Senin, 26 Desember 2016

NO BORDERS, Membingkai Kisah Paramedis Humanis

Paramedis (dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya) selama ini kita ketahui sebagai penyelamat nyawa manusia – diluar fakta bahwa itulah yang diwajibkan profesi mereka. Tetapi bagaimana dengan keselamatan mereka sendiri ketika melakukan penyelamatan nyawa manusia lain (pasien)? No Borders Photo Exhibition merekam dalam bidikan foto, mencoba mengingatkannya.
*

Tiga bilik berbentuk persegi panjang berukuran sekira 2x5x2 meter berdiri kokoh mengisi salah satu ruang dari lantai 5 Westmall, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Tiga bilik terbuat dari besi, setengah bagian tengah-bawah sebagai kaki dan setengah-atas memajang foto, bidikan beberapa fotografer. Foto-foto dibingkai dalam cahaya putih. Foto berupa kombinasi antara tunggal dan berseri (photostory).

Pada satu bilik lain berbentuk kubus berukuran 2x2x2 meter – yang bukan memajang foto, terpampang penjelasan mengenai penyelenggara, sejarah, profil penyelenggara. Termasuk alasan pemilihan tema No Borders yang sengaja dipilih untuk mengangkat semangat kemanusiaan yang tidak memandang ras, agama, maupun politik; menyuarakan betapa pentingnya melindungi keselamatan para pekerja kemanusiaan dan rumah sakit di tengah-tengah konflik.

Foto seorang dokter wanita menggendong bayi/Karina Lin
Sebingkai foto panjang menarik perhatian saya. Foto seorang dokter muslim perempuan tersenyum bahagia sedang mengangkat gendong bayi yang baru lahir. Makhluk mungil ini masih dibungkus kain, matanya belum membuka sempurna dengan mulutnya yang seolah hendak berkata hoam. Tidak dicantumkan siapa ibu bayi menggemaskan itu, namun tertulis dilahirkan di rumah sakit daerah konflik.

Ada lagi foto kisah Ahlan, seorang ibu muda usia 22 tahun asal provinsi Dara’a di Suriah. Dia memiliki dua anak yang semuanya dilahirkan di RS Medecins Sans Frontieres (MSF) di Irbid, Yordania. Serta tak dapat diabaikan foto-foto para pengungsi yang lari dari kampung halaman mereka, karena telah berubah jadi daerah konflik. Manusia perahu, begitu label yang disematkan kepada mereka dan bukan perjuangan mudah untuk tiba selamat di land of hope (tanah harapan) versi mereka. Tak jarang, ketika sampai di tanah harapan – individu-individu manusia perahu dalam kondisi tak berdetak.

Tentang ini, teringat saya pada esai Goenawan Mohammad (GM) yang berjudul Foto Itu. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.

Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak. (Goenawanmohammad.com, 12 September 2015)

Walau paramedis telah berjibaku nyawa menyelamatkan di tengah lautan berombak tanpa belas kasihan. Pada sisi lain, keselamatan paramedisnya pun terancam terlebih di daerah konflik misalnya Suriah. Dilansir dari dailymail.co.uk (22/6/2016), Paulo Pinheiro, Ketua UN Comission of Inquiry on Syria mengatakan kepada UN Human Rights Council bahwa serangan udara yang menarget rumah sakit dan klinik di seluruh penjuru Suriah telah mengakibatkan kematian warga sipil dan tenaga medis. ”Lebih dari 700 dokter dan tenaga medis terbunuh dalam serangan-serangan atas rumah sakit sejak awal konflik,” paparnya.

Intan, seorang staf dari MSF yang saya temui ketika photo exhibition berlangsung di Jumat, 9 Desember 2016 mengatakan pameran ini adalah kedua kalinya. Setahun lalu (2015) mereka juga mengadakan even serupa. MSF atau Doctors Without Borders sebagai penyelenggara merupakan organisasi lintas batas yang didirikan di Perancis tahun 1971 dan saat ini berkedudukan di Geneva, Swiss. Dokter-dokter yang bergabung dalam MSF berasal dari berbagai belahan dunia. Tak terkecuali dari Indonesia.

MSF dalam kaitannya dengan sejarah kita, ternyata memiliki catatan sejarah yang panjang dan bermakna. Dirujuk dari papan informasi dan peta yang berdiri tak jauh dari pintu masuk ruang foto, saya mencatat sentuhan MSF kepada bangsa Indonesia dimulai tahun 1995. Tepatnya bermula saat gempa Kerinci di Jambi. Sejak itu MSF bekerja menjadi bagian dalam penanganan medis di berbagai program hingga berakhirnya program di 2009.

Papan informasi MSF di Indonesia dan pakaian antiebola MSF/Karina Lin
Gempa Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta di 2006 menjadi dua wilayah bencana yang menjadi bagian kerja dari MSF. Dalam kedua bencana, MSF bekerja mulai dari masa tanggap darurat hingga rehabilitasi.

Selain area kerja wilayah bencana, MSF turut bekerja di wilayah biasa dengan sasaran pelayanan medis dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Beberapa daerah itu antara lain Jakarta untuk penanganan HIV/AIDS dan malaria (2003-2004); Maluku untuk penanganan TBC dan layanan kesehatan air bersih dan sanitasi bagi pengungsi konflik ambon (2003-2007); dan Papua (2006-2009) dengan program peningkatan akses layanan kesehatan untuk para perempuan, ibu dan anak di Asmat.

Begitupun MSF di negara lain. Ada satu foto menampilkan seorang petugas MSF menggendong seorang anak dan tak jauh dari petugas berjalan terdapat plang kayu bertuliskan suspect. Area kerja si petugas adalah negara di Afrika yang terkenal sebagai daerah rentan Ebola sehingga saat melakukan aksi penyelamatan pasien Ebola, petugas kesehatan MSF wajib mengenakan pakaian khusus mirip astronot supaya mereka sendiri tak terkontaminasi wabah Ebola yang notabene pasti membahayakan diri sendiri.

Proses memakai dan melepaskan pakaian khusus tak sesimpel layaknya memakai atau melepas celana legging. Ada prosedurnya kalau tak disebut sebagai ritual dansa, dan staf MSF harus patuh pada koreografi ini.

No Borders Photo Exhibition berlangsung 8-18 Desember 2016 lalu; selama sepuluh hari penyelenggaraan tak hanya pameran foto. Ada diskusi kesehatan dengan narasumber dari MSF dan bintang tamu; dan pemutaran film bertema kemanusiaan dan MSF diiringi diskusi. Even ini memang telah berakhir tetapi tidak dengan bahasa visual dari foto-foto yang dipamerkan. Kesemuanya dapat mengedukasi, selalu mengasah hati kita. Seperti terucap Y.M. Dalai Lama XIV Tensin Gyatso mengenai cinta kasih yang merupakan akar kemanusiaan.

Demikian ucapannya; Jika seorang yang sakit dirawat oleh dokter yang memberikan perhatian dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, maka orang tersebut akan merasa tenteram dan kepedulian dokter itu akan merupakan obat kesembuhan baginya, terlepas dari tingkat kepandaian dokter tersebut.


Sebaliknya, jika seorang dokter kurang rasa kemanusiaannya dan memperlihatkan rasa acuh tak acuh, maka kondisi pasien akan merasa gelisah, walaupun dokter tersebut adalah dokter paling pandai dan penyakitnya telah didiagnosa secara tepat. Tidak dapat disangkal bahwa perasaan seseorang pasien mempengaruhi penyembuhannya.*) 

Selasa, 20 Desember 2016

INGAT KOPI, INGAT TRANSPORTASI (PUBLIK)

Gubernur Ridho Mempromosikan Lacofest/Ist
Provinsi Lampung baru saja menyelenggarakan Lampung Coffee Festival (Lacofest) yang dihelat pada 7-8 Desember 2016 bertempat di Mal Boemi Kedaton (MBK). Ajang ini (dari yang terangkum di berbagai media) disebut-sebut sebagai even perkopian yang wah. Visi misnya jelas. Guna memperkenalkan atau mempromosikan kopi Lampung ke level lebih tinggi. Menilik jadwal acara, even dua hari ini cukuplah dikemas apik.

Ada perang barista, bincang dengan barista untuk menguak rahasia nikmatnya kopi Lampung,  hiburan bersama grupband nasional, minum kopi bersama komunitas, dan workshop mengenai kopi Lampung. Antusiasme juga ditularkan oleh orang nomor satu daerah ini, Gubernur Ridho turut berpartisipasi menjadi pembicara di workshop perkopian Lampung. Selain juga wara-wiri menjadi bintang iklan Lacofest di suratkabar, media online dan baliho super besar dekat bundaran Tugu Adipura, Bandar Lampung.

Media-media yang meliput Lacofest juga tak sebatas lokal. Media nasional (tapi tak usah disebut nama medianya deh) turut meliput dan memberitakan. Tentu menjadi suatu kebanggaan bilamana media lokal dan nasional antusias meliput dan memberitakan. Khusus media nasional (melalui publikasi di media mereka), artinya even dan produk yang melatarbelakangi diselenggarakannya gawean kopi ini menjangkau khalayak se-nusantara (baca: dibaca dan diketahui) – malah tak tertutup kemungkinan mancanegara. Lampung dan kopi Lampung jadi lebih dikenal oleh publik dan syukur-syukur diingat plus dipenasari (orang ingin tahu, ingin mencoba) yang imbasnya berkontribusi pada berbagai sektor daerah. Salah satunya adalah pariwisata.

Tersebar Seluruh Penjuru Lampung
Berbicara kopi Lampung, akan menjadi rangkaian yang panjang. Mengapa? Sebab ia memiliki sejarah (juga panjang), telah ada sejak zaman Belanda menduduki Indonesia, dan dalam historis tadi terangkum berbagai jenis (varian) kopi, lokasi dan sebagainya. Lampung dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di Indonesia. Dikutip dari Lampung.antaranews.com (publikasi 19/11/2015), Kepala Dinas Perindustrian Lampung, Toni L. Tobing mengatakan Lampung adalah penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia dengan luas areal 154.168 hektar. Sebanyak 70% ekspor kopi nasional berasal dari Lampung. Biji kopi jenis robusta merupakan andalan dari kopi Lampung, malah identik.

Meskipun satu jenis, yakni robusta – rasa kopi (hasil seduhan) berbda-beda. Faktor-faktor penyebab perbedaan ini antara lain lokasi penanaman pohon kopi, waktu penanaman atau pemanenan (petik) biji kopi, cara tanam atau metode tanam, usia pohon kopi, cuaca sekitar kebun kopi, cara pengolahan. Intinya dipengaruhi oleh beragam faktor. Jadi jangan dipukul rata.

Kopi Robusta yang ditanam di Ulubelu (Tanggamus) rasanya pasti berbeda dengan kopi robusta yang ditanam misalnya di Liwa (Lampung Barat), kopi Lampung Timur, kopi Pesawaran dan di masing-masing kabupaten, masih terbagi lagi wilayah penanamannya. Provinsi Lampung sendiri, hampir di semua kabupaten terdapat perkebunan kopi. Entah itu diusahakan secara mandiri, kelompok tani atau perusahaan.

Jangan heran pula bervariasinya wilayah penanaman menjadikan Lampung dibanjiri oleh berbagai merk kopi. Mulai dari yang telah melegenda karena telah eksis 100 tahun (satu abad), contohnya Kopi Lampung Cap Bola Dunia. Puluhan tahun, contohnya Kopi Naga Sakti. Hingga yang baru seumur jagung. Menurut saya, ini merupakan hal positif dalam dunia perkopian Lampung dan seharusnya tidak berhenti pada setelah menjadi produk atau brand saja. Ada hal lain yang dapat diberdayakan.

Destinasi Wisata Kopi
Afternoon Coffee/Ist 
Saya menyebutnya destinasi wisata kopi atau biar lebih mudah diingat destinasi kopi. Lho kok? Ya memang demikian, karena tempat-tempat wisata yang dikunjungi berkaitan atau berbasis kopi. Kita bisa datang ke Ulubelu, melihat kebun kopi, melihat bagaimana aktivitas warga sekitar dalam mengelola dan mengolah kopi-kopi mereka, menikmati sejuknya udara alam sana (yang pasti sangat berbeda dengan kota ya). Belajar mengenai kopi lokal dan mencicipi langsung minuman kopi disana. Membayangkan sruputannya saja, telah membuat saya bersemangat 45.

Apalagi bila dapat diwujudkan, rasa bahagia memuncak di level yang tak terjemahkan oleh kata. Sebagaimana yang telah saya sebut sebelumnya, bahwa hampir di seluruh penjuru Ruwa Jurai dapat ditemui kebun kopi, dari Barat-Timur, Selatan-Utara. Seharusnya juga menjadi mudah untuk berkunjung ke perkebunan kopi lokal, andaikata didukung (paling utama) transportasi publik yang mumpuni.

Akan tetapi (ini pangkal soalnya) realitasnya kan tidak. Sebagai contoh, bila kita hendak ke Liwa, Lampung Barat – ada trasnportasi umum berupa bus dan travel. Saya pernah tanya-tanya hal ini ke kawan yang memang asli orang sana dan sering mudik ke kampung halamannya. Jalan menuju kesana pun, dikatakan seorang sopir travel ke Liwa, bagus. Hanya berkelok-kelok saja lantaran kontur alam di Bumi Beguai Sai Jejama didominasi perbukitan.

Lalu, bagaimana dengan harga atau tarif transportasinya? Inilah yang perlu dibenahi. Sepengingat saya, bila menggunakan jasa travel, tarifnya diatas Rp50 ribu. Sedangkan menggunakan bus antar kabupaten menjadi lebih murah tapi tetap dalam harga berdigit tiga. Sampai disini saya berpikir, setelah dihitung-hitung kok lumayan juga ya biaya yang harus dikeluarkan untuk pulang pergi (pp) kesana. Padahal destinasi yang dituju masih satu provinsi. Saya ke Jakarta (yang notabene luar provinsi Lampung) hanya habis Rp100-300 ribu PP via darat.

Fokus Transportasi Publik
Tajuk Lampung Post (Lampost) edisi Senin, 28 November 2016 berjudul Membumikan Destinasi Lampung menyoroti hal ini. Mengutip tajuk disebutkan sektor pariwisata Lampung menunjukkan tren positif setiap akhir pekan. Antrean kendaraan memadati kawasan wisata di sejumlah daerah di Lampung. Terlebih saat libur panjang, jalanan makin dipadati kendaraan dari luar kota. Mereka (para wisatawan tadi) terutama dari Jabodetabek dan Sumatera Selatan.

Data statistik menunjukkan pesatnya industri wisata Lampung dalam beberapa terakhur terakhir. Pada 2014 terdapat 4 jutaan kunjungan wisata, kemudian naik menjadi 5 jutaan pada 2015. Wisatawan domestik naik sekitar satu jutaan orang. Sedangkan wisatawan mancanegara naik belasan ribu orang. Tajuk juga menyinggung soal festival-festival besar yang selalu dihelat setiap tahun oleh pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten (pemkab) serta tak ketinggalan mengenai jalan.

Aha, ini dia yang saya keluhkan selama ini. Betapa susahnya (jalan rusak), dan mahalnya biaya transportasi publik menuju destinasi-destinasi wisata Lampung. Jadi berkaca dari fakta lapangan, sebaiknya pemerintah daerah (pemda) fokus menggarap transportasi publik yang oke. Jangan melulu membikin festival atau membenahi kawasan wisatanya saja.

Menyediakan transportasi publik bukanlah hal yang mudah. Bukan sebatas jalan mulus hotmix saja. Perlu pengelolaan secara serius dan profesional serta berkontinuitas. Ada detailnya karena jalan mulus hotmix perlu dirawat agar terjaga selalu kemulusannya, moda publik yang melewati jalan hotmix tadi; apakah biayanya terjangkau semua kalangan, jam operasionalnya apakah efektif, lokasi-lokasi pemberhentian, bagaimana sisi keamanan jalan yang dilintasi (ingat begal yang masih merajalela di jalan lintas kabupaten dan provinsi), sisi keamanan dari kelayakan moda transportasi dan individu pembawanya (sopir), dan lain-lain.

Semua itu harus diberikan perhatian dan tindakan. Coba, buat apa Lampung punya kopi terenak sedunia kalau untuk menuju ke daerah penanaman kopinya bikin tongpes (kantong kempes) saking mahal biaya transportasi yang mesti dikeluarkan; mual-mual dan muntah alias senep karena jalan rusak; dan sepanjang perjalanan diliputi ketakutan akan menjadi korban begal sadis tak bertanggung jawab?

Kalau saya secara pribadi lebih menginginkan dan mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tak saat libur panjang saja alias ramai sesaat. Saya mengharapkan Lampung sebagai destinasi wisata warga luar tuh ramai sepanjang waktu dan mereka (para wisatawan yang datang) bisa tahu bahwa produk unggulan Lampung tak sebatas kopi. Ada banyak hal lain, seperti kekayaan dan kearifan budaya lokal (local genius), alam yang menetramkan, keunikan yang tidak didapat dari daerah lain.

Kalaupun mereka bisa meminum kopi Lampung, mereka dapat menikmatinya tak sebatas saat ada even bertemakan kopi (yang diadakan di mal). Lebih daripada itu, mereka bisa meminum langsung di daerah penghasilnya kapan pun dan tak mungkir meninggalkan kesan tak terlukiskan melalui kata. Hanya rasa yang abadi. Tapi tanpa transportasi publik yang baik plus membumi, sia-sialah kita selalu berkoar tentang memajukan pariwisata daerah. Sebagai pembanding, saya di Jakarta pernah membikin janji bertemu kawan di sebuah pusat perbelanjaan daerah Jakarta Timur.

Sementara saat itu, saya menumpang kawan yang berlokasi di Jakarta Barat. Mau tahu berapa ongkos yang saya keluarkan? Dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur alias ujung ke ujung hanya habis ongkos Rp8 ribu PP menggunakan moda publik Trans Jakarta. Perjalanan jauh melewati banyak perhentian halte jadi tak terasa karena bus yang nyaman berhembus AC, bahkan saya sampai tertidur di perjalanan. Bisakah Lampung seperti itu?*

Note: Artikel kopi yang dimuat dalam Lampost edisi Selasa, 20 Desember 2016 ini saya kerjakan di kost-an kawan yang berlokasi di Kebon Jeruk alisa Bonjer, Jakarta Barat. Hanya butuh beberapa jam untuk mengerjakannya (plus-plus mengetik dan mengedit). Omong-omong, kok saya bisa terdampar di Bonjer? Ya ha, ceritanya saya ke Jakarta untuk menjalani proses pengobatan penyakit lupus.

Berobat jalan, menulis pun jalan terus. Begitulah motto saya. Writing everywhere, writing anytime....      

Kamis, 15 Desember 2016

GELE HARUN, K.H. A. HANAFIAH DAN SDL

Alm. Gele Harun Nasution/Wikipedia.org
Jumat, 30 September 2016 atau seminggu yang lalu, bertempat di aula Dinas Sosial Provinsi Lampung telah dilakukan rapat pengusulan eks Residen Lampung Mr. Gele Harun Nasuition dan tokoh pejuang daerah Lampung K.H. A. Hanafiah menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Sebelumnya, kedua tokoh ini pada setahun lalu (2015) telah ditetapkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung.

Rapat pengusulan sekaligus penandatanganan yang menandakan dimulainya proses menjadi pahlawan nasional ini merupakan langkah positif dan patut diapresiasi sebaik-baiknya. Sebab (seandainya) beliau berdua lolos seleksi gelar Pahlawan Nasional maka akan bertambah lagi, pahlawan dari Bumi Ruwa Jurai yang dikenal secara nasional. Hal tersebut pastilah suatu kebanggaan tak terhingga.

Namun, langkah menjadikan beliau berdua nampaknya menjadi jalan yang cukup terjal, dan pada sisi lain – merupakan sebuah sentilan bagi sejarah daerah Lampung (SDL) dan kelampungan kita.

Proses Panjang di Literatur
Dikutip dari beberapa media lokal, Drs. Maskun, M.H., Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) mengatakan ada tujuh tahapan yang harus dipenuhi dalam proses pengajuan pahlawan daerah menuju pahlawan nasional, yang antara lain harus ada rekomendari dari Gubernur Lampung, rekomendasi dan sidang pengusulan dari TP2GD, riwayat hidup calon pahlawan nasional, biografi serta sudah dilakukan seminar nasional.

Untuk Mr. Gele Harun, lanjutnya, literaturnya telah ada – yang ditulis sendiri oleh Mulkarnaen Gele Harun (anak keenam dari almarhum) dan keluarga besarnya. Buku tersebut diluncurkan setahun yang lalu, tepatnya Sabtu, 20 September 2016. Kebetulan pada saat itu, saya masih bekerja di media online lokal dan ditugaskan untuk meliput kegiatan peluncuran buku. Satu hal yang paling saya ingat, Mulkarnaen penuh haru sampai berlinang airmata saat berbicara di depan mikrofon, mengisahkan perjuangan ayahnya (bersama K.H. A. Hanafiah) dalam mempertahankan Lampung supaya tetap ada dan menjadi bagian dari NKRI.

Sebaliknya untuk K.H. A. Hanafiah, menurut Maskun, agak sulit lantaran sampai saat ini masih minim (atau bahkan tiada) literatur (biografi) yang membahas mengenainya. Walaupun dalam hal kesaksian, tidak diragukan. Salah seorang yang menjadi saksi hidup dari perjuangan K.H. A. Hanafiah (dan Mr. Gele Harun) ialah K.H. Arief Makhya, yang dapat menceritakan atau memberi kesaksian mengenai perjuangan keduanya.

Apa yang diungkapkan oleh Maskun pada satu sisi adalah fakta karena memang benar (sepengetahuan saya) sangat sulit atau bahkan tiada literatur sejarah yang mengurai mengenai K.H. A. Hanafiah atau apabila ada – bisa jadi terpencar-pencar (dan ini perlu disatukan yang pasti memerlukan waktu panjang).

Sedangkan pada sisi lain, apa yang dinyatakan oleh Maskun merupakan sentilan bagi historiografi sejarah pahlawan dan sejarah daerah Lampung.
  
Lampungisme Sebuah Retorika?
A.L. Rowse, sejarawan dan sastrawan ternama asal negeri Ratu Elizabeth, dalam bukunya Apa Guna Sejarah? (diterbitkan oleh Komunitas Bambu, 2014) memaparkan beberapa kemanfaatan atau kegunaan daripada mempelajari sejarah (sebagai sebuah ilmu pengetahuan). Apa?

Menurutnya, sejarah memungkinkan kita memahami, lebih dari disiplin lainnya, berbagai peristiwa, masalah dan tren umum terkini. Jika Anda tak memahami dunia tempat Anda tinggal, Anda hanya akan menjadi lelucon dan menjadi korbannya (kebanyakan orang memang seperti itu. Namun tidak ada alasan untuk menjadi salah satu dari mereka. Memahami sejarah menjadi satu-satunya emansipasi kita).

Membaca peryataan Rowse tadi, membuat kita tersenyum dan lebih ekstrem lagi, tertawa. Pasalnya yang ia katakan itu kok sungguh klop dengan kondisi historiografi dan posisi sejarah daerah Lampung kita selama ini. Minim atau ketiadaan literatur mengenai K.H. A. Hanafiah memperlihatkan betapa kita telah abai sehingga menjadi lelucon dan menjadi korbannya; dan semakin aneh, mengapa kita kok tahan berada dalam kondisi serupa ini menahun? Dan mengapa pula setelah mengetahui kondisi seperti ini, kok tiada usaha lekas-lekas untuk ah katakanlah menebusnya.

Buku Biografi Alm. Gele Harun Nasution/Ist
Begitupun dengan literatur untuk Mr. Gele Harun yang meskipun ada, baru digarap serius dan diluncurkan di tahun 2015 alias setahun lalu serta yang menulisnya ialah keluarga almarhum. Bukan dari pihak pemerintah daerah (pemda). Padahal peranan dan jasa beliau terhadap Lampung berpuluh tahun lebih lama dari buku tersebut diluncurkan dan tentu saja tidak diragukan lagi. Dikutip dari laman lampungheritage.com, Gele Harun Nasution ialah Acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) dari 1949-1955.

Kronologis pengangkatannya berawal dari Agresi Militer II yang dilakukan oleh Belanda. Pada tahun 1949, saat tentara Belanda mendarat di Pelabuhan Panjang, begitu keluar yang pertama kali dicari adalah rumah Gele Harun. Karena itulah, dia langsung memboyong keluarga dan stafnya ke Pringsewu. Pada 5 Januari 1949, di sebuah pendopo di Pringsewu diadakan musyawarah guna menentukan pemerintahan Karesidenan Lampung. Rapat kecil ini lantas memustukan mengangkat Letkol Mr. Gele Harun sebagai Acting Residen Lampung menggantikan Residen Rukadi yang berada di Tanjungkarang yang kala itu masih diduduki Belanda.

Seandainya beliau tidak menereima posisi tersebut maka, Lampung tak lagi menjadi bagian dari NKRI saat itu.

Sampai disini, saya berkontemplasi, dimanakah kelampungan kita? Seberapa besar kah kadar lampungisme kita? Lalu dimanakah peranan para sejarawan dan guru sejarah kita? Dimana, dimana, bagaimana, bagaimana? Ah ya, saya baru ingat (lagi) bahwa Lampung tidak memiliki Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang mana ilmu sejarah dan Lampungisme (apabila ada FIB) masuk dalam lingkup fakultas tersebut. Program studi yang dimiliki oleh Universitas Lampung – universitas kebanggaan kita – barulah sebatas FKIP yang lebih menitikberatkan pada pendidikan sejarah dan mencetak guru sejarah.

Justru sejarawan-sejarawan yang menggarap Lampung beserta isinya kebanyakan dari luar Lampung atau bukan anak daerah sendiri. Perhatian dari pemda pun – menurut amatan saya – masih minim. Coba, berapa besar anggaran untuk mengkaji – contohnya saat ini, peranan Mr. Gele Harun dan K.H. A. Hanafiah? Jangan-jangan dana untuk pengkajian itu bukan dari pemda, melainkan dari kantung pribadi keluarga almarhum.

Penulis Afrika Amerika, Marcus Garvey dalam salah satu quotes-nya yang terkenal menulis demikian a people without the knowledge of their past history, origin and culture lake a tree without roots. Kutipan Garvey memang mencerminkan kondisi di Bumi Ruwa Jurai. Tak mengherankan bila begal bertumbuh subur dan mirisnya para begal ini berasal dari kalangan muda usia – yang idealnya menjadi pemuda produktif membangun daerah dan negara. Bahkan banyak dari mereka yang kiprah kebegalannya telah menasional malah tak segan-segan bertindak sadis ketika melancarkan aksinya. Contohnya aksi begal di Cipondoh, Tangerang dalam bulan Juni 2016 lalu. Setelah diidentifikasi oleh pihak kepolisian setempat, diketahui bahwa kedua begal ini berasal dari Negara Batin, Jabung, Lampung Timur dan berusia 26 tahun.

Kemudian pembangunan pun menjadi kurang jelas atau kurang mantap arah pijakannya. Cukup sering saya bertanya, provinsi Lampung ini hendak membangun yang bagaimana dan menjadi daerah apa?

Menyikapi fakta kekinian ini, patut kita renungi sekaligus bergegas mengambil langkah atau kebijakan nyata. Dalam blue print versi saya – yang paling utama harus dilakukan ialah mendirikan FIB (dengan salah satu cabang ilmu didalamnya adalah Sejarah Daerah Lampung (SDL). Kemudian memperkuat peran guru sejarah dalam menyebarluaskan atau mendidik siswanya mengenai tokoh-tokoh atau pahlawan daerah Lampung dalam perjuangan – baik sebelum, sesudah kemerdekaan termasuk masa kini.

Tujuannya menanamkan Lampungisme sejak dini atau muda usia. Makin muda, makin baik supaya kecintaan dan apresiasinya makin meresap. Jangan sampailah para anak muda menjadi lelucon sesat sejarah daerahnya, misalnya menyebut Mr. Gele Harun sebagai mister. Padahal Mr merupakan kependekan gelar sarjana hukum warisan Belanda, yaitu mester in de rechten. Mempelajari sejarah, membuka mata batin kita akan daerah Lampung yang sekarang kita tempati.

Omong-omong soal guru sejarah, saya punya cerita lucu dan agak aneh. Sebutlah dia adik tingkat saya di FKIP prodi Pendidikan Sejarah Unila (dulu). Sekarang dia telah menjadi guru sejarah di kabupaten dari provinsi Lampung. Menarik sekaligus lucunya adalah postingan statusnya yang selalu berbau Korea. Misalnya saat drama Korea Descendant of Sun sedang booming di Indonesia dan Asia, status-status postingannya selalu mengenai Kang Mo Jin dan lain-lain (tokoh yang diperankan oleh aktris cantik asal Korea Selatan, Song Hye Kyo) atau kekecewaannya melewatkan menonton drama Korea tadi.

Secara HAM, hal tersebut ialah haknya. Tetapi secara profesi, menjadi antiklimaks. Jangan heran dengan kondisi seperti itu, nama-nama aktris dan aktor lebih familiar di kalangan pelajar daerah Lampung atau anak kuliahan ketimbang nama Pahlawan Daerah Lampung. Lha, guru sejarahnya Koreaisme kok. Bukan Lampungisme.

Rowse menulis, sejarah merupakan kajian dengan sifat manusia, sepanjang waktu, termasuk biografi tokoh besar sejarah dan itulah sebabnya mengapa mempelajari sejarah sangat bermanfaat. Dalam kaitannya dengan SDL, supaya kita tahu (para anak muda, begal, koruptor dan orang-orang jahat asal Lampung) pun orang-orang baiknya, mengetahui plus meresapi amat sangat bahwa provinsinya tidaklah ada dalam sekejap – melainkan ada karena proses panjang yang terdiri dari usaha, cinta, darah dan airmata dari pahlawan-pahlawan daerah seperti Mr. Gele Harun Nasution, K.H. A. Hanafiah, dan lain-lain.*


Sedikit catatan; artikel ini sungguh berkesan bagi saya. Pasalnya ditulis semasa saya diopname empat hari di Rumah Sakit Advent (RSA) Bandar Lampung. Saat itu, pada Rabu, 5 Oktober 2016 kondisi saya dinyatakan drop karena lupus. Internis yang selama ini menangani, menyarankan saya rawat inap. 

Nah selama dirawat inap itulah saya mengerjakannya. Tak secara terus menerus. Dicicil karena saya dalam kondisi kurang sehat. Sekitar 1-2 jam setiap hari saya menulis, diselingi istirahat kalau lelah.

Naskah ini lantas saya kirim ke Lampung Post dan dipublikasikan pada Selasa, 18 Oktober 2016. Alamat online-nya http://www.lampost.co/berita/gele-harun-kh-a-hanafiah-dan-sejarah-lampung. Tanpa disangka, di sore hari yang sama dengan tanggal publikasi, anak almarhum Gele Harun Nasution yakni Pak Mulkarnaen Gele Harun menelpon saya. Dalam nada perbincangan, tersirat apresiasi dirinya terhadap artikel yang saya tulis.