Kisruh BRT terjadi lagi, yang ditandai
dengan aksi mogok karyawannya mulai hari Senin, 21 Januari lalu. Entah hingga
kapan aksi mogok ini akan berlangsung, sebab sampai dengan Kamis (24/1) bus
yang dominan berwarna hijau ini terlihat jarang berhilir mudik di Kota Bandar
Lampung. Alasan mogok awak BRT masih sama dengan penyebab mereka mogok dalam
bulan Desember lalu. Yakni persoalan gaji yang belum dibayarkan oleh pihak
konsorsium Trans-Bandar Lampung.
Pihak Trans-Bandar Lampung yang selama
ini kerap berkilah pada saat didemo soal gaji, kali ini pada akhirnya menyerah
dengan mengakui bahwa mereka memang menunggak membayar gaji karyawannya. Pihak
manajeman tidak mampu membayar tunggakan gaji karyawannya selama dua bulan
sebesar Rp 1,8 miliar.
Utang Rp 1,8 miliar itu bukanlah nominal
yang sedikit. Terutama lagi bila kita mengingat betapa keberadaan BRT
Trans-Bandar Lampung barulah seumur jagung dan betapa selama bus hijau ini
beroperasi sangat dianakemaskan.
Praktek Cuci Tangan
Menarik sekaligus menyedihkan,
pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab malah melakukan praktek cuci
tangan. Beberapa kali pihak manajemen Trans Bandar Lampung menyatakan bahwa
penyebab kerugian karena ada kebocoran pendapatan operasional yang dilakukan
oleh awak BRT. Padahal jika kita telusuri, kita menemukan bahwa pihak manajemen
memang sudah salah langkah semenjak awal.
Contohnya terlalu percaya diri menambah
rute koridor yang ada hanya dalam waktu beberapa bulan. Dalam blog yang ditulis
oleh Ilham Malik (salah seorang staf ahli Walikota Bandar Lampung), dengan
kebangggan luar biasa menulis “dalam tempo 5 bulan, yaitu sekitar April, BRT
Bandar Lampung sudah memiliki 7 koridor (trayek) dengan jumlah armada
beroperasi hingga saat ini mencapai 180 unit”.
Kentara sekali bahwa intensnya pembukaan
koridor baru itu hanya mengejar kuantitas, bukan kualitas. Kuantitas bahwa
dalam waktu singkat sudah banyak koridor (ditambah non sibsidi)). Tampaknya
pihak manajemen Trans-Bandar Lampung kelewat percaya diri sehingga berani terus
menambah armada BRT (sekarang sekitar 250 unit) dan merekrut awak dalam jumlah
banyak. Semakin parah, perekrutan awak BRT bukan direkrut dari para supir
angkot, tetapi dari awak PO bus.
Sementara pihak Pemerintah Kota (pemkot)
Bandar Lampung lepas tangan dengan sepenuhnya menyalahkan pihak manajemen
Trans-Bandar Lampung. Dalih yang dipakai ialah Trans-Bandar Lampung melakukan
salah kelola dan sebagainya-dan sebagainya yang sampai mengakibatkan pihak
manajeman Trans memiliki hutang sebsar RP 1,8 miliar dan terancam gulung tikar.
Padahal, Pemkot juga punya andil dalam
memuluskan dimulainya operasional BRT. MoU yang diteken oleh pihak Trans Bandar
Lampung itu kan kesepakatannya dibuat bersama Pemkot. Pemkot pula yang menjadi
regulator dari operasional BRT.
Tanggung Jawab Bersama
Saya pikir kisruh BRT ini merupakan
tanggung jawab bersama. Sudah bukan saatnya saling menyalahkan dan melakukan
praktek cuci tangan. Bagi Trans-Bandar Lampung, satu-satunya langkah paling
realistis dan bijak pada saat ini ialah dengan menjual armada BRT yang sudah
dibeli.
Koridor yang ada, yang telah dibuka harus
dikurangi dan lakukan kajian ulang menyangkut operasionalnya, semisal sistem ticketing,
SDM di lapangan, rute, pembangunan halte dan tak luput ialah jenis BBM yang
digunakan serta ukuran bus yang beroperasi.
Bagi pihak Pemkot, okelah telah memberi
dana talangan Rp 1 miliar untuk membayar (sementara waktu) tunggakan gaji para
awak BRT. Tapi itu tidak menyelesaikan masalah dan seharusnya bisa lebih dari
itu, yakni dengan memberi subsidi.
Memang Walikota Herman HN kerap berujar
tak akan menyubsidi BRT, dilatarbelakangi oleh a) dalam kesepakatan MoU telah
disebut tidak ada subsidi dan b) Pemkot tidak memiliki dana yang cukup.
Okelah, itu juga masih bisa diterima.
Namun pihak pemkot ada baiknya belajar dari kasus Trans-Semarang. Saya tidak
tahu apakah pada awal diluncurkannya, Trans-Semarang juga menggusung konsep BRT
nonsubsidi.
Hanya saja setelah beropersional beberapa
bulan, Trans-Semarang mengalami kerugian. Walikota Semarang, Sukarwi Sutarip
pada awalnya bersikukuh menolak tak mau menyubsidi Trans Semarang dengan dalih
(versinya) pihak swasta (operator Trans-Semarang) seharusnya dapat memperoleh
keuntungan
Walau entah apa penyebabnya, untunglah Sukarwi
(beberapa bulan kemudian) berubah pikiran dan bersedia menyubsidi
Trans-Semarang. Walikota Bandar Lampung tentu bisa memetik hikmah dari kasus
Trans-Semarang ini. Sekaligus juga mengulang pernyataan dari Christiono dalam
Diskusi Publik yang difasilitasi Instran mengenai pengembangan BRT Bandar
Lampung bulan Februari 2012 lalu, “BRT tanpa subsidi pasti mati.” (Dimuat dalam surat kabar Lampung Post edisi Kamis, 31 Januari 2013)