Suatu Jumat
pagi menjelang siang di akhir bulan April 2015, Jalan Ahmad Yani di Bandar
Lampung dipadati oleh kendaraan beroda empat dan dua. Dapat dimaklumi status
jalan yang kira-kira berlebar 20-25 meter itu, yakni jalan protokoler di
Tanjung Karang dan Bandar Lampung. Dan berdirilah saya disitu – di trotoar sisi
kiri dari jalan tersebut.
Rencananya
saya hendak ke Perpustakaan Daerah (perpusda) Lampung dan disitulah saya
menunggu BRT (bus ijo hasil proyek gagal pemkot kota saya) rute Korpri-Sukaraja, yang dalam trayeknya
melewati Perpusda Lampung di Jalan Wolter Monginsidi. Saya tidak sendiri
nangkring di trotoar itu guna menunggu BRT. Ada banyak siswa SMP dan SD yang
juga ngumplek di trotoar yang sama.
Menjelang
waktu Sholat Jumat, kondisi semakin ramai – begitupun jumlah siswa SMP dan SD
yang pulang sekolah dan nangkring di trotoar. Jalanan pun semakin macet, cet.
Mungkin speedometer mobil dan motor yang berlalu lalang di Jalan Ahmad Yani –
kala itu hanya mentok di angka 0-5 saja. Saya sendiri tak terlalu acuh. Bagi
saya, sudah biasa jalanan ini dilanda macet alias pamer paha (padat merayap
tanpa harapan) di hari Jumat nan syahdu.
Saya sibuk
mencari tempat teduh karena, duilee teriknya mentari bisa bikin gosong kulit
dan memproduksi bulir-bulir keringat tanpa henti. Otomatis bodi menjadi
amit-amit bau. Disitu ada jembatan penyeberang orang (JPO). Masih muda usia JPO
itu, kalau nggak salah dibangun sekira akhir tahun 2013 deh dan proses
pembangunan itu dilakukan di malam hari. Lho, dari mana saya tahu ?
Kebetulan pada
tahun JPO itu dibangun, saya masih ngekost di Jalan Ahmad Yani dan letak
kost-an saya – hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari JPO. Jadi saya bisa
melihat atau bekennya saksi mata pembangunan JPO tadi.
Mencari tempat
teduh, saya putuskan berdiri di bawah JPO yang ada bayangannya. Saya cuek saja
walau ada anak-anak SMP juga berkumpul disitu. Fokus saya kepada si BRT.
“Kenapa lama sekali sih ?!” Umpat saya dalam hati. Bahkan setelah hampir 30
menit, si BRT masih belum tampak juga.
Di tengah
suasana reseh ini – mata saya teralihkan oleh lelaku dua bocah SD. Bocah yang
satu mengenakan seragam kaus olahraga; dan bocah kedua mengenakan seragam pramuka; serta kedua bocah
ini berjenis kelamin cowok. Saya nggak sempat bertanya kelas berapa kepada
mereka berdua. Lantaran saya kadung dibuat kesal dan prihatin dengan apa yang
mereka lakukan.
Beberapa menit
kemudian – saya lihat keduanya memegang seperti pita kaset di tangan mereka.
Pita kaset itu lantas mereka ikatkan pada sebuah plastik berisi es batu.
Sepertinya plastik es batu itu bekas minuman limun atau sari tebu.
Tak lama
setelah diikat, pita kasetnya putus. Wajarlah. Tapi yang bikin saya penasaran
ialah tujuan dua siswa SD tadi melakukan hal itu. Jangan-jangan… Maka
bertanyalah saya kepada seorang di antara mereka, “Dek, kok plastiknya diikat ?
Memang mau buat apa ?”
Kedua siswa
itu tidak menjawab, hanya mendongak saja. Akhirnya saya tanya lagi, “Mau buat
main ya ? Dijatuhkan dari atas (JPO) ?” Mereka berdua menggangguk dengan senyum
gembira.
Astaga ! Saya
berguman dalam hati dan spontan melarang mereka melakukan itu. “Jangan !” Kata
saya. “Kamu berdua main begitu membahayakan orang. Kalau kamu menjatuhkan
kantung itu ke tengah jalan dari atas (JPO) terus pengendara mobil yang kena
jadi kaget dan ngerem mendadak, bisa terjadi tabrakan beruntun lho,” Lanjut
saya.
Kedua siswa
tadi akhirnya urung melakukan niatan mereka menjatuhkan plastik es batu ke
tangah jalan. Belakangan saya tanya lagi kepada dua siswa itu. Rupanya mereka
telah sering melakukan hal itu sebelumnya. Ya Tuhan ! Apa guru dan orang tua
siswa tersebut, juga kakak (kalau punya) tidak pernah mengajarkan kepada dua
siswa tadi mengenai JPO adalah fasilitas untuk menyeberang jalan ? Bukan
fasilitas atau tempat untuk bermain ?
Tak berapa
lama, BRT yang saya maksud – datang. Segera saya lambaikan tangan untuk
menyetop. Sesampainya di perpusda, usai menitipkan tas – saya mencari tempat
duduk yang berdekatan dengan AC. Supaya adem ! Terus terang, saya masih
diliputi kesal dan prihatin dengan pemandangan yang baru saya alami ini. Hati
kecil saya terus bertanya kemana sih guru-guru dua siswa tadi ? Apa saja sih
yang diajarkan oleh para guru itu kepada siswanya ?
Sungguh saya
prihatin – terlebih bila mengingat bahwa pendidikan sekarang, katanya makin
canggih; baik dari sisi kurikulum, metode pengajaran dan sebagainya. Pokoknya
wah lah ! Berkat yang canggih-canggih itu pula jangan heran biaya sekolah
meroket setinggi langit – terlepas itu di sekolah negeri ataupun sekolah
swasta. Namun dengan segala kecanggihan yang dilabelkan pada dunia pendidikan
kita – ternyata pengetahuan berlalu lintas yang sederhana (JPO) – para siswanya
gagal paham !
Saya menduga
para guru mengajarkannya melalui teori dalam kelas saja. Mereka (guru) tidak
pernah mengajarkan secara langsung kepada siswa melalui praktek atau
pendampingan. Pernah sekali saya melihat guru di SD yang tepat berada di bawah
JPO – seenaknya saja menyeberang jalan. Ibu guru ini turun dari angkot di sisi
kiri jalan. Lalu dengan santainya menyeberang jalan menuju ke sekolah tempatnya
mengajar. Padahal disitu ada JPO dan idealnya si ibu guru menyeberang jalan
dengan menggunakan JPO – sekaligus memberi teladan bagi anak didiknya.
Kalau dia
tidak menyeberang melalui JPO, lantas untuk apa JPO tersebut dibangun disitu ?
Hanya sebagai pemanis atau memenuhi kaidah kota ramah pejalan kaki ? Entahlah !
Selain guru,
peranan orang tua siswa pun tak dapat dipisahkan. Terkadang terpikir, apakah
para ortu siswa-nya itu tak pernah terbersit rasa khawatir membiarkan anaknya
yang masih berstatus pelajar SD itu pulang dari sekolah sendiri ? Jika letak
sekolah jauh dari jalan raya- saya masih mahfumi. Tetapi ini, letak
sekolahannya tepat disisi jalan raya yang padat lalu lintas berbagai kendaraan
– bahkan truk tronton pun lewat jalan tersebut. Memang, katanya di zaman serba
modern ini para ortu lebih sibuk mencari nafkah ketimbang memperhatikan anak.
Yah, apalagi kalau bukan biaya hidup yang semakin tinggi. Akan tetapi itu kan
anak (kita) ! Anak yang kalau orang religius bilang titipan atau berkah dari
Sang Ilahi atau kalau orang sekuler bilang “harta” tak ternilai. Jadi
seharusnya dampingilah mereka sebaik-baiknya. Sederhana toh !
Setelah
melihat keprihatinan dari aksi dua anak SD yang mengganggap JPO sebagai tempat
bermain. Saya rasa ada baiknya perlu dilakukan survei dan pemetaan dulu sebelum
membangun sekolah. Lokasi terbaik suatu sekolah dalam pandangan saya – idealnya
berada di pinggiran kota atau kompleks perumahan. Pasalnya dengan berlokasi di
pinggiran kota – tingkat kebisingan yang berasal dari suara lalu lalang
kendaraan bermotor. Praktis kondisi yang lebih adem ayem ini lebih kondusif
bagi proses KBM siswa.
Siswa juga
lebih sehat karena terhindar dari kondisi berdebu dan polutan asap kendaraan
bermotor. Sekolah yang dibangun di daerah pinggiran turut membantu mengurangi
kemacetan kota. Saya kerap memperhatikan saat jam-jam masuk atau pulang
sekolah. Angkot kerap ngetem untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang
merupakan pelajar di sekolahan tersebut. Tak hanya satu dua angkot saja,
melainkan banyak dan akhirnya memicu kemacetan lalu lintas di jalan depan
sekolahan. Waktu perjalanan pun akhirnya molor, dari 30 menit menjadi satu jam.
Sayang banget waktu terbuang percuma hanya untuk hal sepele begini !
Tulisan ini juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina
Atau Facebook Sycarita Karina Lin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar