Rabu, 25 Juni 2014

Bus ‘Ribet Tenan’



Kisruh BRT terjadi lagi, yang ditandai dengan aksi mogok karyawannya mulai hari Senin, 21 Januari lalu. Entah hingga kapan aksi mogok ini akan berlangsung, sebab sampai dengan Kamis (24/1) bus yang dominan berwarna hijau ini terlihat jarang berhilir mudik di Kota Bandar Lampung. Alasan mogok awak BRT masih sama dengan penyebab mereka mogok dalam bulan Desember lalu. Yakni persoalan gaji yang belum dibayarkan oleh pihak konsorsium Trans-Bandar Lampung.
Pihak Trans-Bandar Lampung yang selama ini kerap berkilah pada saat didemo soal gaji, kali ini pada akhirnya menyerah dengan mengakui bahwa mereka memang menunggak membayar gaji karyawannya. Pihak manajeman tidak mampu membayar tunggakan gaji karyawannya selama dua bulan sebesar Rp 1,8 miliar.
Utang Rp 1,8 miliar itu bukanlah nominal yang sedikit. Terutama lagi bila kita mengingat betapa keberadaan BRT Trans-Bandar Lampung barulah seumur jagung dan betapa selama bus hijau ini beroperasi sangat dianakemaskan.

Praktek Cuci Tangan
Menarik sekaligus menyedihkan, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab malah melakukan praktek cuci tangan. Beberapa kali pihak manajemen Trans Bandar Lampung menyatakan bahwa penyebab kerugian karena ada kebocoran pendapatan operasional yang dilakukan oleh awak BRT. Padahal jika kita telusuri, kita menemukan bahwa pihak manajemen memang sudah salah langkah semenjak awal.
Contohnya terlalu percaya diri menambah rute koridor yang ada hanya dalam waktu beberapa bulan. Dalam blog yang ditulis oleh Ilham Malik (salah seorang staf ahli Walikota Bandar Lampung), dengan kebangggan luar biasa menulis “dalam tempo 5 bulan, yaitu sekitar April, BRT Bandar Lampung sudah memiliki 7 koridor (trayek) dengan jumlah armada beroperasi hingga saat ini mencapai 180 unit”.
Kentara sekali bahwa intensnya pembukaan koridor baru itu hanya mengejar kuantitas, bukan kualitas. Kuantitas bahwa dalam waktu singkat sudah banyak koridor (ditambah non sibsidi)). Tampaknya pihak manajemen Trans-Bandar Lampung kelewat percaya diri sehingga berani terus menambah armada BRT (sekarang sekitar 250 unit) dan merekrut awak dalam jumlah banyak. Semakin parah, perekrutan awak BRT bukan direkrut dari para supir angkot, tetapi dari awak PO bus.
Sementara pihak Pemerintah Kota (pemkot) Bandar Lampung lepas tangan dengan sepenuhnya menyalahkan pihak manajemen Trans-Bandar Lampung. Dalih yang dipakai ialah Trans-Bandar Lampung melakukan salah kelola dan sebagainya-dan sebagainya yang sampai mengakibatkan pihak manajeman Trans memiliki hutang sebsar RP 1,8 miliar dan terancam gulung tikar.
Padahal, Pemkot juga punya andil dalam memuluskan dimulainya operasional BRT. MoU yang diteken oleh pihak Trans Bandar Lampung itu kan kesepakatannya dibuat bersama Pemkot. Pemkot pula yang menjadi regulator dari operasional BRT.

Tanggung Jawab Bersama
Saya pikir kisruh BRT ini merupakan tanggung jawab bersama. Sudah bukan saatnya saling menyalahkan dan melakukan praktek cuci tangan. Bagi Trans-Bandar Lampung, satu-satunya langkah paling realistis dan bijak pada saat ini ialah dengan menjual armada BRT yang sudah dibeli.
Koridor yang ada, yang telah dibuka harus dikurangi dan lakukan kajian ulang menyangkut operasionalnya, semisal sistem ticketing, SDM di lapangan, rute, pembangunan halte dan tak luput ialah jenis BBM yang digunakan serta ukuran bus yang beroperasi.
Bagi pihak Pemkot, okelah telah memberi dana talangan Rp 1 miliar untuk membayar (sementara waktu) tunggakan gaji para awak BRT. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah dan seharusnya bisa lebih dari itu, yakni dengan memberi subsidi.
Memang Walikota Herman HN kerap berujar tak akan menyubsidi BRT, dilatarbelakangi oleh a) dalam kesepakatan MoU telah disebut tidak ada subsidi dan b) Pemkot tidak memiliki dana yang cukup.
Okelah, itu juga masih bisa diterima. Namun pihak pemkot ada baiknya belajar dari kasus Trans-Semarang. Saya tidak tahu apakah pada awal diluncurkannya, Trans-Semarang juga menggusung konsep BRT nonsubsidi.
Hanya saja setelah beropersional beberapa bulan, Trans-Semarang mengalami kerugian. Walikota Semarang, Sukarwi Sutarip pada awalnya bersikukuh menolak tak mau menyubsidi Trans Semarang dengan dalih (versinya) pihak swasta (operator Trans-Semarang) seharusnya dapat memperoleh keuntungan
Walau entah apa penyebabnya, untunglah Sukarwi (beberapa bulan kemudian) berubah pikiran dan bersedia menyubsidi Trans-Semarang. Walikota Bandar Lampung tentu bisa memetik hikmah dari kasus Trans-Semarang ini. Sekaligus juga mengulang pernyataan dari Christiono dalam Diskusi Publik yang difasilitasi Instran mengenai pengembangan BRT Bandar Lampung bulan Februari 2012 lalu, “BRT tanpa subsidi pasti mati.” (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 31 Januari 2013)

BRT: Mati Enggan, Hidup pun Segan



Nasib BRT Kota Bandar Lampung kembali digantung. Hal ini dipicu oleh pernyataan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung yang mengultimatum pihak Konsorsium Trans Bandar Lampung supaya menyelesaikan permasalahan keuangan mereka dalam tempo satu bulan. Melengkapi ultimatum tersebut, Walikota Herman HN menyatakan apabila sampai satu bulan mendatang Trans Bandar Lampung gagal menyelesaikan masalah keuangannya maka Pemkot Bandar Lampung akan menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain (Lampung Post, Selasa 19/2).
Sebagai warga, kita tentu menyambut baik ultimatum yang dikeluarkan oleh Walikota Herman HN. Setidaknya (melalui ultimatum itu) tersirat ada itikad baik dari pemkot untuk mempertahankan keberadaan angkutan umum tersebut tetap beroperasi di Kota Tapis Berseri ini. Namun bersamaan dengan itu, ultimatum tersebut sebenarnya juga merupakan sebuah blunder bagi pihak Pemkot Bandar Lampung dan Konsorsium Trans Bandar Lampung.

Di mana Blundernya ?
Mari kita cermati lagi pernyataan dari Pemkot Bandar Lampung (dan Walikota Herman HN). Ultimatum yang mereka nyatakan ialah memberi tenggat waktu satu bulan bagi pihak Konsorsium Trans Bandar Lampung untuk menyelesaikan masalah keuangan dan kalau gagal maka pemkot akan menyerahkan pengelolaan BRT kepada pengusaha lain.
Pernyataan pemkot yang bagian akhir itulah yang merupakan blunder bagi pihak Pemkot Bandar Lampung. Melalui pernyataan tersebut, terlihat sekali betapa pemkot tidak peduli sepenuh hati dengan kepentingan warganya dalam mengupayakan hal transportasi publik. Inisiatif pemkot yang (akan) mengoper operasional BRT ke pengusaha lain sebenarnya menunjukkan bahwa keberadaan BRT hanya bagian dari bisnis semata, bukan diusahakan sebagai suatu bentuk kesadaran dan kepedulian untuk melayani kepentingan warga dalam hal moda transportasi publik dalam kota.
Sedangkan bagi pihak Trans Bandar Lampung, blunder ini tampak melalui ultimatum yang dikeluarkan oleh pemkot setempat. Maksudnya begini; BRT Trans Bandar Lampung telah beroperasi selama satu tahun (mulai Desember 2011), selama beroperasi, BRT telah sangat dianakemaskkan (tidak membayar retribusi, menggusur Damri dan angkot dan lain-lain). Nyatanya, BRT malah bermasalah keuangannya.

Solusi Galau
Dalam Tajuk Lampung Post (Kamis, 20 Februari 2013) disebutkan pemkot dapat mempertimbangkan kembali peran Damri dalam mengelola BRT. Namun jika memang pemkot sungguh menindaklanjuti wacana ini, merupakan suatu ironisitas. Sebab ketika awal program BRT digelontorkan telah ada wanti-wanti supaya keberadaan BRT tidak boleh menggusur Damri yang sudah melayani warga Lampung selama lebih dari 30 tahun.
Dalam Diskusi Publik Pengembangan BRT Bandar Lampung yang difasilitasi Instran, Christiono dari Kementerian Perhubungan Pusat (Februari 2012) bahkan sudah mengingatkan hal ini. Dia mengatakan Konsorsium Trans Bandar Lampung tidak boleh melupakan sejarah perjuangan Damri dalam melayani mobilitas warga Lampung. Meskipun secara finansial Damri yang melayani warga Bandar Lampung merugi.
Christiono juga mempertanyakan, “Apakah hal yang sama akan dapat dijalankan oleh Konsorsium Trans Bandar Lampung ? Bila tidak, kelak masyarakat Bandar Lampung bisa-bisa tidak terlayani oleh angkutan umum karena angkutan umum seperti Damri telah tergusur, sedangkan BRT Trans Bandar Lampung sudah tidak mampu melayani lagi. Kenyataannya inilah yang sekarang terjadi.
Secara teori, BRT hanya bisa menaikkan dan menurunkan penumpang di halte yang telah tersedia. Namun secara praktek, pakem tersebut diterabas. BRT pun menjadi angkot gaya baru.
Jadi kenapa nanti Pemkot Bandar Lampung tidak menjual BRT secara lelang saja ? Di mana masing-masing peminat, boleh membeli BRT, misalnya maksimal 2 unit per orang. Bukankah dengan cara demikian jauh lebih mudah dan tidak membuat galau ? (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 28 Februari 2013/ Karina Lin)

Minggu, 22 Juni 2014

Antiklimaks BRT Kita



BRT ! Lagi-lagi moda angkutan umum di Kota Tapis Berseri ini menjadi buah bibir. Jika dulu-dulu karena demo dari sejumlah pihak yang tak berkenan dengan keberadaannya, kali ini BRT diberitakan lantaran pemogokan yang dilakukan karyawan BRT-nya sendiri. Mogok Selasa (18/12) ini masih kelanjutan pemogokan sebelumnya yang dilakukan pada akhir bulan 27 November lalu.
Karyawan mogok karena gaji. Mengutip Tajuk Lampung Post, Kamis (29/11) disebutkan telah dua bulan (September-Oktober)  karyawan BRT tidak menerima gaji” (namun dari bisik-bisik, bukan dua bulan melainkan tiga bulan belum dibayar gaji).
 Persoalan lantas selesai, setelah (beberapa hari kemudian) pihak konsorsium BRT membayarkan gaji para karyawannya. Namun, rupa-rupanya gaji yang dibayarkan tersebut belumlah seluruhnya. Malahan kabar paling baru menyebutkan bila gaji mereka bulan November juga belum dibayar.

Terlalu Menggampangkan
Pihak-pihak yang berkepentingan (selaku pembuat kebijakan dan pengeksekusi kebijakan) punya perspektif dan mentalitas yang terlalu menggampangkan ketika memprogramkan BRT. Setidaknya ada empat pihak, yaitu pihak Konsorsium BRT, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung), Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandar Lampung dan DPRD Kota Bandar Lampung.
Mentalitas terlalu menggampangkan dari pihak Konsorsium tampak dalam tiga hal mendasar BRT. Pertama, penetapan rute atau trayek BRT. Semenjak resmi dioperasikan, BRT terus menambah rute (koridor) dan sampai saat ini, BRT telah memiliki 10 koridor. Banyak rute, kok tekor ?
Dalam Diskusi Publik Pelayanan Transportasi Umum Perkotaan Melalui Pengembangan BRT di Kota Bandar Lampung, Februari 2012, terungkap jalur koridor yang ada tidak didasarkan pada hasil kajian akademis, tetapi lebih kepada kekuasaan bahwa di jalur tersebut telah ada moda angkutan umum sebelumnya dan pernah memiliki demand besar.
Kedua, ukuran kendaraan yang digunakan untuk BRT terlalu kecil. BRT yang sekarang ini digunakan tak ubahnya dengan DAMRI, hanya berbeda modelnya saja (kursi berjajar memanjang dari depan ke belakang dan memiliki bukaan pintu samping).
Ketiga, jalur kuning yang sedang digodok, mengambil sisi kiri badan jalan. Pemikirannya gampang. Karena kendaraan kan pasti minggirnya di sebelah kiri dan selama ini, baik DAMRI atau pun angkot pun begitu.
Pihak Pemkot Bandar Lampung yang entah dikarenakan percaya atau tak ingin repot pun, menyetujui saja sistem dan praktek BRT tersebut. Sedangkan pihak Dishub Kota Bandar Lampung yang notabene harusnya paham keadaan lalu lintas dan transportasi kota-nya pun bersikap sami mawon dengan Pemkot Bandar Lampung.

Solusi Sepenuh Hati
Karena program BRT sudah terbilang kepalang tanggung. Satu-satunya langkah yang bisa ditempuh ialah melakukan koreksi lalu mengupayakan solusi. Beberapa solusi berikut bisa dipertimbangkan. Pertama,sementara BRT terus berjalan, pihak Konsorsium BRT bersama Pemkot dan Dishub Bandar Lampung harus melakukan survei lagi mengenai koridor-koridornya.
Jika masih belum bisa, maka solusi kedua, yaitu terpaksa pihak konsorsium harus melego BRT yang terlanjur dibeli (itu pun kalau bisa) atau kita bisa mencontoh Kota Solo yang memfungsikan bus dalam kota sebagai kendaraan wisata juga.
Ketiga, mengenai pembuatan jalur khusus itu harus di sisi kanan, bukan di sisi kiri ! Saya kira dalam penetapan jalur, belum terlambat untuk diubah. Ingat kejadian pada pertengahan November lalu, dimana seorang sopir BRT jurusan Rajabasa-Sukaraja melindas seorang pesepeda motor hngga tewas. Seandainya jalur BRT berada di sisi kanan, pasti insiden kecelakaan itu bisa dihindari. Serta harus pula terintegrasi dengan halte dan jembatan penyeberangan. Tanpa halte dan jembatan penyeberangan, jangan harap program BRT akan berhasil maksimal.
Keempat, sosialisasi kepada seluruh masyarakat Kota Bandar Lampung mengenai sistem yang dianut BRT. Harus naik dimana, turun dimana, berapa harga tiketnya dan gimana cara kerjanya. Sosialisasi ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Tak cuma oleh para petugas BRT, namun juga melalui informasi yang bisa ditempelkan di halte-halte BRT.
Kelima, petugas BRT harus diseleksi dengan benar-benar memiliki integritas terhadap profesinya. Mereka harus paham rute-rute dari koridor yang merupakan area kerjanya. Sepanjang rute itu ada landmark apa saja, nama jalannya apa saja dan halte/ feeder-nya ada di titik mana saja. Benahi sistem perekrutan, seleksi kembali dari petugas yang telah ada. Pilih petugas yang benar-benar punya dedikasi terhadap pekerjaannya.
Keenam, sistem pengutipan tiket harus diubah. Bukan kondektur yang mengutip di dalam bus. Melainkan penumpang membeli tiket di loket yang ada di halte BRT. Sesungguhnya, tanpa pemasangan alat sensor pun pembelian tiket memang harus dilakukan di loket. Trans-Jakarta memberlakukan cara seperti itu. Malah aneh kok BRT mengutip tiket di dalam bus.
Ketujuh, idealnya BRT berukuran lebih besar sedikit lagi dari ukuran yang sekarang atau dijadikan bus gandeng sehingga lebih besar daya tampungnya dan lebih luas ruangnya serta lebih menghemat bahan bakar.
Kedelapan, solusi bahan bakar pun, harusnya pihak-pihak yang bersangkutan legawa dengan mengupayakan bahan bakar yang lebih murah tetapi tetap berkualitas.
Akan tetapi, bila tetap ngotot maka ksembilan, BRT harus menambah jam operasionalnya hingga malam. Bukan mulai pukul 06.00-18.00, melainkan menjadi pukul 06.00-22.00.
Walikota Herman HN menyatakan menolak menyubsidi BRT dengan landasan di luar kesepakatan MoU. Penolakan beliau untuk mensubsidi BRT ini sejujurnya merupakan “langkah mundur” dan kalau tidak dibilang sebagai arogansi. Subsidi, dikatakan oleh Christiono dari BSTP Kementerian Perhubungan (yang turut menjadi narasumber dalam diskusi pengembangan BRT Bandar Lampung, Februari 2012) itu mutlak diperlukan.
BRT tanpa subsidi, tinggal menghitung hari kematiannya, karena pasti bangkrut. Pengalaman di banyak kota di dunia, BRT memerlukan subsidi dari pemerintah karena itu merupakan bagian dari pelayanan publik. Sepertinya BRT kita sedang memasuki fase itu (kematian). (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi 2013/ Karina Lin)

ANAS PUN TERPICUT SUPERSEMAR

Kalender sejarah Indonesia mencatat tanggal 11 Maret sebagai hari Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Umum mengetahui, tepat di tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno “konon” menyerahkan kekuasaannya ke Soeharto. Berbekal surat sakti itu, Soeharto beberapa bulan kemudian naik tingkat. Sukses menasbihkan dan ditasbihkan sebagai Presiden RI yang kedua sekaligus terlama (32 tahun) dalam sejarah pemerintahan negara kita.
Oleh Soeharto sendiri (tentu dengan kecerdikannya), nama Supersemar lantas diabadikan untuk menamai salah satu yayasan miliknya yang dikelola keluarganya. Yayasan Supersemar ini berfokus pada bidang edukasi, misalnya program beasiswa Supersemar bagi mahasiswa berprestasi tapi lemah ekonomi.
Tetapi, kembali ke soal Supersemar, benarkah Supersemar merupakan penanda atau simbol Soekarno menyerahkan tampuk jabatan dan kuasanya kepada Soeharto ?

Kontroversi, Mencari Naskah Asli dan Alih Tanggung Jawab
Ilustrasi Supersemar/Ist
Dalam kalangan sejarawan, sampai detik ini sesungguhnya masih banyak pertanyaan yang menggantung seputar Supersemar ini. Baskara T. Wardaya, sejarawan dan penulis buku Membongkar Supersemar ! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (Galangpress, 2007) mengungkap sejumlah pertanyaan menggantung terkait munculnya Supersemar, antara lain: 1) Apakah surat itu dibuat Bung Karno secara sukarela atau di bawah tekanan ?; 2) Siapa yang mengetik naskah asli surat itu ?; 3) Apakah surat yang sempat beredar di kalangan elit dan militer waktu itu adalah surat yang asli yang ditandatangani oleh Bung Karno ataukah salinannya yang telah diubah-ubah sesuai kepentingan pihak-pihak tertantu ?; dan 4) Dimana sebenarnya naskah asli surat perintah itu kini ?
Dalam hal ini, pertanyaan keempat merupakan yang terpenting karena merupakan kunci pembuka misteri serta petunjuk untuk diadakannya penyelidikan sejarah lebih lanjut yang niscaya menjawab tiga pertanyaan lainnya. Juga menjawab apakah Supersemar hanya sebagai estafet tanggung jawab atau sekalian estafet kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto ?
Memang di Sekretariat Negara terdapat dua naskah Supersemar. Brigjen M. Jusuf (salah seorang saksi kunci Supersemar) juga memiliki naskah Supersemar lengkap dengan tandatangan Bung Karno. Namun semuanya ditenggarai palsu karena masing-masing isinya berbeda.
Kalau demikian (untuk sementara ini) dengan berpatokan pada nama yang disematkan, bisa dikatakan Supersemar hanya merupakan surat perintah memberi amanah kepada Soeharto untuk mengamankan situasi dan kondisi Indonesia yang waktu itu masih belum pulih pasca pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang dipercayai didalangi oleh PKI.
Mengutip kembali dari Baskara, dikatakan olehnya tampak sekali Soeharto menggunakan Supersemar sebagai perintah Presiden (executive order) itu sebagai transfer of authority. Seolah Bung Karno menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada Soeharto sehingga Soeharto boleh melakukan apa saja untuk menangani masalah keamanan dan ketertiban seakan-akan negara sedang dalam keadaan berperang.

De-Soekarnoisasi dan De-Sbyisasi
Menariknya 57 tahun kemudian, peristiwa bersejarah Supersemar ini berulang. Bedanya, jika di tahun 1966 tokoh sentralnya ialah Soeharto. Maka di tahun 2013 ini aktor intelektualnya adalah Anas Urbaningrum (alias Anas Monas), politisi kelas wahid yang baru-baru ini mengundurkan diri dari posisi ketua umum sekaligus menyatakan diri keluar dari Partai Demokrat.
Perulangan sejarah Supersemar ini nampak melalui cara-cara yang ditempuh oleh Anas. Sebagai perbandingan, jauh sebelum Anas terpilih dan dipilih menjadi ketua umum dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung (2010), hubungan Anas dan SBY masih harmonis. Keadaan menjadi panas usai Anas terpilih menjadi Ketua Umum Demokrat dan beberapa kasus melibatkan kader Demokrat mencuat dan terungkap.
Keadaan seperti ini, persis seperti Soekarno dan Soeharto yang awalnya rukun, berganti menjadi persaingan kalau tidak mau disebut sebagai ambisi (Soeharto) merebut tahta Soekarno.
Anas pun kerap mempopulerkan beberapa istilah yang secara tak langsung ditujukan kepada SBY, misalnya Sengkuni (Patih Kerajaan Hastinapura yang terkenal akan kelicikannya), status BBM nabok nyilih tangan (memukul dengan meminjam tangan orang lain). Sementara Soeharto (dengan posisinya yang strategis) membekingi mahasiswa yang mendemo Soekarno dan Soeharto pula lah yang menyuruh Pasukan Sarwo Edhie menuju Istana Merdeka sehingga menimbulkan kepanikan Soekarno.
Sebagaimana dicatat dalam literatur-literatur sejarah, pada Jumat 11 Maret 1966 sedianya Bung Karno memimpin sidang kabinet yang disempurnakan di Istana Merdeka, Jakarta. Dengan alasan sakit, Soeharto adalah satu-satunya menteri yang tidak hadir dalam sidang tersebut. Sementara itu di luar Istana mahasiswa berdemo untuk menyampaikan tuntutan mereka. Ketika Bung Karno sedang menyampaikan sambutan pembukaan, Brigadir M. Sabur (Komandan Rseimen Cakrabirawa) masuk ke dalam ruang sidang.
Singkatnya Sabur hendak melaporkan bahwa di sekitar Monas sedang bergerak pasukan tidak mengenakan atribut kesatuan mereka. Usai diberitahukan hal ini, Bung Karno juga ikut panik dan menyerahkan pimpinan sidang pada Waperdam II Leimena. Selanjutnya ia bergegas keluar dan bersama Waperdam Soebandrio naik helikopter ke Bogor.
Belakangan diketahui pasukan tak dikenal itu ialah pasukan Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo Edhie mendapat perintah dari Kemal Idris, sedang Kemal Idris sendiri mendapat instruksi pengerahan pasukan tanpa atribut itu dari Soeharto.
Usai terbitnya Supersemar, secara perlahan Seoharto juga melakukan de-Soekarnoisasi. Simak misalnya Soeharto dalam pertemuan dengan Dubes AS Marshall Green pada 26 Mei 1966 menekankan bahwa yang mempersatukan Indonesia itu Pancasila – artinya bukan Seokarno. Dalam permbicaraan lebih dari satu jam, Soeharto menolak menyebut nama Bung Karno.
Anehnya, Anas pun melakukan hal-hal seperti itu, meski dalam manuver yang berbeda. Masih lekat dalam ingatan kita, pasca penetapan sebagai tersangka – dalam konferensi pers-nya Anas menuduh KPK diintervensi (oleh SBY). Tak berselang lama kemudian Anas bersedia membeberkan keterlibatan Edhie Baskoro dalam Proyek Hambalang (Kompas.com, 27 Februari 2013). Anas juga berani membeberkan informasi soal Skandal Century yang jelas imbasnya membuat ketat-ketir SBY. Manuver-manuver Anas ini, jelas-jelas sebuah upaya de-Sbyisasi.

Bukan Jabatan Puncak
Soeharto melakukan de-Soekarnoisasi dan dengan kecerdikannya itu pada akhirnya berhasil meraih jabatan Presiden Indonesia. Dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 dalam Sidang Umum MPRS tanggal 5 Juli 1966. Sedangkan Anas melakukan de-Sbyisasi bukan untuk menduduki posisi presiden. Walau mungkin dengan manuver de-Sbyisasinya itu, dia (Anas) hendak menjatuhkan sang Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Suatu pertanyaan, berhasilkah ? Mampukah ? Meninjau dari sisi SBY yang (bahkan) masa jabatannya tak sampai setahun lagi, bisa dipastikan yang bersangkutan akan mati-matian mempertahankan jabatannya. Pun, tetap kecil kemungkinan menuntut pertanggungjawabannya (SBY) di ranah hukum apabila memang terbukti terlibat Skandal Century. Ingat ! Soeharto yang Presiden RI kedua juga terkenal sebagai Raja Koruptor RI bahkan hingga pensiun dan almarhum tetap tak terjamah hukum.
Terlepas apakah Anas menyadari atau tidak menyadari manuver politiknya serupa dengan kisah Supersemar, kelanjutan cerita sinetron Anas versus SBY tetap layak disimak. Siapa tahu ada kejutan yang lebih besar lagi dan kita tak perlu menunggunya di episode tahun 2014.  (Telah Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Maret 2013. Tanggalnya saya lupa tapi mengangkat seputar Supersemar maka pasti publikasi ini tak jauh-jauh dari 11 Maret 2013)

Bahasa Lampung, Digantung Jangan



Suratkabar Lampung Post, Senin, 28 Oktober 2013 lalu, memuat tulisan Syaiful Irba Tanpaka yang berjudul “Bahasa Lampung Tanggung Jawab Siapa ?” Tulisan itu, sebagaimana dinyatakan oleh yang bersangkutan, merupakan partisipasi memperingati bulan bahasa setiap 28 Oktober sekaligus wacana pemikiran yang timbul usai mengikuti Diskusi Lampung Bangkit III di Aula Lampung Post (Selasa, 20 Oktober 2013) yang mengangkat tema Revitalisasi Bahasa Lampung.
Mengenai diskusi tersebut, saya pun termasuk salah seorang peserta yang turut hadir dan berkesempatan menyampaikan ide. Dalam tulisan ini, saya hendak menyampaikan kembali poin-poin penting tersebut dan sedikit urun ide terhadap tulisan sari Saudara Syaiful Irba.

Lampung Indonesia Mini
Ada satu penjabaran dan pertanyaan menarik yang disampaikan oleh saudara Syaiful. Dalam paragraf kedua, ia menulis “bahasa Lampung memang menyimpan persoalan tersendiri ketika kenyataan saat ini masih termarginalkan di daerahnya sendiri.” Lalu, komparasi dengan daerah lain dimana pendatang yang datang ke daerah tersebut, telah mempersiapkan dirinya (secara psikologis) untuk mengapresiasi sehingga dalam hitungan bulan mereka (para pendatang) fasih berbahasa daerah tersebut.
Berbeda dengan bahasa Lampung yang jangankan pendatang, warga yang telah beranak pinak, bercucu cicit di daerah ini, mayoritas tidak bisa berbahasa Lampung. Lantas ia mempertanyakan: kenapa bisa begitu ?
Saudara Syaiful menyebut banyak faktor dengan titik utama pada riwayat sejarah Lampung yakni adanya program kolonisasi atau transmigrasi yang diluncurkan pemerintah Hindia Belanda pada 1908 yang turut andil mencairkan apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan Lampung. Hingga dalam perkembangannya muncullah slogan “Lampung sebagai Indonesia mini.”
Harus diakui, ada benarnya. Secara nyata bisa kita lihat, misalnya dari penamaan desa yang tersebar di seluruh Lampung yang cukup dominan tidak berbau Lampung.
Namun kita juga tak bisa sepenuhnya menitikutamakan lambatnya “merakyatnya” bahasa Lampung dalam kalangan sendiri dikarenakan riwayat sejarah kolonisasi tadi. Menyebut poin Lampung sebagai Indonesia mini, sedikit banyak mengingatkan pada julukan ibukota Jakarta yang lebih dulu disebut sebagai Indonesia mini. Bahkan jauh lebih beragam lantaran posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis serta pusat hiburan. Jakarta tak hanya menjadi tempat persinggahan budaya nusantara, melainkan juga mancanegara. Artinya bersamaan itu bahasa yang dibawa oleh para etnis pendatang baik manca ataupun nusa, tumplek blek di sana.
Tetapi mengapa di tengah gelimangan tersebut bahasa Betawi yang notabene bahasa asli suku setempat mampu tetap eksis ? Meskipun secara kuantitas penduduk, perimbangannya jauh lebih sedikit daripada etnis pendatang. Kenapa bisa begitu ?

Bahasa Lampung Hendak Dibawa Kemana ?
Sebelum menjawab itu, mungkin perlu sedikit diluruskan. Bahasa Lampung sebenarnya tidaklah mangkrak, hanya tepat disebut perkembangannya lambat. Bukti ketidakmangkrakan tersebut ialah bahasa Lampung masih diajarkan di sekolah-sekolah mulai tingkat dasar. Walaupun kini keberadaannya terancam, dipicu dihilangkannya kode 062 – kode sertifikasi untuk guru bahasa Lampung.
Mengapa demikian ? Mengapa lambat ? Padahal secara substansial, bahasa Lampung tergolong bahasa yang tinggi. Salah satunya, ia memiliki aksara yang memungkinkan bahasa Lampung diajarkan melalui tulisan dan lisan.
Dalam versi saya, tiadanya kejelasan bahasa Lampung ini hendak dibawa kemana merupakan salah satu yang turut andil dalam lambannya pembauran bahasa Lampung dalam masyarakat kita. Bila dihubungkan dengan dunia pendidikan kita; sebenarnya dari pengajaran bahasa Lampung yang selama ini telah dilakukan, itu hendak dimuarakan kemana ? Apakah sekedar mengajarkan saja atau lebih dari sekedar mengajarkan ?

Pengajaran di Sekolah
Harus diakui, kurikulum yang disusun dan lantas diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di dunia pendidikan kita semakin canggih saja. Sebagai perbandingan ialah jenjang dimasukkannya mata pelajaran bahasa daerah dan bahasa asing. Mata pelajaran bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Lampung. Bahasa daerah yang diajarkan disesuaikan dengan daerah yang menerapkan kurikulum tersebut.
Sedangkan bahasa asing, umumnya ialah bahasa Inggris. Belakangan berkembang, tak cuma bahasa Inggris. Ada sekolahan yang mengajarkan bahasa Perancis, Jerman, Arab, Jepang. Lalu sebagai akibat dari reformasi yang membuka katurp larangan terhadap hal-hal berbau Tionghoa, maka kini bahasa Tionghoa/ Mandarin termasuk dalam salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah, khususnya sekolah swasta. Dan karena imbas derasnya budaya pop Korea, lazim disebut K-Wave (Hallyu), ada juga yang mengajarkan bahasa Korea.
Yang mencengangkan ialah jenjang memperkenalkan bahasa-bahasa non Indonesia tadi. Saya fokuskan kepada bahasa Lampung, karena bahasan kita memang hal itu. Saya menemukan fakta bahwa kurikulum sekarang telah memperkenalkan mata pelajaran tersebut mulai jenjang kelas 1 SD.
Berbeda sekali di masa-masa pendidikan zaman saya, kurikulum yang diadopsi kalau tak salah kurikulum 1994 di mana bidang studi bahasa daerah Lampung baru diajarkan saat kelas 3 SD. Saat itu, materi-materi pelajaran yang diajarkan berupa akasara Lampung Kaganga, pengenalan dialek bahasa Lampung (nyow dan api), tanda-tanda baca, tanda bunyi aksara Lampung. Ada pula pelajaran menulis/ mengarang dalam bahasa daerah Lampung, termasuk tak ketinggalan ialah pengajaran mengenai cerita-cerita rakyat Lampung.
Sampai dengan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), pelajaran bahasa daerah Lampung selalu tercantum dalam kurikulum dan diajarkan. Saat  Sekolah Menengah Umum (SMU), mata pelajaran tersebut tidak diajarkan lagi.
Berdasarkan pengalaman saya ini dan mengamati dunia pendidikan di Bumi Ruwa Jurai, apabila tujuan pengajaran hanya sekedar mengajarkan saja maka tujuan tersebut telah tercapai. Mengajarkan berarti siswa diajarkan untuk tahu, mengenal mengenai bahasa daerah itu. Tak ada keharusan atau kewajiban lebih, misalnya menggunakan bahasa daerah tersebut untuk percakapan harian dan sebagainya. Dan ketika siswa yang bersangkutan selesai/ tamat sekolah, maka putus semua itu dan saya rasa adalah wajar.
Jenjang pendidikan untuk para guru pun tak usah terlalu jauh. Cukuplah mengikuti standar yang berlaku dan cukup dalam lingkup FKIP saja.

Bahasa Daerah Lampung dan Budaya
Namun semua menjadi mentah jika pilihan kedua yang menjadi muaranya. Pengajaran bahasa Lampung lebih dari sekedar mengajarkan. Disini artinya tersirat maksud, visi dan misi bahwa bahasa Lampung diajarkan tak hanya supaya siswa tahu.
Bahasa Lampung diharapkan bisa menjadi seperti bahasa nasional dalam ranah lokal, yang diteliti, dikembangkan, digunakan sehari-hari. Ada karya sastranya yang didiskusikan untuk mencari kelebihan dan kekurangannya sehingga bisa disempurnakan kembali. Filosofi yang terkandung didalamnya bisa diresapi dan menjadi salah-satu pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, untuk muara yang satu ini – jelas jenjang pendidikan yang telah ada tidaklah mengakomodasi. Dalam diskusi, saya mengusulkan pendirian fakultas sastra atau ilmu budaya di Unila dan di sini, ide yang sama saya ulang kembali. Pertimbangannya lantaran selama ini di Lampung belumlah ada suatu lembaga atau institusi khusus yang bisa menjalankan fungsi-fungsi itu.
Pertanyaannya, pilihan mana yang hendak dipilih ? Kalau saya ya, kalau saya yang menjadi orang nomor satu di Lampung, orang nomor satu di dunia pendidikan di Lampung dan orang nomor satu di Unila maka saya takkan berlama-lama.
Pilihan kedua-lah yang saya pilih. Pertimbangannya sederhana; bahasa merupakan identitas suatu budaya. Bahasa Lampung merupakan identitas dari budaya Lampung itu. Bahasa, budaya ditambah sejarah daerah tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam diskusi, ada tanggapan terhadap gagasan saya itu. Apa bila fakultas sastra atau ilmu budaya dibuka maka para lulusannya harus mengikuti penyetaraann dulu yang memakan waktu beberapa tahun. Menurut saya, itu pilihan dan setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, plus minusnya.
Akan tetapi, dibandingkan para alumni fakultas sastra/ ilmu budaya harus menempuh waktu tak seberapa untuk meraih penyetaraan sebagai guru, jauh lebih riskan tanpa adanya fakultas sastra atau ilmu budaya. Sebab sudah jelas, perlahan bahasa daerah menjadi tergerus dan itu jauh lebih mahal harganya.
Pada tataran ini, kita tak bisa sepenuhnya menumpukan harapan atau insiatif kepada pemerintah provinsi atau daerah. Sambil sedikit berguyon, boleh saya melontarkan pertanyaan ini: memangnya apa sih yang bisa diharapkan dari pemprov kita ? Boro-boro menaikkan derajat bahasa Lampung, mengurus Festival Krakatau saja tak becus dan rumah Daswati yang merupakan cikal bakal berdirinya provinsi ini saja terbengkalai serta terancam hanya tinggal nama. Dalam istilah yang lebih menukik, jika hanya mengandalkan pemerintah setempat maka sama saja menuntun bahasa Lampung (plus budayanya) menuju lorong kepunahan. Jika sudah demikian, menyesal pun tiada guna. Jadi pelestarian bahasa Lampung adalah tanggung jawab kita (bersama). (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Sabtu, 2 November 2013/ Karina Lin