Minggu, 28 Juni 2015

JPO dan Anak-anak Kita

Suatu Jumat pagi menjelang siang di akhir bulan April 2015, Jalan Ahmad Yani di Bandar Lampung dipadati oleh kendaraan beroda empat dan dua. Dapat dimaklumi status jalan yang kira-kira berlebar 20-25 meter itu, yakni jalan protokoler di Tanjung Karang dan Bandar Lampung. Dan berdirilah saya disitu – di trotoar sisi kiri dari jalan tersebut.
Rencananya saya hendak ke Perpustakaan Daerah (perpusda) Lampung dan disitulah saya menunggu BRT (bus ijo hasil proyek gagal pemkot kota saya)  rute Korpri-Sukaraja, yang dalam trayeknya melewati Perpusda Lampung di Jalan Wolter Monginsidi. Saya tidak sendiri nangkring di trotoar itu guna menunggu BRT. Ada banyak siswa SMP dan SD yang juga ngumplek di trotoar yang sama.
Menjelang waktu Sholat Jumat, kondisi semakin ramai – begitupun jumlah siswa SMP dan SD yang pulang sekolah dan nangkring di trotoar. Jalanan pun semakin macet, cet. Mungkin speedometer mobil dan motor yang berlalu lalang di Jalan Ahmad Yani – kala itu hanya mentok di angka 0-5 saja. Saya sendiri tak terlalu acuh. Bagi saya, sudah biasa jalanan ini dilanda macet alias pamer paha (padat merayap tanpa harapan) di hari Jumat nan syahdu.
Saya sibuk mencari tempat teduh karena, duilee teriknya mentari bisa bikin gosong kulit dan memproduksi bulir-bulir keringat tanpa henti. Otomatis bodi menjadi amit-amit bau. Disitu ada jembatan penyeberang orang (JPO). Masih muda usia JPO itu, kalau nggak salah dibangun sekira akhir tahun 2013 deh dan proses pembangunan itu dilakukan di malam hari. Lho, dari mana saya tahu ?
Kebetulan pada tahun JPO itu dibangun, saya masih ngekost di Jalan Ahmad Yani dan letak kost-an saya – hanya berjarak kurang lebih 10 meter dari JPO. Jadi saya bisa melihat atau bekennya saksi mata pembangunan JPO tadi.
Mencari tempat teduh, saya putuskan berdiri di bawah JPO yang ada bayangannya. Saya cuek saja walau ada anak-anak SMP juga berkumpul disitu. Fokus saya kepada si BRT. “Kenapa lama sekali sih ?!” Umpat saya dalam hati. Bahkan setelah hampir 30 menit, si BRT masih belum tampak juga.
Di tengah suasana reseh ini – mata saya teralihkan oleh lelaku dua bocah SD. Bocah yang satu mengenakan seragam kaus olahraga; dan bocah kedua  mengenakan seragam pramuka; serta kedua bocah ini berjenis kelamin cowok. Saya nggak sempat bertanya kelas berapa kepada mereka berdua. Lantaran saya kadung dibuat kesal dan prihatin dengan apa yang mereka lakukan.
Beberapa menit kemudian – saya lihat keduanya memegang seperti pita kaset di tangan mereka. Pita kaset itu lantas mereka ikatkan pada sebuah plastik berisi es batu. Sepertinya plastik es batu itu bekas minuman limun atau sari tebu.
Tak lama setelah diikat, pita kasetnya putus. Wajarlah. Tapi yang bikin saya penasaran ialah tujuan dua siswa SD tadi melakukan hal itu. Jangan-jangan… Maka bertanyalah saya kepada seorang di antara mereka, “Dek, kok plastiknya diikat ? Memang mau buat apa ?”
Kedua siswa itu tidak menjawab, hanya mendongak saja. Akhirnya saya tanya lagi, “Mau buat main ya ? Dijatuhkan dari atas (JPO) ?” Mereka berdua menggangguk dengan senyum gembira.
Astaga ! Saya berguman dalam hati dan spontan melarang mereka melakukan itu. “Jangan !” Kata saya. “Kamu berdua main begitu membahayakan orang. Kalau kamu menjatuhkan kantung itu ke tengah jalan dari atas (JPO) terus pengendara mobil yang kena jadi kaget dan ngerem mendadak, bisa terjadi tabrakan beruntun lho,” Lanjut saya.
Kedua siswa tadi akhirnya urung melakukan niatan mereka menjatuhkan plastik es batu ke tangah jalan. Belakangan saya tanya lagi kepada dua siswa itu. Rupanya mereka telah sering melakukan hal itu sebelumnya. Ya Tuhan ! Apa guru dan orang tua siswa tersebut, juga kakak (kalau punya) tidak pernah mengajarkan kepada dua siswa tadi mengenai JPO adalah fasilitas untuk menyeberang jalan ? Bukan fasilitas atau tempat untuk bermain ?
Tak berapa lama, BRT yang saya maksud – datang. Segera saya lambaikan tangan untuk menyetop. Sesampainya di perpusda, usai menitipkan tas – saya mencari tempat duduk yang berdekatan dengan AC. Supaya adem ! Terus terang, saya masih diliputi kesal dan prihatin dengan pemandangan yang baru saya alami ini. Hati kecil saya terus bertanya kemana sih guru-guru dua siswa tadi ? Apa saja sih yang diajarkan oleh para guru itu kepada siswanya ?
Sungguh saya prihatin – terlebih bila mengingat bahwa pendidikan sekarang, katanya makin canggih; baik dari sisi kurikulum, metode pengajaran dan sebagainya. Pokoknya wah lah ! Berkat yang canggih-canggih itu pula jangan heran biaya sekolah meroket setinggi langit – terlepas itu di sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Namun dengan segala kecanggihan yang dilabelkan pada dunia pendidikan kita – ternyata pengetahuan berlalu lintas yang sederhana (JPO) – para siswanya gagal paham !
Saya menduga para guru mengajarkannya melalui teori dalam kelas saja. Mereka (guru) tidak pernah mengajarkan secara langsung kepada siswa melalui praktek atau pendampingan. Pernah sekali saya melihat guru di SD yang tepat berada di bawah JPO – seenaknya saja menyeberang jalan. Ibu guru ini turun dari angkot di sisi kiri jalan. Lalu dengan santainya menyeberang jalan menuju ke sekolah tempatnya mengajar. Padahal disitu ada JPO dan idealnya si ibu guru menyeberang jalan dengan menggunakan JPO – sekaligus memberi teladan bagi anak didiknya.
Kalau dia tidak menyeberang melalui JPO, lantas untuk apa JPO tersebut dibangun disitu ? Hanya sebagai pemanis atau memenuhi kaidah kota ramah pejalan kaki ? Entahlah !
Selain guru, peranan orang tua siswa pun tak dapat dipisahkan. Terkadang terpikir, apakah para ortu siswa-nya itu tak pernah terbersit rasa khawatir membiarkan anaknya yang masih berstatus pelajar SD itu pulang dari sekolah sendiri ? Jika letak sekolah jauh dari jalan raya- saya masih mahfumi. Tetapi ini, letak sekolahannya tepat disisi jalan raya yang padat lalu lintas berbagai kendaraan – bahkan truk tronton pun lewat jalan tersebut. Memang, katanya di zaman serba modern ini para ortu lebih sibuk mencari nafkah ketimbang memperhatikan anak. Yah, apalagi kalau bukan biaya hidup yang semakin tinggi. Akan tetapi itu kan anak (kita) ! Anak yang kalau orang religius bilang titipan atau berkah dari Sang Ilahi atau kalau orang sekuler bilang “harta” tak ternilai. Jadi seharusnya dampingilah mereka sebaik-baiknya. Sederhana toh !
Setelah melihat keprihatinan dari aksi dua anak SD yang mengganggap JPO sebagai tempat bermain. Saya rasa ada baiknya perlu dilakukan survei dan pemetaan dulu sebelum membangun sekolah. Lokasi terbaik suatu sekolah dalam pandangan saya – idealnya berada di pinggiran kota atau kompleks perumahan. Pasalnya dengan berlokasi di pinggiran kota – tingkat kebisingan yang berasal dari suara lalu lalang kendaraan bermotor. Praktis kondisi yang lebih adem ayem ini lebih kondusif bagi proses KBM siswa.
Siswa juga lebih sehat karena terhindar dari kondisi berdebu dan polutan asap kendaraan bermotor. Sekolah yang dibangun di daerah pinggiran turut membantu mengurangi kemacetan kota. Saya kerap memperhatikan saat jam-jam masuk atau pulang sekolah. Angkot kerap ngetem untuk menurunkan atau menaikkan penumpang yang merupakan pelajar di sekolahan tersebut. Tak hanya satu dua angkot saja, melainkan banyak dan akhirnya memicu kemacetan lalu lintas di jalan depan sekolahan. Waktu perjalanan pun akhirnya molor, dari 30 menit menjadi satu jam. Sayang banget waktu terbuang percuma hanya untuk hal sepele begini !


Tulisan ini juga bisa dibaca di blog: www.kompasiana.com/linkarina
Atau Facebook Sycarita Karina Lin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar