietnisan tadi lebih
memberi efek negatif ketimbang positif. Termasuk sering konflik di Lampung
terjadi. Intensitas konflik bisa kita telusuri dari masa-masa empat tahun
terakhir ini. Hartoyo, sosiolog dari Universitas Lampung menyebut di tahun
2011-2012 konflik-konflik kekerasan terjadi beruntun di Lampung. Daerah-daerah
kabupaten seperti Lampung Selatan, Lampung Timur, Mesuji; termasuk yang rawan
konflik.
Masih
menurutnya, konflik-konflik kekerasan yang terjadi itu termasuk kategori
tsunami sosial karena getarannya termasuk sangat kuat pada lingkup lokal dan
nasional bahkan menjadi perhatian dunia internasional (Mengapa Kita Berkonflik ?, Indepth Publishing, 2014). Ini memang
benar, mengingat misalnya konflik di Balinuraga, Way Napal pada medio akhir
Oktober-awal November 2012 lalu. Eskalasi konflik yang bermula dari hal
sederhana bertransformasi menjadi skala besar dan bernuansa ke-SARA-an. Warga
desa yang berkonflik sampai diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) di
Kemiling, Bandar Lampung.
Saya, sekali
mengunjungi tempat pengungsian di SPN tersebut dan tak terelakkan timbul rasa
kasihan, pedih dan prihatin – baik terhadap konflik yang kala itu membara
sekaligus kepada rerata warga yang sebenarnya tidak bersangkut paut alias tak
tahu apa-apa.
Walau akhirnya
penyelesaian konflik Balinuraga dapat dicapai secara win-win solution.
Realitasnya, Lampung ke depannya (pasca 2012) masih terus dilanda konflik.
Bahkan ini yang menarik, penyebab konfliknya lantaran begal !
Saya teringat
ucapan eks Kapolda Lampung Brigjen Heru Winarko yang saya baca di media online Lampost.co. Katanya dia malu, tiap rapat
dengan pejabat-pejabat tinggi di pusat, selalu ditanyain soal begal dari
Lampung. Ya, saya sendiri juga malu. Saya sebagai warga Lampung – sudah pasti
berharap yang baik-baik saja yang kesohor ke luar daerah (nasional). Kayak
kerajinan tapis, sulam usus, ukiran Lampung; dan jika kuliner antara lain
keripik pisang Lampung, sambal Lampung, tempoyak (walau saya nggak suka), pindang, dan
lain-lain. Muli Mekhanai yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng.
Tapi apa daya,
begal-begal itu tak dapat dibendung kesohorannya hingga keluar Lampung. Setiap
kali diberitakan di media nasional mengenai kriminalitas pembegalan (seringnya
di Jakarta) – selalu lajutannya “begal Lampung nan sadis dan ganas !”
Selain
berkibar ke luar daerah, di dalam daerah Lampung sendiri – jangan ditanya lagi
gimana luar biasanya begal-begal tadi menguasai jalanan lintas provinsi atau
kabupaten. Tiada hari tanpa libur pembegalan. Saya sendiri sudah ketakutan
sendiri kalau mau travelling ke
kabupaten. Begal-lah yang pertama-tama tersirat di kepala saya. Ujung-ujungnya,
saking parno begal – saya enggak pernah atau jarang banget ke kabupaten.
Padahal saya kepingin banget menikmati Kiluan yang indah, melihat lumba-lumba liarnya
yang menggemaskan, merasai udara laut yang segar, menyentuh air lautnya yang
kebiruan jernih, makan otak-otak dan baso ikan marlin yang nikmat, sedap
sepuas-puasnya. Pupus yang indah-indah hanya karena begal !
Nah
akhir-akhir ini malah begal di Lampung naik peringkat. Nampaknya mereka
berharga sekali, sampai-sampai dibelain sepenuh hati oleh warga tempat si begal
berdomisili dan imbasnya mampu memicu konflik antar warga kampung. Contohnya
seperti di Tanggamus. Pada medio Juli setahun yang lalu, terjadi keributan
antarwarga disana dan semua keributan tadi berawal dari begal yang kepergok
mencuri motor penduduk, lantas bersama-sama dipukuli oleh warga yang memergoki
begal tersebut.
Penduduk pekon
asal begal, tidak terima warganya dipukuli hingga mengalami luka berat; dan
bisa diduga, akhirnya terjadilah penyerangan ke pekon yang telah menggebuki
begal dari pekon sebelah hingga luka berat tadi (Kompas.com).
Saya yang
membaca kronologis kejadiannya di media – dibikin planga-plongo saja. Penjahat
kok dibelai-belain setengah mati – sampai rela berkorban nyawa ? Benar-benar luar
biasa ! Nggak beda kayak ngebelain koruptor – yang sudah jelas terbukti
bersalah tetapi masih ngotot atau ngeles tidak bersalah sambil mengajukan dalih
lain. Misalnya si Ketua DPRD Bangkalan yang juga mantan Bupati Bangkalan Fuad
Amin itu.
Disinilah kita
berada, Lampung memang tergolong tinggi angka kriminalitasnya dan turunannya.
Hanya saja konflik, kerusuhan dan begal ini yang menurut saya paling memerlukan
perhatian penanganan serius.
Persuasif
Budaya
Tentu bukan
perkara mudah menjaga keamanan Lampung adem ayem dari kerusuhan, konflik
sosial, juga menekan angka kriminalitas begal. Namun kalau kita melihat background Kapolda Lampung yang baru,
saya (kok) optimis bisa ya ?
Rekam jejak
karir dari Brigjen Edward Syah Pernong tergolong cemerlang, ini yang saya baca
dari ensiklopedia online wikipedia.org.
Sebagai pejabat tinggi dari Polri, Edward Syah Pernong merupakan pengecualian.
Dia bukanlah lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) melainkan lulusan Fakultas
Hukum, UGM. Menariknya, ia sangat berpengalaman di bidang reserse. Brigjen
Edward pernah ditempatkan di Polda Metro Jaya lalu menjadi Kasatreserse Polres
Metro Bekasi pada 1992. Selama menapaki karirnya di bidang reserse ini, ia
mengungkap banyak tindak kejahatan, antara lain membongkar kasus perampokan dan
pemerkosaan terhadap Keluarga Acan di Bekasi (1995), membongkar kasus sodomi
disertai pembunuhan terhadap 12 anak yang dilakukan oleh Siswanto alias Robot
Gedek di Jakarta dan sekitar Jawa (1997). Bahkan ia berhasil menjebloskan
preman Tanah Abang, Hercules beserta anak buahnya ke penjara.
Ketika
berhasil membongkar Kasus Keluarga Acan, Presiden Soeharto lantas memanggilnya
ke Istana dan menganugerahkannya Lencana Adhi Satya Bhakti.
Namun, sekali
lagi – Brigjen Edward memiliki nilai plus. Ia lebih dari sekedar putra asli
Lampung. Ia merupakan Raja. Tepatnya Raja Kerajaan Adat dari Kepaksian Sekala
Brak Yang Dipertuan ke XXIII. Jadi beliau sejatinya bisa menitikberatkan upaya
menjaga keamanan Lampung melalui persuasi budaya kelampung. Entah bagaimana cara
yang akan ditempuh olehnya nanti dalam persuasi budaya kelampungan guna menjaga
keamanan. Hanya sedikit usulan, bisa saja para (calon) personel Korps
Bhayangkara Lampung dibekali atau diajarkan pengetahuan mengenai kelampungan
pada saat mereka menuntut ilmu kepolisian atau ketika telah lulus pun, materi
ini tetap disosialisasikan kepada para personel itu.
Udo Z. Karzi,
budayawan, sastrawan cum jurnalis
Lampung, sering sekali menulis artikel kelampungan yang temanya secara spesifik
pada falsafah hidup orang Lampung; piil
pesenggiri, juluk adok, nemui nyimah, nengah nyapur, sakai sambaian. Selain
lima ini, masih ada versi lainnya dari falsafah atau pedoman hidup orang
Lampung.
Falsafah-falsafah
ini, dalam perspektif saya dapat dan justru ideal sekali bilamana
dikombinasikan dalam bagian persuasi budaya guna menjaga keamanan daerah kita
bersama. Sungguh indah dan menenangkan hati membayangkan Lampung yang bebas
dari konflik dan begal. Kondisi seperti itu, saya yakin berefek positif bagi
pertumbuhan daerah, terutama ekonominya dan kualitas masyarakat.
Harapan yang
tidak muluk kepada Kapolda Lampung yang baru, Brigjen Edward Syah Pernong. Tak
lupa, terima kasih kepada Brigjen Heru Winarko yang telah menjaga Lampung dalam
tiga tahun ini. Selamat bertugas dan semoga amanah selalu bagi keduanya.
Note: Artikel telah dimuat dalam suratkabar Lampost edisi Kamis, 5 Juni 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina atau Facebook Sycarita Karina Lin.
Note: Artikel telah dimuat dalam suratkabar Lampost edisi Kamis, 5 Juni 2015). Tulisan juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina atau Facebook Sycarita Karina Lin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar