Paramedis
(dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya) selama ini kita ketahui
sebagai penyelamat nyawa manusia – diluar fakta bahwa itulah yang diwajibkan
profesi mereka. Tetapi bagaimana dengan keselamatan mereka sendiri ketika
melakukan penyelamatan nyawa manusia lain (pasien)? No Borders Photo Exhibition merekam dalam bidikan foto, mencoba
mengingatkannya.
*
Tiga
bilik berbentuk persegi panjang berukuran sekira 2x5x2 meter berdiri kokoh
mengisi salah satu ruang dari lantai 5 Westmall, Grand Indonesia, Jakarta
Pusat. Tiga bilik terbuat dari besi, setengah bagian tengah-bawah sebagai kaki
dan setengah-atas memajang foto, bidikan beberapa fotografer. Foto-foto
dibingkai dalam cahaya putih. Foto berupa kombinasi antara tunggal dan berseri
(photostory).
Pada
satu bilik lain berbentuk kubus berukuran 2x2x2 meter – yang bukan memajang
foto, terpampang penjelasan mengenai penyelenggara, sejarah, profil
penyelenggara. Termasuk alasan pemilihan tema No Borders yang sengaja dipilih untuk mengangkat semangat
kemanusiaan yang tidak memandang ras, agama, maupun politik; menyuarakan betapa
pentingnya melindungi keselamatan para pekerja kemanusiaan dan rumah sakit di
tengah-tengah konflik.
Foto seorang dokter wanita menggendong bayi/Karina Lin |
Sebingkai
foto panjang menarik perhatian saya. Foto seorang dokter muslim perempuan
tersenyum bahagia sedang mengangkat gendong bayi yang baru lahir. Makhluk
mungil ini masih dibungkus kain, matanya belum membuka sempurna dengan mulutnya
yang seolah hendak berkata hoam.
Tidak dicantumkan siapa ibu bayi menggemaskan itu, namun tertulis dilahirkan di
rumah sakit daerah konflik.
Ada
lagi foto kisah Ahlan, seorang ibu muda usia 22 tahun asal provinsi Dara’a di
Suriah. Dia memiliki dua anak yang semuanya dilahirkan di RS Medecins Sans Frontieres (MSF) di Irbid,
Yordania. Serta tak dapat diabaikan foto-foto para pengungsi yang lari dari kampung
halaman mereka, karena telah berubah jadi daerah konflik. Manusia perahu,
begitu label yang disematkan kepada mereka dan bukan perjuangan mudah untuk
tiba selamat di land of hope (tanah
harapan) versi mereka. Tak jarang, ketika sampai di tanah harapan –
individu-individu manusia perahu dalam kondisi tak berdetak.
Tentang
ini, teringat saya pada esai Goenawan Mohammad (GM) yang berjudul Foto Itu. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai.
Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan
tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah
kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.
Kemudian
diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur
lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka
terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja
jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari
bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di
antaranya anak-anak. (Goenawanmohammad.com,
12 September 2015)
Walau
paramedis telah berjibaku nyawa menyelamatkan di tengah lautan berombak tanpa
belas kasihan. Pada sisi lain, keselamatan paramedisnya pun terancam terlebih
di daerah konflik misalnya Suriah. Dilansir dari dailymail.co.uk (22/6/2016),
Paulo Pinheiro, Ketua UN Comission of Inquiry on Syria mengatakan kepada UN
Human Rights Council bahwa serangan udara yang menarget rumah sakit dan klinik
di seluruh penjuru Suriah telah mengakibatkan kematian warga sipil dan tenaga
medis. ”Lebih dari 700 dokter dan tenaga medis terbunuh dalam serangan-serangan
atas rumah sakit sejak awal konflik,” paparnya.
Intan,
seorang staf dari MSF yang saya temui ketika photo exhibition berlangsung di Jumat, 9 Desember 2016 mengatakan
pameran ini adalah kedua kalinya. Setahun lalu (2015) mereka juga mengadakan
even serupa. MSF atau Doctors Without
Borders sebagai penyelenggara merupakan organisasi lintas batas yang
didirikan di Perancis tahun 1971 dan saat ini berkedudukan di Geneva, Swiss.
Dokter-dokter yang bergabung dalam MSF berasal dari berbagai belahan dunia. Tak
terkecuali dari Indonesia.
MSF
dalam kaitannya dengan sejarah kita, ternyata memiliki catatan sejarah yang
panjang dan bermakna. Dirujuk dari papan informasi dan peta yang berdiri tak
jauh dari pintu masuk ruang foto, saya mencatat sentuhan MSF kepada bangsa
Indonesia dimulai tahun 1995. Tepatnya bermula saat gempa Kerinci di Jambi.
Sejak itu MSF bekerja menjadi bagian dalam penanganan medis di berbagai program
hingga berakhirnya program di 2009.
Papan informasi MSF di Indonesia dan pakaian antiebola MSF/Karina Lin |
Gempa
Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta di 2006 menjadi dua wilayah bencana yang menjadi
bagian kerja dari MSF. Dalam kedua bencana, MSF bekerja mulai dari masa tanggap
darurat hingga rehabilitasi.
Selain
area kerja wilayah bencana, MSF turut bekerja di wilayah biasa dengan sasaran
pelayanan medis dan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Beberapa daerah
itu antara lain Jakarta untuk penanganan HIV/AIDS dan malaria (2003-2004);
Maluku untuk penanganan TBC dan layanan kesehatan air bersih dan sanitasi bagi
pengungsi konflik ambon (2003-2007); dan Papua (2006-2009) dengan program
peningkatan akses layanan kesehatan untuk para perempuan, ibu dan anak di
Asmat.
Begitupun
MSF di negara lain. Ada satu foto menampilkan seorang petugas MSF menggendong
seorang anak dan tak jauh dari petugas berjalan terdapat plang kayu bertuliskan
suspect. Area kerja si petugas adalah negara di Afrika yang terkenal sebagai
daerah rentan Ebola sehingga saat melakukan aksi penyelamatan pasien Ebola,
petugas kesehatan MSF wajib mengenakan pakaian khusus mirip astronot supaya
mereka sendiri tak terkontaminasi wabah Ebola yang notabene pasti membahayakan
diri sendiri.
Proses
memakai dan melepaskan pakaian khusus tak sesimpel layaknya memakai atau
melepas celana legging. Ada
prosedurnya kalau tak disebut sebagai ritual dansa, dan staf MSF harus patuh
pada koreografi ini.
No Borders Photo
Exhibition berlangsung 8-18 Desember 2016 lalu; selama sepuluh hari
penyelenggaraan tak hanya pameran foto. Ada diskusi kesehatan dengan narasumber
dari MSF dan bintang tamu; dan pemutaran film bertema kemanusiaan dan MSF
diiringi diskusi. Even ini memang telah berakhir tetapi tidak dengan bahasa
visual dari foto-foto yang dipamerkan. Kesemuanya dapat mengedukasi, selalu mengasah
hati kita. Seperti terucap Y.M. Dalai Lama XIV Tensin Gyatso mengenai cinta
kasih yang merupakan akar kemanusiaan.
Demikian
ucapannya; Jika seorang yang sakit
dirawat oleh dokter yang memberikan perhatian dengan rasa kemanusiaan yang
tinggi, maka orang tersebut akan merasa tenteram dan kepedulian dokter itu akan
merupakan obat kesembuhan baginya, terlepas dari tingkat kepandaian dokter
tersebut.
Sebaliknya, jika seorang dokter
kurang rasa kemanusiaannya dan memperlihatkan rasa acuh tak acuh, maka kondisi
pasien akan merasa gelisah, walaupun dokter tersebut adalah dokter paling
pandai dan penyakitnya telah didiagnosa secara tepat. Tidak dapat disangkal
bahwa perasaan seseorang pasien mempengaruhi penyembuhannya.*)